Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

13. Anton tak Berselera

Parmi cukup lama berada di dalam kamar mandi. Anton menungguinya sampai terkantuk-kantuk, berulang kali Anton menguap, memandang ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Pintu itu tak kunjung terbuka. Sedangkan Anton sudah gerah ingin segera mandi. Suara pancuran air, sudah berhenti. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam sana.

"Ck, dia tidur apa mandi sih!" gerutu Anton, sambil melangkah malas menuju kamar mandi, di pundaknya sudah bertengger handuk bewarna hijau.

Tok...tok..

"Mi, Mi! Cepetan! Saya juga gerah, mau mandi!" teriak Anton dengan sedikit kencang, sambil menggedor pintu kamar mandi.

"Iya...juju aawaayaaa abaawaaya, eh as. !" sahut Parmi . Anton memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang Parmi katakan?

"Apaan sih Mi? Ga ngerti saya!" sahut Anton dari balik pintu, kedua tangannya bersandar tiang pintu kamar mandi.

Kleekk...

Parmi membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu melongok keluar. Dengan susah payah dia ingin mengatakan bahwa ia lupa membawa baju salin dari kamarnya.

"Yuyu wwaa..!" ucap Parmi susah payah. Anton mencoba menguasai rasa kesalnya.

"Bicara yang jelas Parmi, kamu selain budeg, gagu juga ya! Lengkap banget sialnya hidup aku!"

"Cepat, aku mau mandi!" Anton mendorong sedikit pintu kamar mandi. Namun ditahan oleh Parmi. Ia membuang pandangannya.

Perkataan Anton barusan membuat Parmi terdiam, bukan hanya giginya yang sakit. Namun kini hatinya perih. Padahal belum ada tiga jam menjadi istri. Di balik pintu sana, ia masih dalam keadaan telanjang dengan air mata yang sudah menggenang.

Braakk..

Parmi kembali menutup pintu kamar mandi, lalu dengan cepat memakai kembali baju kebaya dan rok batik pernikahannya. Anton dengan wajah kesal, masih menanti Parmi di depan pintu.

"Cepat, Mi!"

Ckleekk..

Parmi keluar dengan baju pernikahannya kembali, rambutnya basah ia biarkan tergerai, bahkan handuk pun ia lupa membawanya, sehingga ia tidak handukan, langsung memakai kebaya tadi. Anton memandang heran Parmi.

"Kamu tidur mau pake ini?"

Parmi menggeleng. Dengan cepat ia berlalu dari hadapan Anton. Dan keluar dari kamar tersebut.

"Astaghfirulloh, Ya ampun saya lupa. Dia, kan. Sakit gigi. Pantesan susah jawab tadi. Ck, Anton!" Anton meremas rambutnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Setengah jam berlalu, Parmi tak kunjung kembali, Anton terlalu lelah. Hingga ia tidak peduli keberadaan Parmi dimana. Ia terlelap dengan sangat nyenyak. Sedangkan Parmi sedang meringis, menahan sakit di gusinya yang bengkak. Ia sudah memakai baju tidur panjang. Meringkuk di ranjangnya.

"Mi, kamu tidak kembali ke kamar suamimu? Nanti dia nyariin lho!" suara Parni terdengar jelas di telinga Parmi.

"Saiiiitt!" Parmi masih meneteskan air mata menahan sakit. Bu Parti merasa sedih dengan keadaan Parmi. Anton bahkan tidak menjemputnya kesini, padahal sudah jam dua belas malam. Semua penghuni rumah sudah tidur. Tersisa, Parmi, Parni dan ibunya.

"Kamu tidak ada obat ya! Nih coba kumur air garam!" tiba-tiba kepala Agus muncul dari balik celah pintu kamar Parmi yang tidak tertutup rapat. Di tangannya memegang gelas berisi air hangat yang sudah dilarutkan garam di dalamnya. Sambil meneteskan air mata, Parmi meraih gelas tersebut, memegangnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya, mengelus pipi yang membengkak. Sedikit terseok, Parmi keluar kamar dan berjalan ke arah kamar mandi. Sambil membawa gelas berisi air garam tadi. Parmi berkumur cukup lama, hingga air tersebut habis. Parmi keluar, masih dengan keringat dingin, disertai wajah pucat pasi. Ia kembali ke kamar, dengan langkah lemah.

"Gimana?" tanya Bu Parti.

Parmi hanya menggeleng. Agus yang tahu, bahwa sakit gigi Parmi tidak ada perubahan setelah berkumur air garam, merasa iba. Bagaimana pun ia masih menyimpan perasaan pada Parmi.

"Saya biar belikan obat dulu!" Agus langsung melangkah keluar kamar Parmi, tanpa menunggu jawaban dari ketiganya.

"Sabar ya nduk!" Bu Parti mengusap punggung Parmi.

"Suami kamu tahu ga kamu sakit gigi?" tanya Parni.

Parmi mengangguk, dengan mata tertutup mencoba menahan rasa sakit giginya. Selain itu, masih terngiang ucapan Anton tadi. Bahwa Parmi adalah kesialan baginya.

"Mmm..bukannya dia yang repot nyari obat, ini malah lelaki lain!"

"Sudahlah, Ni! adik kamu lagi sakit gigi, jangan ditambahkan ucapan yang tidak-tidak." sela Bu Parti, sambil menatap iba Parmi.

Parni sudah terlebih dahulu tidur di kasur busa yang sudah rapi diberi seprei bermotif hello kitty. Kasur tersebut, dipinjamkan oleh Bu Rasti untuk Parni dan juga ibunya. Bu Parti masih menemani Parmi yang menangis karena sakit gigi.

"Assalamualaikum. Bude ini obatnya!" Agus memberikan bungkusan kresek putih yang berisi obat, sebelah tangannya lagi sudah memegang gelas berisi air.

Parmi masih meringkuk, rasa lemas di sekujur tubuhnya, membuat ia tak mampu bergerak. Agus yang menyadari itu, langsung membukakan obat tersebut, lalu memberikannya pada Parmi. Parmi meminumnya dengan cepat. Parmi berusaha memberikan sedikit senyumnya kepada Agus, sebagai tanda terimakasih. Agus pun ikut tersenyum.

"Makasih, Gus." ucap Bu Parti kepada Agus, lelaki muda itu tersenyum. "Sama-sama Bude!" sahutnya, lalu melangkahkan kaki keluar kamar Parmi. Ia tidur di ruang musholla yang sudah disulap sederhana, menjadi area untuk tidur malam yang nyenyak.

Sepuluh menit berlalu, rasa sakit gigi Parmi perlahan reda. Ia melihat ibunya tertidur miring di samping dirinya. Pelan-pelan ia turun dari ranjang.

"Eh, sudah sembuh Mi!" Bu Parti tiba-tiba terbangun, mendapati Parmi yang barunl saja turun dari ranjang.

"Sudah, Bu. Saya ke kamar ya!" pamit Parmi pada ibunya, ditangannya membawa bantal dan guling.

"lho kok dibawa! Emangnya di kamar suamimu ga ada bantal dan guling?"

"Eh, ini...Mmm...ini bantal dan guling kesayangan saya, Bu. Saya pake ini, baru bisa tidur nyeyak." terang Parmi, tanpa berani menoleh kepada ibunya. Akhirnya, Parmi kembali ke kamar suaminya. Tampak suaminya sudah terlelap sambil memeluk selimut. Dengan perlahan Parmi naik ke atas ranjang, tepat di sebelah suaminya. Iya meletakkan kepalanya dengan perlahan.

"Kamu ngapain?" Anton menyipit menatap Parmi, suaranya serak, khas orang terbangun dari tidur.

"Mau tidur Mas!"

"Tidur disana, bukan disini!" Anton menunjuk sofa panjang di dekat ranjangnya. Parmi pun turun, tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia megang bantal dan gulingnya, lalu berjalan ke arah sofa. Anton sudah kembali terlelap.

Malam ini dilalui Parmi sangat panjang, pengaturan AC yang terlalu dingin membuatnya susah terlelap, ditambah rasa sakit giginya belum benar-benar hilang. Ia mengambil selimut bulu tipis dari dalam lemari Anton, ia menutupi tubuhnya sendiri dikeheningan malam. Sebelum terlelap ia berdoa, agar ia dapat melalui pernikahan ini dengan penuh kesabaran. Tubuhnya menghadap Anton yang tengah terlelap di seberang sana. Ia pandangi wajah lelaki yang kini telah resmi menjadi suaminya. Tanpa bisa ia cegah, air matanya kembali menetes, kali ini bukan karena sakit di giginya, melainkan karena penolakan suaminya.

Keesokan harinya, Bu Parti dan Parni serta Agus, langsung berpamitan pulang. Padahal Bu Rasti sudah menahan mereka agar berlebaran disini saja. Namun ketiganya menolak. Parmi menangis memeluk ibunya begitu juga kakaknya. Ia teringat pesan ibunya.

"Perasaan ibu tidak enak meninggalkan kamu disini. Mmm..jika sesuatu yang tidak baik terjadi pada pernikahanmu, pulanglah Nak. Ibu akan menunggumu. Tapi ibu tetap akan berdoa agar pernikahan tanpa cinta ini, bisa bahagia sampai selamannya."

Pesan itu masih terngiang di telinga Parmi, hingga adzan magrib kembali berkumandang. Hari ini, Parmi seharian sibuk di dapur, menyiapkan aneka hidangan lebaran. Mulai dari ketupat, opor ayam, dendeng daging, sayur labu siam, kering kentang, sambal telur dan aneka hidangan lainnya. Karena sedang datang bulan, Parmi jadi sangat gesit mengerjakan semuanya tanpa jeda. ia pun belum ada masuk ke dalam kamar suaminya.

Ia juga belum ada berbicara lagi dengan suaminya sejak kejadian semalam. Parmi menghidangkan aneka masakan untuk berbuka puasa di atas meja, kedua mertua dan suaminya makan dengan lahap. Parmi yang menghargai Bu Rasti dan Pak Andi, ikut duduk di samping Anton. Ia makan dalam diam, merasa sangat rendah diri. Belum pernah ia merasa sangat rendah seperti ini.

"Sakit gigi kamu sudah sembuh?" tanya Anton sambil lalu.

"Sudah, Mas!"

"Eh kamu sakit gigi, Mi. Ya ampun maafin mama ya, lagi sakit mama suruh masak ini itu. Mama ga tahu, maaf ya Mi!"

"Iya , Ma. Ga papa!"

"Kamu masih haid ya?"

"Iya, Bu, eh Mah"

"Wah, belum malam pertama dong!" goda Bu Rasti sambil menyeringai.

"Udah, Ma. Malam ini kan sudah malam kedua! Masa ia belum malam pertama, langsung malam kedua!" oceh Parmi masih tidak paham dengan ucapan Bu Rasti. Bu Rasti dan suaminya terbahak, sedangkan Anton cuek saja, masih menyantap makanannya dengan lahap.

Sudah pukul sembilan malam, tepatnya malam takbiran. Anton pergi ke masjid terdekat untuk bertakbir. Parmi sedang berada di kamar Anton, ia meminum obat sakit gigi yang dibelikan Agus kemaren. Ia kembali mengambil selimut yang setelah ia lipat, ia taruh di bawah meja kerja suaminya. Ia tertidur di sofa sambil meringkuk tertutup selimut. Anton kembali dari masjid dua jam kemudian, ditatapnya Parmi sekilas, saat masuk ke dalam kamar. Ia pun bersih-bersih lalu naik ke atas ranjangnya. Kedua matanya masih menatap Parmi yang terlelap dengan mulut menganga. Anton menepuk jidatnya.

"Gimana caranya, bikin anak. Liatnya tidur aja udah males!" gumam Anton, sebelum akhirnya ia pun ikut terlelap.

****

Siap-siap masuk part syedih yaa??mau sad ending atau happy ending nih?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel