Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 2 : Mantan

“Nggak semua tentang mantan, ibarat kotoran yang harus dibuang. Seenggaknya kita pernah bahagia bahkan merasa paling istimewa, karena mantan, kan?”

Episode 2 : Mantan

***

Di ruang kerja berisi beberapa maneken, Melia kembali menghela napas lirih setelah mendapati ponselnya mendapatkan pesan WhatsApp dari Zean. Bukannya membaca pesan tersebut, wanita itu justru mematikan ponselnya sebelum menyimpannya di saku kulot hitam yang dikenakan. 

***

Di ruang kerja terbilang luas dengan meja kerja yang dihiasi tumpukan map dan sebuah laptop dengan layar menyala, Zean duduk gelisah. Jemari pria berkulit kuning langsat itu sibuk menulis pesan kepada kontak “Mel”.

Bisa kita bertemu sebentar saja?

Itu merupakan pesan ke dua puluh lima yang ia kirimkan menyusul kedua puluh empat pesan yang bahkan belum dibaca Melia selaku tujuan pesan-pesan itu dikirimkan. Kedua puluh empat pesan sebelumnya masih bercentang hitam dua, sementara pesan terakhir justru tetap centang hitam satu, yang menandakan pesan itu tak hanya belum dibaca, melainkan belum masuk ke nomor tujuan.

Zean yang tak bisa menunggu lagi memutuskan untuk menelepon nomor “Mel” kendati yang menjawab justru pihak operator seluler, dan mengabarkan jika nomor yang ia tuju tidak dapat dihubungi. Kenyataan yang menandakan jika nomor tujuannya sedang tidak aktif seperti dugaannya.

“Melia sengaja menghindariku?” pikirnya menduga-duga di antara rasa kecewa yang menawannya.

***

Esok harinya, Melia yang sedang jongkok dan merapikan salah satu gaun di maneken, menatap penuh getar layar ponsel berisi pesan WhatsApp Zean. Pun ketika pesan dari Zean kembali menghiasi ponselnya. Yang ada wanita berkulit putih itu menjadi tidak bersemangat. Gairah hidupnya menjadi berkurang seiring pesan yang silih berganti menghiasi ponselnya dan masih dari kontak “Zean”.

Zean: Sebentar, Mel.

Zean: Aku tahu aku salah.

Zean: Aku nggak bermaksud bikin kamu kecewa karena kejadian itu.

Zean: Beri aku waktu buat jelasin semuanya.

Zean: Kita harus bertemu!

“Nggak semua tentang mantan, ibarat kotoran yang harus dibuang. Seenggaknya kita pernah bahagia bahkan merasa paling istimewa, karena mantan, kan?”

Suara lembut yang tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan Melia.

“Karla ...?” lirih Melia. Ia menatap heran wanita yang mewarnai rambut sepundak bak burung makau skarlet tersebut.

“Cuma mau nganter ini,” ujar Karla sembari menunjukkan dokumen berlapis plastik mika yang menghiasi tangan kanannya. Ia melangkah dan mendekati Melia.

“Makasih, Kar.” Melia menerimanya sambil mengulas senyum meski ia juga bertanya-tanya kenapa teman baiknya menyeletuk perkara “mantan”.

“Sama-sama, Mel. Tapi jangan melamun lagi, ya, nanti kerasukan mantan. Upss ... kerasukan setan, maksudnya ....”

“Siapa juga yang mikirin mantan?” rajuk Melia berusaha mengelak, menepis anggapan Karla.

“Tuh kan bener kamu lagi mikirin mantan!” Karla merasa bangga karena tebakkannya benar. “Kayaknya sudah jadi hukum alam, deh, kalau yang namanya mantan selalu jadi setan, sementara gebetan selalu bikin deg-degan. Padahal kan, sebelum jadi mantan, semuanya berawal dari gebetan!” Setelah sempat mengangguk-angguk, Karla terkikik dengan wajah yang menjadi bersemu. “Eh, tapi kayakna nggak ada gebetan di pasangan yang dijodohkan, yah? Hahaha ....”

