Pustaka
Bahasa Indonesia

Misteri Kehamilan Zakiya

33.0K · Ongoing
Yani Santoso
58
Bab
718
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Zakiya, siapa yang menghamilimu?" tanya Gahisan setenang mungkin, walau hatinya remuk redam, mendapati Zakiya hamil, saat dirinya mengadu nasib di negeri orang. "Mas ... kenapa kamu bertanya, bukankah ini anak kita, benih yang kamu tittipkan padaku dengan penuh cinta," jawab Zakiya dengan suara mendayu dan lemah lembut. Hati Gahisan luluh, walau hatinya remuk, namun dia harus mencari tahu, siapa laki-laki yang sudah menjamah istrinya ketika dia tidak di rumah. Siapakah laki-laki yang sudah menghamili Zakiya? Jangan lupa Follow dan Subscribe untuk mendapatkan pemberitahuan ketika bab baru terbit.

IstriSupernaturalSuspense

1. Kejutan Pulang Kampung

Hari ini, setelah mendapatkan gajinya, Gahisan bergegas membereskan barang-barangnya. Beberapa baju kurung, yang sengaja dia beli untuk Zakiya, tak lupa dia masukkan ke dalam tas.

Dia membayangkan, betapa bahagia hatinya nanti, saat sampai di rumah dan bertemu dengan Zakiya, istri yang sudah dia tinggalkan selama tiga tahun, untuk mengadu nasib di Malaysia sebagai buruh imigran.

"Hey, Hasan, kulihat dari tadi, kamu senyum-senyum sendiri," tegur Norman, temannya sesama buruh imigran yang melihat Gahisan tersenyum sendiri sepanjang perjalanan.

"Aku tidak sabar, ingin cepat-cepat sampai di rumah," jawab Hasan.

Hasan, adalah nama panggilan untuknya. Karena, agak sulit jika harus menyebut Gahisan.

"Wajarlah, waktu kamu berangkat dulu, kalian masih pengantin baru," seloroh Norman.

Gahisan hanya tersenyum, menanggapi candaan temannya itu.

Hingga tanpa terasa, bis yang membawa mereka sudah di pelabuhan.

Perahu yang akan membawa mereka pun sudah menunggu kedatangan para penumpangnya yang hendak mengantarkan mereka kembali ke pelukan keluarga tercinta.

Seharian, Gahisan terombang-ambing di atas kapal nelayan.

Namun demi orang-orang yang dia cintai, terutama Zakiya, istri yang selalu dia rindukan, tidak dihiraukannya rasa mual setiap kali ombak menerjang kapal.

"San ... Hasan, bangun, kita sudah sampai." Norman menggoyang tubuh Hasan yang terkulai lemah karena mabuk laut.

"Benarkah? Alhamdulillah ... tunggu kedatangan Mas, ya, Dek," lirih Gahisan.

Norman meggelengkan kepala melihat tingkah temannya itu.

***

Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, Gahisan kembali menginjakkan kaki di kampung halamannya.

Kampung itu tidak banyak berubah, masih sama seperti tiga tahun yang lalu, saat dia pergi merantau.

Kakinya kini berdiri tepat di depan rumah yang terbuat dari bambu, rumah yang terletak di ujung jalan, berdekatan dengan deretan rumpun bambu yang tumbuh rindang di sepanjang jalan kampung.

Hati Gahisan berdegup kencang, seperti layaknya seorang pemuda yang sedang jatuh cinta dan bertemu dengan sang pujaan hati.

Bergetar tangan Gahisan saat mengetuk pintu rumah.

"Assalamualaikum ...." Gahisan mengucap salam.

Dia menunggu beberapa saat, namun belum ada tanda-tanda akan ada yang membuka pintu rumah.

Diketuknya sekali lagi sambil mengucap salam.

"Assalamualaikum ...."

Dari dalam rumah, terdengar langkah kaki berjalan pelan mendekat ke arah pintu.

"Waallaikum salam ...." jawab suara dari dalam, seorang wanita bersuara lembut yang selalu hadir menghiasi mimpi Hahisan.

Perlahan, pintu rumah terbuka. Seorang wanita cantik memakai kain dan atasan longgar muncul dari balik pintu.

Mata Gahisan terbuka lebar, senyum yang sedari tadi menghiasi bibirnya perlahan pudar, terlebih ketika dia melihat perut wanita yang berdiri di depannya terlihat besar, seperti wanita hamil.

"Mas Hasan ... kok sudah pulang, biasanya selalu pulang malam," ucap wanita itu sambil berusaha meraih tangan Gahisan.

Gahisan mundur beberapa langkah, matanya nanar menatap Zakiya, istrinya yang selama tiga tahun dia tinggalkan, kini dalam keadaan hamil besar.

Perasaan campur aduk, antara marah, kecewa dan sakit hati.

***

Gahisan mengepalkan tangannya, rahangnya terkatup rapat, menahan amarah.

Sementara Zakiya, masih berdiri di depanya. Matanya mengerjap beberapa kali, manatap suaminya yang masih terpaku di depan pintu.

"Masuk dulu, Mas, jangan berdiri di depan pintu, pamali," ucap Zakiya sambil meraih tangan Gahisan.

Gahisan menurut, mengikuti langkah Zakiya masuk ke dalam rumah.

Gahisan duduk di bangku kayu, yang ada di sudut ruangan. Salah satu ruangan yang ada di dalam rumah itu. Ruang tamu sekaligus tempat di mana mereka makan bersama.

Zakiya muncul kembali dengan segelas teh hangat di tangannya.

"Mas, minum dulu teh nya, setelah itu, biar saya pijat seperti biasanya." Zakiya berkata, dengan suara lembuhnya.

"Se--seperti biasanya, apa maksudmu, Zakiya?"

"Mas Hasan, kan, suka kalau aku pijitin setiap pulang kerja. Masa lupa?"

"Dek ... Mas baru hari ini pulang lho," jawab Gahisan bingung.

Zakiya bangkit, dia memutar dan berdiri di belakang Gahisan, lalu, tangan nya mulai memijit pundak Gahisan.

Namun Gahisan merasa ada yang aneh dengan tingkah istrinya, serta merta, dia memutar tubuh, hingga Zakiya menghentikan pijatannya.

"Kenapa, Mas? Terlalu kuat, ya, pijatanku?" tanya Zakiya.

Gahisan menatap wajah istrinya, wanita yang selama tiga tahun dia rindukan. Namun, ketika dia sudah berada di depan mata, justru pikirannya dipenuhi dengan sejuta tanya. Sikap istrinya yang aneh, bahkan kini, Zakiya sedang dalam keadaan hamil.

"Zakiya ... apakah selama Mas kerja, kamu memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah ini?" selidik Gahisan.

"Mas ... kenapa kamu bertanya seperti itu padaku? Demi Tuhan, tidak pernah ada yang menyentuhku selain kamu, Mas." Zakiya mulai terisak.

"Lalu, anak siapa yang ada di dalam perutmu?"

"Mas ... apa kamu meragukan kesetiaanku? Ini anak kita, benih yang kamu titipkan ke dalam rahimku, buah cinta kita, Mas."

"Anakku? Tidak mungkin!" Teriak Gahisan mulai emosi.

Dia bangkit, dan mendorong tubuh Zakiya menjauh darinya.

Zakiya bersimpuh di bawah kaki Gahisan, mulai menangis terisak.

"Mas, kenapa kamu seperti itu ... apa salahku padamu? Tadi pagi sebelum berangkat, kamu baik-baik saja, kini, kenapa memarahiku?" tanya Zakiya di antara isak tangis.

Gahisan terkesima, dia benar-benar merasa bingung atas sikap Zakiya. Dia baru saja pulang dari merantau, namun kenapa Zakiya selalu mengatakan kalau dirinya di rumah.

"Tadi pagi, apa maksudnya, Zakiya? Aku ini baru datang hari ini, setelah tiga tahun merantau. Tapi lihat apa yang kamu lakukan, kamu hamil di saat aku tidak di rumah."

"Tidak mungkin, Mas. Kamu tidak pernah ke mana-mana, kamu hanya pergi sebelum matahari terbit, untuk bekerja di ladang Tuan Mulya, dan baru pulang ketika petang," jelas Zakiya.

"Tidak mungkin, Zakiya. Kamu ingat, kan ... tiga tahun yang lalu, aku pergi bersama Norman ke Malaysia, untuk merubah hidup kita, dan baru pulang hari ini."

"Tidak mungkin, Mas, kamu tidak jadi pergi waktu itu, kamu pulang dan mengatakan padaku, kalau tidak tega jika harua meninggalkan aku hidup sendiri," ujar Zakiya.

Gahisan terhenyak, dia mundur beberapa langkah ke belakang. Kepalanya bedenyut, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Bahkan Gahisan sempat berpikir bahwa apa yang dialaminya saat ini hanyalah mimpi.

Gahisan meraih tas yang tadi dia letakkan begitu saja di atas lantai tanah, berniat pergi meninggalkan Zakiya.

Dia harus mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya ketika dia tidak ada di rumah. Dan satu-satunya orang yang ada di pikirannya adalah, Mbah Timo. Lelaki tua yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya.

"Mas, kamu mau kemana?"

Zakiya mengejar Gahisan yang meninggalkan rumah begitu saja.

Namun Gahisan bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arah Zakiya yang berlari sambil memegangi perutnya yang buncit.

Gahisan makin menjauh, hingga hilang di tikungan. Sementara Zakiya masih berdiri di depan rumah, memandang ke arah Gahisan pergi, walau sejauh dia memandang, hanya terlihat rimbunnya rumpun bambu.

***

"Assalamualaikum, Mbah ...."

Panggil Gahisan.

Dari samping rumah, seorang laki-laki tua membawa bambu yang hendak dia potong untuk dijadikan anyaman, terkejut melihat kehadiran Gahisan.

"Le ... kapan kamu pulang?" tanya mbah Timo.

Dia meletakkan bambu yang baru saja dipotong dan bergegas menuju ke arah Gahisan.

"Baru saja sampai rumah, Mbah," jawab Gahisan.

"Apa kamu tadi langsung ke sini, atau mampir dulu ke rumahmu?" selidik mbah Timo. Namun dari sorot matanya, seolah dia mengetahui sesuatu dan berusaha menyembunyikannya.

"Ada apa dengan rumah dan istri saya, Mbah?" tanya Gahisan.

"Sng sabar, yo, Le."

"Ma--maksud Mbah Timo, apa?"

***