Pustaka
Bahasa Indonesia

Marry with Mr. Gay

90.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
2.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Mary menikah dengan Bastian karena terpaksa, tanpa dia tahu kalau ternyata suaminya adalah Gay. Awalnya dia mengira Bastian pria yang baik dengan menghormati privasi dan tidak menuntut apapun, sialnya ketika Mary mulai jatuh cinta, rahasia itu terungkap, dan Bastian berencana meninggalkan Mary untuk tinggal bersama pacar lelakinya, Lau Chris.

MetropolitanBaperSuspense

Bab 1 Pernikahan Mary

Bab 1 Pernikahan Mary

"Entahlah. Apakah ini keputusan yang tepat atau tidak? Sepanjang hidupku aku selalu ragu untuk mengambil keputusan yang menjadi jalan hidupku. Namun, aku hanya seorang perempuan yang terikat dengan belenggu keluarga dengan adat dan norma sosial yang normatif. Apa yang menjadi pendapatku tidak akan mereka gubris. Mereka hanya menginginkan seorang anak perempuan yang penurut dengan mengiyakan setiap keinginan mereka. Bagiku semua orang sama saja. Mereka mau melihat apa yang mereka mau lihat, dan mendengar apa yang mereka mau dengar. Mereka pikir pernikahan adalah satu-satunya jalan untukku agar aku bahagia. Namun, apakah mereka tahu perasaanku yang sebenarnya? Apakah mereka tahu aku bahagia atau tidak dengan pernikahan ini?" Mary membatin panjang lebar.

Mary melihat dirinya di depan cermin besar dekat jendela. Ia tampak berbeda seperti biasanya. Polesan tata rias dan gaun pengantin ini memberikan efek glamour yang kurang ia sukai. Rambut panjangnya tergerai jatuh dan lurus menutupi punggungnya yang terbuka. Kain brokat putih ini sungguh tidak nyaman rasanya. Ia kurang suka dengan desain yang ditawarkan Meg. Ah selera Meg sungguh buruk, gerutu Mary.

"Sedang apa kau? Kau harusnya sudah siap, semua orang sudah menunggu di pelataran. Ingat jangan lupa untuk tersenyum. Ini hari pernikahanmu, semua orang terlihat bahagia, mengapa kau sendiri yang tampak tidak bahagia, Mary?"

Mary menyunggingkan senyum simpul terpaksa di depan cermin. Ia tahu pernikahan ini adalah ide buruk. Bahkan ia tidak mengenal dengan baik siapa laki-laki yang akan menjadi suaminya dalam hitungan menit kedepan. Meg selalu saja merasa ia yang paling tahu, padahal sesungguhnya ia tidak tahu apa-apa.

"Meg, sepertinya aku butuh waktu lebih untuk berpikir. Aku--"

"Apa maksudmu?" paparnya dengan wajah serius. "Tidak ada waktu lagi untuk berpikir, kau akan menikah dalam waktu tujuh menit lagi. Jangan kau kira ini mudah, tidak ada yang mudah, bahkan bagiku. Tidak mudah bagi seorang Ibu untuk melepaskan anak perempuannya. Ini hanya pernikahan Mary, bukan suatu bencana alam. Singkirkan pikiran bodohmu dan berbahagialah seperti pengantin perempuan pada umumnya".

"Meg, kau tahu apa tentang diriku? Kau bahkan tidak tahu hari ulang tahun ku, jadi berhentilah seolah-olah kau peduli denganku, karena kenyataanya tidak. Satu hal lagi Meg, meskipun kau mengakui aku sebagai anakmu, aku tidak akan memanggilmu Ibu. Kau bukan anggota keluarga murni yang sedarah denganku, kau hanya orang yang secara kebetulan kukenal dan bernama Meg. Permisi aku akan turun sekarang".

Meg melangkah perlahan seraya mengangkat gaun mewah yang menjuntai menyeret lantai dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak peduli apakah itu menyakiti hati Meg, namun sayangnya tidak ada di keluarganya yang mau mengerti dirinya. Meg terdiam kaku mendengar ucapan yang barusan keluar dari mulut Mary seraya berpura-pura membenarkan tatanan rambutnya.

Bersamaan dengan perasaan yang carut marut, Mary berusaha untuk tetap berjalan tegak dengan pandangan lurus kedepan. Ia tidak ingin melihat orang-orang di sekelilingnya. Mereka semua tampak begitu bahagia dengan sesekali terdengar isakan terharu dari paman dan bibi. Mary hanya melihat Ayah di depan sana. Ia sudah menunggu cukup lama. Mary tahu ini tidak akan mudah bagi Ayah. Ia sudah berjuang keras selama hidupnya. Kepergian Ibu sudah cukup membuatnya jatuh ke dalam kubangan kesendirian yang teramat dalam. Ia ingin Mary bahagia, namun apakah seseorang dapat membuat orang lain bahagia jika dirinya sendiri menderita.

Ayah menggenggam tangan Mary dengan erat dan tersenyum. Ia tampak begitu tua dan renta. Sudah saatnya ia beristirahat seperti Ibu di alam sana. Mereka berjalan berdampingan dengan taburan bunga-bunga dari anak-anak kecil pengantar mempelai perempuan. Dan di depan sanalah ia berdiri. Laki-laki yang bahkan sama sekali tidak dikenal. Aku pasti sudah gila, pikir Mary. Oh, bukan aku yang gila, keluarga ini sudah gila dengan menikahkan aku pada laki-laki yang bahkan tidak kukenal. Siapa namanya? Bastian? Ah siapapun ia aku tidak tahu. Tuhan, semoga ia bukan laki-laki seperti yang pernah kutemui sebelumnya. Setidaknya ia cukup normal hanya untuk mengisi ruang kosong di hidupku.

Ia mengambil tangan Mary dan sumpah janji setia pernikahan diucapkan oleh penghulu. Mary tertunduk dalam senantiasa menghayati janji sakral ini. Sedangkan laki-laki tersebut tampak biasa saja tidak terlalu menaruh perhatian yang lebih. Ucapan sah sudah terlontar dan Mary resmi menjadi istri seseorang.

***

"Aku akan mandi duluan, kalau kau lelah, istirahat saja terlebih dahulu."

Mary hanya mengangguk.

Apa ini? Ia seolah-olah sedang menginap di suatu penginapan dengan orang asing yang salah masuk kamar dan hendak menumpang mandi. Siapa nama lengkapnya saja ia sudah lupa. Yang jelas ia tidak akan memberi keperawanannya seperti pasangan suami istri di malam pertama. Ia hanya ingin mandi lantas tidur sampai esok pagi.

Lima belas menit kemudian, laki-laki tersebut keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan handuk yang menutupi bagian bawah. Ia memiliki badan yang atletis dengan bulu dada yang cukup lebat. Mary sempat terdiam sejenak memandangi laki-laki tersebut berdiri di depan kamar mandi yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Kau hendak mandi juga?"

"Iya, saya mau mandi."

"Baiklah. Setelah mandi ada hal yang ingin saya sampaikan."

"Ok"

Selesai mandi Mary sudah melihat laki-laki tersebut duduk menunggu dirinya. Apa pula yang ingin ia sampaikan, apakah tidak dapat menunggu sampai esok saja.

"Mary, silahkan duduk," ujarnya mempersilahkan Mary duduk di kursi depannya.

"Dengarkan aku baik-baik. Aku tahu pernikahan ini bukan keinginanmu. Kau hanya dijadikan sasaran saja oleh keluargamu sendiri. Kau tahu sendiri bukan kultur masyarakat kita begitu mendominasi dengan usia terutama jika itu perempuan. Ada begitu banyak stigma yang disematkan pada pada perempuan apalagi jika mereka sudah berkepala tiga. Jangankan berkepala tiga memasuki usia dua puluhan saja mereka sudah didorong untuk segera menikah dan memiliki anak. Dan itu pula salah satu faktor yang terjadi padamu saat ini, bukan?"

Mary hanya mengangguk belum mengerti maksud ucapan orang di depannya tersebut.

"Yah, itu pula yang terjadi denganku. Aku juga sudah dianggap berumur dan sudah waktunya untuk menikah. Namun, pernikahan terlalu rumit bagiku. Aku bukan orang yang dapat terikat secara permanen dengan seseorang. Dalam artian aku tidak menjalin hubungan yang serius apalagi untuk bertahan sepanjang hidup sampai akhir hayat. Aku masih ingin menikmati masa yang kuanggap muda ini. Usia tidak menjadi penghalang bagiku untuk melakukan apa yang kumau. Dan bagiku kau pun sama. Aku tahu kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini hanya simbol formalitas untuk memenuhi standar keluarga kita masing-masing. Maka meskipun kau istriku dan aku suamimu, kau kubebaskan untuk melakukan apa pun yang kau mau. Begitu pula denganku, kau tidak memiliki hak untuk mengatur atau membatasi ruang gerakku. Bahkan kau boleh berhubungan seksual dengan laki-laki yang kau mau. Asal jangan sampai keluarga kita tahu, mereka bisa terkena serangan jantung."

Astaga, apa-apaan ini. Apakah laki-laki ini sudah gila. Ia mengucapkan ide gila tersebut dengan sangat tenang seolah-olah tidak ada beban sama sekali. Sedangkan dirinya hanya mampu terdiam kaku dan kedinginan dengan rambut dan tubuh yang masih setengah basah. Pernikahan macam apa ini? Apakah ada pernikahan seperti ini diluar sana atau hanya pernikahannya saja yang gila. Jangan-jangan memang dunia sudah gila.

"Tunggu, apa kau bilang? Itu artinya kau membebaskan ku untuk melakukan apapun yang kumau, bahkan dengan siapa aku hendak satu ranjang?"

Ia mengangguk.

"Dan itupun berlaku sama denganmu pula?"

Ia pun mengangguk untuk kedua kalinya.

"Apa kau sudah gila?"

Ia menatap Mary dengan sedikit terkejut.

"Aku tahu kau tidak mencintaiku sama sekali, begitu pula denganku. Namun, kupikir kontak pernikahan yang sedang kau tawarkan ini sungguh gila bagiku. Kau pikir aku apa? Perempuan yang dapat kau atur setelah ucapan sah penghulu beberapa jam yang lalu. Asal kau tahu ya, siapa namamu, Bastian? Ya, Bastian kalau kau mau aku bersedia untuk bercerai saat ini juga. Jangan memberi tawaran bodoh. Bagaimana dengan konsekuensi ke depannya. Bagaimana dengan keluargamu yang bahkan tidak aku kenal. Dan satu lagi ini, jika Ayahku tahu ia akan sangat terluka. Kau tahu berapa penderitaan yang ia tanggung selama hidupnya. Maka dari itu Bastian, siapapun nama kau, sebelum kau bertindak sesuatu pikirkan baik-baik terlebih dahulu."

Bastian menatap Mary seraya menghelakan napas berat.