Melia menunduk pasrah tanpa banyak berkomentar.

Melihat keadaan Melia yang menjadi semakin murung, Karla pun berkata, “Ya sudah jangan dijadikan beban. Nggak semua kesalahan ada di mantan karena kita pasti juga nggak luput dari kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna, kan?” Tanpa dosa, wanita ceria itu berlalu setelah kembali menutup pintu ruang kerja Melia.

Melia mengembuskan napas pelan melalui mulut. Ada kelegaan yang terpancar dari keadaannya sekalipun gelisah masih menjadi ekspresi dominan. Wanita berhidung mancung itu mulai memikirkan keputusan yang akan diambil dan baginya tidak mudah. Meski berat, tetapi ia memang harus memberikan perlawanan agar Zean tidak terus mengacaukan hidupnya. Yang jelas, semenjak pria itu memutuskan pergi, awan hitam seolah menyelimuti kehidupan Melia. Parahnya, awan hitam itu juga seolah menjadi teman baik bahkan hingga detik ini dan Melia takuti akan terus berlanjut hingga nanti, bila ia tidak bergerak cepat menghentikan Zean.

***

Ketika Melia meninggalkan butik di tengah waktu yang sudah gelap, langkah lirihnya terhenti lantaran Zean telah berdiri di depan mobil yang terparkir tak jauh dari area pintu masuk butik.

Zean yang melihat kehadiran Melia buru-buru menghampiri, tapi wanita itu justru tak acuh, terus melangkah sambil menunduk.

“Mel! Mel, aku tahu kamu marah, tapi mau gimana lagi? Fanny sudah pulang, dan aku nggak bisa bohongin hati aku, kalau aku masih cinta dia.”

Melia terus berjalan di sisi kiri jalan yang sepi dan minim penerangan.

“Aku tahu keputusanku nggak adil buat kamu. Aku juga nggak bisa memungkiri, kalau aku sayang kamu dan itu tulus. Tapi kalau aku harus milih,”

“Jangan menggangguku lagi, Zean!” ucap Melia sesaat setelah berhenti melangkah. “Jangan pernah menghubungiku lagi!”

Langkah Zean refleks berhenti. Pria itu menatap punggung wanita bersuara lembut yang masih membungkuk di hadapannya, dengan mata bergetar. Sekitar tiga meter jarak mereka, tetapi apa yang baru saja wanita itu katakan seolah menciptakan jurang pemisah untuk mereka.

“Aku memang tidak bisa melupakan semuanya.”

“....”

“Tapi aku akan belajar untuk menerimanya.”

Suara Melia terdengar sengau. Setelah itu, Melia dan Zean kompak diam. Bedanya, ketika Zean tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya, Melia tetap tenang kendati ekspresi wajahnya terlihat sangat sakit.

“Tapi jangan mengatakan hubungan kita kepada siapa pun, terlebih Fanny!” lantang Zean, tepat setelah Melia melangkah meninggalkannya.

Melia refleks berhenti. Tubuhnya terasa kebas, sementara linangan air mata yang sebisa mungkin ia tahan justru membasahi pipinya.

“Aku benar-benar minta maaf, Mel. Tapi ini yang terbaik buat kita.”

Melia menghela napas dalam, akibat sesak yang tiba-tiba saja menyumbat dadanya. “Kalau kamu jujur dari awal, aku nggak mungkin membiarkanmu ada dalam hidupku.”

“Setelah kamu berhasil membuatku yakin, mengatakan semuanya akan baik-baik saja dan kamu juga akan bertanggung jawab setelah apa yang terjadi pada kita ... tapi, nyatanya kamu hanya pandai berjanji.” Kekecewaan begitu terpancar di wajah Melia.

Zean bergeming.

Dengan dada yang terasa semakin sakit, Melia melanjutkan, “jangan khawatir, Zean. Bahagialah dengan pilihanmu. Anggap saja kalau kita memang nggak pernah ada. Seperti itu kan, yang kamu mau?”

Melia melanjutkan langkah meninggalkan Zean di tengah isak yang seketika pecah. Tangan kanannya sibuk memukul pelan dada, sementara tangan kiri menekap mulut. Ia tak ingin kenyataannya yang menangis tersedu, sampai diketahui orang lain termasuk Zean.

Kamu dan aku memang pernah ada dalam ikatan istimewa hingga menjadi “kita”. Kamu membuatku merasa istemewa. Kamu bahkan berhasil membuatku percaya, hingga aku berharap bahagia akan selalu menyertai kita.

Namun, semuanya tak seindah yang aku kira. Karena pada akhirnya kecewalah yang kembali kuterima. Kamu tidak menyayangiku. Kamu juga tidak mencintaiku. Sementara “kita”, ada karena dulu kamu kesepian dan membutuhkan seseorang untuk menghiburmu. Karena itu juga, kamu dengan mudah mengatakan “sudah”, untuk hubungan kita.

Rasanya sangat sakit. Sulit bagiku untuk menuangkannya. Tapi aku yakin kamu tahu bahwa hal tersulit dalam hidup bukanlah ketika dihadapkan pada dua pilihan. Pun dengan meninggalkan atau ditinggalkan dalam sebuah hubungan.

Namun aku sadar, masalah tidak akan selesai jika hanya ditanyakan penyebabnya terlebih masalah akan selalu mengiringi sekalipun kita tidak pernah menghendaki. Semuanya akan terasa sulit jika tidak diperjuangkan.

*** 

Melia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya, ketika ia sampai di depan sebuah rumah sederhana berlantai dua. Tubuhnya menjadi gemetaran sedangkan kakinya mendadak sulit digerakkan. Seperti ada kekuatan yang memintanya untuk tidak masuk, bahkan meski hanya mendekati rumah itu.

“Mel, kok nggak masuk?” tegur Fanny yang kebetulan baru turun dari taksi, tak jauh dari Melia berdiri dan justru seperti ketakutan.

Melia terkesiap dan bahkan refleks balik badan hanya karena mendengar suara itu. Suara yang baginya begitu mengerikan, padahal suara yang terdengar manja itu begitu dipenuhi pengertian.

Wanita yang mengenakan gaun selutut lengan panjang warna jingga itu menatap Melia dengan dahi berkerut atas keterkejutan Melia dalam menanggapi sapaannya.

“Kamu nggak apa-apa, kan, Mel?” tanya Fanny khawatir sambil mendekati Melia.

Melia memaksakan diri untuk mengangguk sambil mengulas senyum. Namun wanita itu memilih segera berlalu agar tidak melakukan hal yang membuat Fanny—wanita cantik yang menjadi alasan Zean meninggalkannya—curiga.

Dahi Fanny berkerut seiring ia yang menerka gerak-gerik Melia yang dirasanya aneh. “Nggak mungkin Mel nggak kenapa-kenapa, kalau tingkahnya saja kaku, aneh begitu?”

Setelah duduk di tepi kasur dan melepas tote bag hitam dari pundak kanannya, fokus Melia teralih pada kalender meja di nakas sebelahnya. Sambil menerka-nerka, Melia meraih kalender tersebut kemudian memastikan waktu di bulan sebelumnya. Beberapa coretan silang yang menghiasi jajaran tanggal di dua bulan sebelum bulan sekarang, menyita perhatiannya yang bahkan sampai menjadi gemetaran.

“Aku sudah telat dua bulan ...?” lirih Melia tak percaya.

Melia mengingat keadaannya akhir-akhir ini. Ia yang gampang lelah dan sangat sensitif terhadap bau tanpa terkecuali aroma bumbu. Mengingat itu, mata Melia menjadi berkaca-kaca. Ia belum siap menerima kenyataan yang lebih sulit dari diputuskan tiba-tiba oleh Zean hanya karena pria itu ingin kembali ke cinta lamanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel