Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Frida

Bab 13 Frida

Kala itu hujan lebat datang dengan terpaan angin yang begitu dahsyat. Harlan duduk di kursi ruang tamu memandang petir dan suara sambarannya yang memekakkan telinga. Hanya ia dan Mbok seorang yang berada di rumah. Meg masih di kantor dan akan pulang larut malam. Hujan kali ini tidak seperti biasanya. Ada perasaan yang tidak enak di batin Harlan dengan cuaca yang ekstrim seperti ini. Ia mengambil selimut di sampingnya dan menyelimuti dirinya seorang diri. Rumah ini terasa begitu hening dan sepi. Kehadiran manusia yang jarang membuatnya semakin suram dan habis direnggut oleh waktu. Dan ketika Harlan hendak kembali ke ruang kerjanya, ia bertemu dengan perempuan Dandelion tersebut. Ia mengenakan jubah putih dengan selendang yang dikenakan memutar di leher. Ia tersenyum kepada Harlan. Senyum yang begitu tulus dan menenangkan.

"Frida, kaukah itu?"

"Harlan..."

"Apakah benar kau Frida, Dandelion-ku?"

"Ini aku, Harlan."

"Frida..."

"Sudah lama Harlan kita tidak bertemu."

"Ya, aku sangat merindukanmu sayang. Begitupun Mary, kami berdua sangat merindukanmu, tidak ada satu detik pun kami tidak merindukanmu. Kau tahu Mary sudah beranjak dewasa sekarang. Ia tumbuh menjadi perempuan yang begitu cantik sama sepertimu, bahkan kau masih terlihat cantik seperti muda dahulu. Ia tangguh sama sepertimu, Frida. Ia begitu tangguh sebagai perempuan."

Frida tersenyum lembut dan bangga.

"Aku tahu ia akan tumbuh menjadi perempuan yang memiliki itikad baik dan tulus. Meskipun kehidupannya kelak tidak akan mudah, namun hatinya tetap akan bersih dan putih."

"Ia sedang berada di masa itu, sayang. Aku sangat sulit menjangkaunya, yang ia butuhkan adalah dirimu seorang. Seorang Ibu yang memahami anak perempuannya sampai ke nadi dan tulang belulangnya. Ia merasa begitu kesepian dalam sendirinya. Aku merasakan betul firasat itu. Terdapat titik dimana ia merasa kehilangan arah dan tidak tahu mesti pergi bertanya kepada siapa. Apa kau merasakannya pula, sayang?"

"Itulah sebabnya aku datang sekarang. Ia memanggilku di saat dimana ia benar-benar membutuhkanku. Dan aku pasti hadir meskipun dalam waktu dan wujud lain. Aku selalu berada di samping kalian berdua, sayang. Tidak ada yang dapat menyakiti kalian karena aku selalu dekat dengan kalian."

"Aku sendiri merasa bingung, sayang. Aku merasa gagal menjadi seorang Ayah yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada anak perempuan satu-satunya. Aku minta maaf Frida, aku sungguh minta maaf. Aku justru tidak mendengarkan Mary sebagai anakku melainkan justru mendengarkan saran orang lain yang bahkan sebelum ini ia bukan siapa-siapaku. Aku mengaku salah Frida dan aku minta maaf."

Harlan tidak kuasa menahan air matanya. Ia menangis tersedu sedang dengan menutupi wajahnya menggunakan selimut. Mary tersenyum lembut melihat Harlan yang menangis seolah-olah sedang mengadu keluh kesahnya selama ini.

"Aku sangat menyayangi kalian berdua. Kau tahu apa yang harus kau lakukan Harlan."

"Aku tidak tahu, Frida. Aku orang tua yang bodoh, aku sungguh tidak tahu tanpa kehadiranmu akan seperti apa ke depannya."

"Kau Ayah yang membanggakan bagi Mary, sayang. Dan aku juga bangga padamu."

Suara tangis Harlan pecah membuatnya sulit bernapas. Ia tersungkur sampai ke lantai dengan wajah memerah dan air mata yang tidak dapat dibendung lagi. Ia menangis segala yang telah ia lakukan. Terutama perasaan gagal sebagai Ayah yang selama ini ia tanggung dan pikul. Dan ketika ia hendak bercakap lagi, Frida sudah beranjak berjalan keluar rumah.

"Mau kemana, Frida? Aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Frida jangan pergi, aku mohon, aku membutuhkanmu di sini, Mary pun demikian."

Namun, Frida terus berjalan melewat halaman rumah dan nyaris tidak tampak lagi di antara kabut dan suasana mendung dengan warna hitam pekatnya. Harlan terus memanggil, namun tidak pula melihat batang tubuh Frida lagi. Ia terus memanggil dan memanggil.

"Pak! Bapak! Sadar pak!"

Harlan tersentak hebat dan melihat Mbok berada di sampingnya.

"Bapak, tidak apa? Saya dengar Bapak berteriak-teriak saya takut jika terjadi sesuatu."

"Maaf Mbok ini hanya mimpi buruk saja. Keadaan saya memang kurang baik belakangan ini."

"Mau saya ambilkan air putih hangat, Pak?"

"Terima kasih, Mbok."

Harlan kembali termenung dan menyeka matanya yang masih basah. Ia menenggelamkan wajahnya pada bantal dan terisak kembali.

"Frida..." katanya pelan. "Aku ingin kau disini menemaniku dan Mary."

***

"Ada apa dengan Bapak? Kudengar ia berteriak-teriak ketika tidur."

"Iya, Nyonya. Ketika saya datang Bapak masih berteriak seperti memanggil seseorang. Akhirnya saya beranikan diri untuk membangunkan Bapak secara paksa."

"Apa kau lupa tidak memberinya obat?"

"Tidak, Nyonya. Saya selalu tepat waktu untuk memberi Bapak obat."

"Apakah ia benar-benar meminumnya?"

"Saya kurang tahu Nyonya, Bapak selalu mempersilahkan saya untuk keluar dari kamar maupun ruang kerjanya terlebih dahulu."

"Nama siapa yang ia panggil? Apa kau mendengarkan jelas?"

"Tidak, Nyonya. Saya tidak tahu."

"Baiklah, kau bisa kembali ke dapur."

Mengapa ia masih memikirkannya, pikir Meg. Apakah ia tidak menganggapku sebagai pasangan hidup, sebagai istrinya. Kurang baik apa aku memperlakukannya. Semua terpenuhi berkat aku. Bahkan aku mau tinggal di rumah kumuh seperti ini bersamanya. Meg semakin kesal dengan meremas lembaran laporan kantor yang harus ia selesaikan barusan. Perempuan itu sudah meninggal namun mengapa Harlan masih saja membawanya dalam kehidupan ini. Meg menjadi semakin kesal. Ia lempar lembaran kertas ke sembarang tempat dan pergi keluar rumah untuk menghirup udara. Meg tidak habis pikir dengan semuanya. Mengapa masalah keluarga terasa begitu rumit, ia beranggapan tidak ada yang mesti dipermasalahkan sama sekali. "Dasar anak manja!" ucap Meg kesal. Ia tidak suka dengan perhatian Harlan yang dianggapnya terlalu berlebihan pada Mary.

"Kau sudah berkeluarga dan memiliki kehidupanmu sendiri, buat apa masih menjadi beban orangtua. Lihat apa yang terjadi dengan Harlan saat ini. Manja sekali perempuan satu itu!" Ucapnya dengan nada yang begitu sinis.

Ia masuk ke dalam menuju ruang kerja Harlan. Harlan terlihat begitu serius dengan mesin ketik yang ada di di depannya. Berlembar-lembar kertas terlihat berserakkan dimana-mana. Harlan tidak suka jika ada yang menyentuh barangnya, apalagi berani memindahkan barangnya sesuka hati. Biarkan apa-apa yang berada di ruang kerjanya terlihat berserakan, namun ia hafal semua barang tidak terkecuali tutup pena yang terselip di sela-sela meja. Itulah sebabnya mengapa Mbok dilarang keras untuk masuk. Ia takut jika Mbok salah ambil kertas dan membuangnya yang mana kertas tersebut adalah hasil endapan inspirasi yang Harlan tulis dengan teliti.

"Kau sedang sibuk?"

"Begitulah." Jawabnya singkat.

"Boleh aku masuk?"

"Ya."

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, ada apa?"

"Tidak, aku hanya mendengar kau mimpi buruk beberapa hari yang lalu."

"Hanya mimpi buruk biasa, bukan apa." Harlan masih tampak sibuk dengan tetap mengetik beberapa naskah di depannya.

"Kudengar kau memanggil nama seseorang."

"Kata siapa?"

"Mbok berkata seperti itu, namun ia tidak tahu apa yang kau ucapkan. Kurasa kau tahu siapa yang kau panggil saat itu."

Harlan berhenti mengetik dan memandang lurus kedepan. Meg tampak serba salah dengan sikap Harlan.

"Apa maumu, Meg?"

"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya bertanya saja jika kau tidak merasa tidak apa. Aku herannya saja kau masih memanggil orang yang sudah mati, sedangkan masih ada orang yang bernyawa yang tinggal serumah denganmu."

"Meg, apa maksudmu? Berhentilah bersikap kekanak-kanakan."

Seketika Meg meninggikan suaranya.

"Kau masih mengingat perempuan itu, padahal ada aku disini! Bahkan kau selalu khawatir soal Mary. Berulang kali ku ucapkan bahwa anakmu baik-baik saja. Kau begitu memanjakannya! Itulah sebabnya mengapa ia selalu dalam keadaan susah. Hidupnya selalu susah dengan perasaannya yang terlalu sensitif dan tidak dapat disakiti. Kau tahu dunia begitu kejam, siapapun bisa menyakitimu. Berhentilah mengkhawatirkan orang lain, khawatirkan dirimu sendiri. Mereka berdua Ibu dan anak perempuan memiliki karakter yang serupa. Apa kau tidak melihatku sebagai seseorang? Harusnya Mary tahu diri, akulah yang mencarikannya laki-laki, kalau bukan aku siapa lagi. Apa kata orang tentang dirinya, apa kau mau ia disebut sebagai perawan tua? Aku berkata seperti ini karena aku peduli padanya. Namun, ia justru seperti memusuhiku. Apa salahku? Aku juga Ibunya, bisakah ia menganggapku sebagai layaknya Ibu. Dan kau, kau justru memperburuk keadaan dengan selalu membawanya pada perasaanmu itu."

"Meg, keluar dari ruanganku." Harlan berucap begitu tenang dan dingin. Meg terkesiap mendengar nada suara Harlan yang begitu serius dan tersinggung.

"Harlan, aku tidak--"

"Aku bilang keluar!"

Meg akhirnya keluar dengan sendirinya. Harlan kembali melanjutkan pekerjaannya mengetik dengan lembaran naskah yang ia tambah lebih banyak. Kepalanya menjadi pening dan degup jantung terasa begitu cepat. Nafasnya naik turun tidak beraturan dengan tangan berkeringat dingin. Harlan merasa sangat tidak enak hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel