Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Berbesar Hati

"Mbah ...." panggil Gahisan.

Lelaki sepuh di depannya kemudian mengeluarkan kantong plastik dari dalam saku celana gombornya. Mengambil selembar kertas untuk kemudian dipakai untuk melinting tembakau. Tangannya begitu terampil melinting tembakau dengan jarinya, hingga dalam waktu singkat, sebatang kretek sudah berada di bibirnya dan siap untuk dinyalakan.

Kepulan asap kretek keluar dari mulut mbah Timo. Dengan posisi duduk bersila, dia membuat dirinya senyaman mungkin, sementara itu, Gahisan masih sabar menunggu penjelasan dari lelaki tua yang duduk bersila di depannya.

"Kamu jangan membenci Zakia, Le. Bagaimana pun juga, kamu punya andil kesalahan terhadap apa yang saat ini terjadi padanya."

Mbah Timo membuka percakapan. Namun, justru hal itu membuat Gahisan semakin tidak mengerti. Kenapa dirinya dianggap bersalah, apa yang sudah dilakukannya? Yang dia tahu, kalau selama ini dirinya pergi sebagai buruh migran karena tuntutan ekonomi, dengan impian memperbaiki kehidupannya, dia pergi ke negeri jiran.

"Apa salahku, Mbah?" tanya Gahisan.

"Kamu terlalu lama meninggalkan istrimu."

"Tapi saya pergi untuk bekerja, untuk merubah nasib, bukan untuk bersenang-senang. Tapi apa yang terjadi ketika saya kembali, Zakiya, dia ... hamil."

Gahisan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ada rasa kepedihan dan penyesalan yang begitu dalam di hatinya.

"Bagi Zakiya, kamu tidak pernah kemana-mana, Gahisan. Kamu selalu di rumah, menemaninya, juga menunaikan tugasmu sebagai suami," jelas mbah Timo.

Gahisan terkejut, dia mengangkat wajahnya, menatap wajah laki-laki di depannya. Mbah Timo pun sama, beberapa kali terdengar tarikan napas dalam, seiring embusan asap kretek yang keluar dari mulutnya.

"Apakah Zakiya selingkuh, Mbah? Siapa laki-laki yang telah berani menjamahnya, katakan padaku!" Suara Gahisan bergetar, kedua tangannya mengepal, menahan amarah.

"Tahan amarahmu. Semua masalah ini, tidak bisa diselesaikan dengan amarah, Le."

"Mbah ... sebenarnya apa yang terjadi? bisakah menceritakan padaku secara gamblang dan lengkap? Semua ini membuatku bingung."

"Ada yang telah menggantikanmu sebagai suami, selama kamu pergi, Gahisan."

"A--apa? siapa dia, Mbah?" Gahisan melotot, emosinya makin tersulut ketika mbah Timo mengatakan kalau ada orang lain yang telah menggantikan perannya sebagai suami selama ini.

"Dengar dulu, Le, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap mbah Timo sambil menggelengkan kepala, menyuruh Gahisan untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil tindakan.

"Apa sebenarnya yang terjadi di sini selama aku pergi, Mbah ....?" lirih Gahisan, suaranya terdengar begitu frustasi.

"Ada sosok yang mengambil wujud dan rupamu. Dia datang pada Zakiya, dan mengatakan padanya, kalau dia adalah kamu, suaminya."

"Si--siapa laki-laki itu, Mbah? apakah dia warga kampung kita juga?" tanya Gahisan.

"Bukan, dia memang tinggal di kampung kita, tapi, dari alam yang berbeda."

"Alam yang berbeda? Ba--bagaimana mungkin, Mbah?" Gemetar suara Gahisan ketika dia berbicara.

"Iya. Dia datang sebagai dirimu, memanfaatkan kepergianmu untuk menjadikan Zakiya istrinya. Bahkan, dia berhasil menanamkan benih dalam perut istrimu, Zakiya," lanjut mbah Timo.

"Aku ingin bertemu dengannya dan menghabisinya, Mbah!"

"Sudah kubilang, dia berasal dari dunia yang berbeda. Dia tidak sama seperti kita."

"Si--siapa dia sebenarnya, Mbah?" tanya Gahisan dengan suara yang bergetar.

"Dia tinggal di ujung sana, di dekat rumpun bambu, di mana Zakiya sering pergi untuk mencuci pakaian," ucap mbah Timo.

Dia menunjuk ke arah rumpun bambu yang tumbuh lebat di desa mereka, dan di dekat rumpun bambu itu, juga mengalir sungai dengan air yang sangat jernih, warga sekitar memanfaatkan airnya untuk kebutuhan sehari-hari, juga untuk mencuci pakaian. Dan di sana juga, terkenal dengan penunggunya, di mana warga sekitar sudah banyak yang mengetahuinya. Sosok Genderuwo yang diyakini menjadi penunggu di sana.

Mengingat hal itu, Gahisan mendadak menjadi lemas, rasa amarah itu kini berubah menjadi kengerian.

"Mbah ... apakah Genderuwo itu yang telah mengambil bentuk dan rupaku selama aku pergi?" Gahisan menatap nanar wajah mbah Timo.

"Bukan itu saja, istrimu sepertinya juga sudah jatuh cinta dengan mahkluk itu," lirih mbah Timo.

Jika sebelumnya Gahisan menutup wajahnya untuk menutup kesedihan, kini, dia tidak lagi menutupi kesedihannya. Laki-laki itu menangis sesenggukan, ketika mengetahui ternyata istrinya selama ini telah bercinta dengan sosok dari alam lain dan menganggap sebagai dirinya, bahkan membuat istrinya jatuh cinta selain pada dirinya.

"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Mbah?" tanya Gahisan kemudian, setelah dia merasa tenang.

"Pulanglah, bersikaplah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan buat istrimu sadar, kalau yang bersamanya selama ini bukan dirimu. Dan satu lagi, jangan biarkan Zakiya pergi ke sungai lagi," jelas mbah Timo.

"Mbah ... kenapa semua ini terjadi pada kami, Mbah ...." tanya Gahisan dengan suara lirih.

"Anggap saja semua adalah ujian, tugasmu sekarang adalah, menjaga Zakiya,jangan sampai mahkluk itu mengambil Zakiya, karena mengetahui kamu pulang."

"Mengambil Zakiya?"

"Me--mengambil Zakiya, Mbah?" ulang Gahisan dengan suara bergetar.

Dadanya berdegup makin kencang, antara menahan marah sekaligus ngeri, saat membayangkan jika sang istri, Zakiya, harus kembali berpisah dengannya karena kehadiran mahkluk dari dunia yang berbeda.

"Iya. Kamu pasti tidak akan percaya, jika kukatakan kalau, mahkluk itu jatuh cinta dengan Zakiya, istrimu. Dan aku tidak yakin, dia tidsk akan begitu saja membiarkan dirimu mendekati atau mengambil Zakiya. Baginya, Zakiya adalah miliknya, mengambilnya, sama artinya dengan menantangnya."

Panjang lebar mbah Timo menjelaskan pada Gahisan, tentang kemungkinan apa saja yang akan terjadi, ketika dirinya kembali bersama Zakiya. Walaupun Zakiya adalah istrinya, namun dia sudah meninggalkannya selama tiga tahun, dan tentu saja, Zakiya akan mengetahui perbedaan antara dirinya dengan mahkluk itu, yang sudah terbiasa berada di dekatnya. Sehingga, kemungkinan besar, Gahisan lah yang nantinya akan dianggap asing dan aneh oleh Zakiya.

"Bagaimana ini semua bisa terjadi pada Zakiya, Mbah?"

Gahisan mulai terisak, berkali-kali dia menyeka air mata dengan punggung tangannya. Sungguh, ini sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya saat dia memutuskan untuk pergi merantau tiga tahun yang lalu.

-Tiga Tahun Yang Lalu-

"Dek, doakan Mas, ya? Mas berjanji, tidak akan lama di perantauan. Saat sudah mendapatkan cukup uang untuk modal usaha kita di kampung, Mas akan segera pulang," ucap Gahisan.

Zakiya mengusap lembut rambut Gahisan yang tidur di pangkuannya. Udara siang yang terik, membuat Gahisan dan Zakiya memutuskan untuk mencari angin segar, dengan duduk di bawah pohon mangga yang tumbuh rindang di pekarangan belakang rumah. Gahisan menyampaikan keinginannya untuk merantau ke Malaysia sebagai buruh migran.

"Mas ... apa tidak sebaiknya, kepergianmu ditunda dulu, sampai kita mempunyai anak? kita kan, baru saja menikah, bahkan belum tiga bulan," protes Zakiya.

Ada sedikit ketidak ikhlasan di hati Zakiya, ketika Gahisan menyampaikan keinginanya untuk merantau. Terlebih mereka baru saja menikah dan belum dikaruniai anak.

"Bukahkah itu lebih bagus, Dek? kamu tidak kerepotan mengurus bayi, karena tidak ada yang membantunya. Tapi Mas janji, akan segera pulang setelah mendapatkan cukup uang, untuk kita dan anak kita nanti," ucap Gahisan meyakinkan Zakiya.

"Baiklah kalau begitu. Tapi Mas harus berjanji, untuk selalu mengirimkan surat padaku."

"Aku janji," jawab Gahisan sambil bangkit dan mencium lembut kening Zakiya.

Obrolan Gahisan dan Zakiya berlanjut, selain membahas tentang rencana menjadi buruh migran, Gahisan juga berencana untuk menjadi petani dan memiliki ternak banyak, saat dia pulang nanti. Karena di kampungnya, rata-rata memang petani, namun hanya sebagai petani tradisional. Ketika selesai musim tanam, banyak warga kampung yang merantau ke kota untuk menjadi buruh bangunan.

Matahari makin condong ke barat, namun Gahisan dan Zakiya masih betah berbincang dan bercanda di bawah pohon mangga. Dan tanpa sepengetahuan mereka, ada sepasang mata yang selalu memperhatikan setiap gerak gerik mereka. Bahkan sosok itu diam-diam menirukan cara Gahisan berbicara dan juga cara berjalannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel