Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 : Dikira Office Girl

Amanda yang sudah dongkol mengambil kembali proposalnya dan dengan tatapan muak dia langsung bangkit keluar dari ruang dosen cabul itu. Dia tak perduli kalau harus menunggu tahun depan untuk mengerjakan tugas ahirnya daripada memenuhi persyaratan yang membuatnya pengen muntah itu. Oh, benar benar hari yang sial.

"Hey, sebentar!" Panggil Pramudia kemudian terdengar tawanya yang renyah, "Kembalilah, aku hanya becanda soal 'main' tadi"

Amanda masih mengatur nafasnya karena hatinya dongkol sekali sudah dikatakan yang bukan bukan. Eh, malah pria ini dengan tidak berdosa hanya bilang becanda. Benar benar becandanya tidak lucu.

Tapi Amanda kembali duduk untuk melanjutkan bimbingannya. Meski dengan perasaan was-was karena khawatir jangan-jangan dosen ini memang dosen cabul.

“Aku memberimu waktu sampai besok, jika kau belum merampungkan revisinya. Mohon maaf nona Amanda yang cantik, anda harus di-diskualifikasi.”

"Ck!" decak Amanda malas terbayang kata-kata dosennya yang sempat melontarkan lelucon tidak lucu tadi siang.

Karena ancaman dosen itu juga, semalaman Amanda mengutak-atik laptop untuk merevisi proposal penelitiannya.

Besok dosen killer itu pasti akan marah marah lagi kalau sampai proposal Amanda belum selesai juga. Menyesal dia memilih jurusan gizi.

Belum lagi, masalah liontin ibunya ....

"Sudah istirahat sana, nanti malah kesiangan lho bangunnya," nasehat Lesty karena sudah hampir jam 12 malam Amanda belum selesai juga sibuk di depan laptopnya.

"Iya, dikiiit lagi," ujar Amanda tersenyum lega karena tinggal daftar pustaka yang harus diketik.

Drrstt!

Tiba-tiba Listrik rumah padam.

Amanda belum menyimpan dokumennya. Buru-buru, dia ingin menyimpannya. Sayang, kakinya tak sengaja tersandung kabel charge hingga laptop yang di meja pun tertarik jatuh.

Tit! Layar laptop pun menghitam.

Lama, Amanda mematung sebelum akhirnya menyadari sesuatu.

"Lesty... laptopku rusak!" teriaknya histeris.

*****

Keesokan harinya tampak wajah sedih dan melas keluar dari ruang dosen.

Dia butuh beberapa saat untuk menenangkan dirinya, baru kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Hallo, Sayang? Sudah beres tugasnya?" Suara itu terdengar masih lembut dan merdu di telinga Amanda. Tak bisa bayangkan jika Amanda harus menceritakan masalahnya.

"Ma?"

Amanda menimbang apa dia harus bercerita pada mamanya tentang liontin itu dan proposal penelitiannya.

Dia ragu karena mamanya pasti marah terlebih untuk liontin itu. Itu bukan liontin sembarangan. Begitu setidaknya mamanya selalu mengingatkan.

"Sayang, sebenarnya ada berita buruk. Tapi, mama takut menyampaikan padamu karena kamu fokus tugas kuliahmu. Hanya saja, mama pikir papamu juga butuh dukungan darimu, jadi tolong ya telpon papamu dan hibur dia." Moana, mama Amanda berbicara lebih dulu menyampaikan sebuah masalah.

Amanda cemas karena ini menyangkut papanya. Meski kedua orang tuanya sudah lama berpisah sejak dirinya SMP, tetapi Moana yang tinggal di Kota Batu memang lebih update tentang keadaan sang papa di Surabaya. Mereka berusaha kompak menjalankan perannya sebagai orangtua Amanda.

"Papa kenapa, Ma?"

"Masalah pekerjaan, proyek yang dia tangani gagal dan merugi besar. Sepertinya papamu akan berhenti kerja lagi dan cari tempat kerja baru."

Deg!

"O--oke, Ma." Amanda hanya bisa mengucapkan hal itu.

"Sudah tidak apa, hubungi saja papamu dan buat dia bahagia karena putrinya udah mau lulus kuliah." Suara mama Amanda terdengar tenang.

"Iya Ma, nanti aku telpon papa. Mama sehat kan? Gak sakit lagi? Jaga makannya, jangan buat kerja dulu ya Ma, biar sehat dulu."

"Astaga, calon ahli gizi Mama! Terimakasih, Sayangku! Titip salam buat Lesty, ya!" tukas Moana lalu telpon diakhiri.

Amanda tertegun cukup lama. Kedua orangtuanya pun sedang menghadapi masalah yang lebih berat dari masalahnya.

'Lebih baik, aku tidak dulu memberitahu mama maupun papa masalah ini.'

Lantas, ia pun mengumpulkan sisa-sisa semangatnya hari itu.

Tanpa menunggu Lesty, Amanda berjalan ke sebuah toko perhiasan menemui penjaga toko itu dan menunjukan foto liontin mamanya.

"Beberapa hari yang lalu memang ada yang jual ini, tapi langsung diambil orang." Penjaga toko itu memberi penjelasan.

"Astaga, Mbak! Kira-kira Mbak kenal tidak?" Amanda setengah mendesak.

Ahirnya, wanita itu memberikan nomor hp orang yang dimaksud kepada Amanda. Tanpa menunggu lama Amanda pun menghubunginya.

Untung saja, orang itu ada di tempat yang tidak jauh dari Amanda berada. Secercah harapan terpancar di matanya kemudian segera naik ojek untuk datang ke tempat tujuan.

Seperti ksatria yang sudah bertempur habis-habisan namun kalah juga, Amanda berjalan ke sebuah tempat sambil menundukkan kepalanya. Merasakan berat beban hidupnya kini.

"Maaf Mbak, mau cari siapa?" tanya seorang resepsionis perusahaan pada Amanda yang ngeloyor saja tanpa permisi.

Sontak, Amanda pun tersadar.

"Oh, teman saya kerja di sini, Bu," jawab Amanda tergagap.

Dia baru ingat belum menghubungi Lesty kalau dia akan datang ke tempat kerjanya. "Siapa namanya?"

"Lesty, ada lagi Dion. Mereka temanku"

"Oh, kau bisa cari mereka di pantry lantai 3."

"Terima kasih, Bu." Amanda mengangguk sopan dan berlalu.

Namun, entah dia salah jalan atau bagaimana dia tak menemukan pantry yang dimaksud.

Segera, ia mencoba menghubungi Lesty. Sialnya, hp-nya tak ada sisa paket data.

'Oh Tuhan, kapan kesialan ini kau ganti dengan keberuntungan?' batin Amanda yang merasa dipermainkan keadaan.

Dengan gontai, dia berbalik badan. Namun ...

Bruk!

Tiba-tiba, dia menabrak pria setengah tua yang membawa nampan berisi minuman.

Dan lebih sialnya lagi, tumpahan minuman itu membasahi dan mengotori bajunya.

Ini benar-benar sempurna! Rasanya, ingin Amanda meledakan kepalanya dan tak merasakan kekacauan hidupnya ini.

Dia hendak marah pada pria yang menabraknya, tapi tak tega melihat pria itu sudah berjongkok membersihkan gelas-gelas yang pecah.

Segera, Amanda membantu pria itu. "Maaf pak, saya kurang hati-hati."

"Tidak apa-apa, Mbak. Maaf, saya juga kurang hati-hati."

Amanda semakin merasa bersalah. Dia pun mempercepat dirinya untuk merapikan pecahan itu.

Sayangnya, semua terhenti begitu suara perempuan terdengar marah-marah dari belakang. "Haduh, ada apa lagi ini? Pak Bos sedang ada tamu dan minta dibuatkan kopi, kalian ngapain coba?!"

Pria itu tampak panik--mencoba berdiri dengan sedikit tidak stabil membawa nampannya. "Maaf bu, yang lain sibuk menjamu makan siang peserta meeting. Jadi, tidak ada yang antar."

"Terus, gimana dong?" Wanita itu kembali melotot.

Bapak tua itu hanya menunduk bingung.

Melihat itu, hati Amanda semakin iba.

"Biar saya saja," sahut Amanda tiba-tiba.

Tapi, perkataan itu sepertinya membuat kepala OB salah paham.

Wanita yang memakai name tag Adoria itu bahkan menatap Amanda tajam. "Kamu anak baru itu, ya?"

"Oh, maaf tapi..." Amanda jadi bingung--masih mencoba menjelaskan sesuatu. Sayangnya, Dora mengangkat telunjuknya seperti sedang mengacung sambil memberikan perintah.

Wanita itu bahkan sudah menyeret lengannya dan memintanya mengganti seragam OG.

"Aku sudah maafkan keterlambatanmu. Setelah ganti baju, sekarang buatkan dua kopi ke lantai 7 untuk tempat meeting khusus."

Dora pun berbalik badan dan pergi begitu saja.

"A--apa-apaan ini?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel