Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Gara-gara Malvin

Begitu mata ini terbuka perlahan, yang terlihat adalah bayangannya di cermin, dengan memakai gaun putih pengantin yang sangat indah. Wajahnya juga telah dirias secantik mungkin, sampai ia terkagum-kagum dan tak percaya bahwa ini adalah dirinya.

Ia akan menikah? Dengan siapa? Rasanya nyata banget? Apa pangerannya udah datang?

Eiliya berbalik, keluar dari ruangan rias. Secara ajaib, kakinya telah memijaki tanah beralaskan kelopak mawar merah. Senyumnya terulas, di altar seorang pria yang memakai baju pengantin berwarna senada dengannya telah berdiri menunggunya.

Ganteng kah? Kaya kah? Masa bodo. Rambutnya yang dicat warna cokelat kemerahan--itu mau bule asli atau bule Depok--Eiliya tidak peduli. Senangnya bisa menemukan pujaan hati. Pengin rasanya mempercepat langkah ini, menemui sang pangeran idaman. Sebentar lagi, ia sampai di altar.

Eiliya melongok, mencoba melihat pria itu. Wajahnya terkena sinar matahari, sehingga ia kesulitan melihat wajahnya dengan jelas.

Ikrar sehidup-semati telah diucapkan. Anehnya, Eiliya tak mendengar nama pria itu--mungkin terlalu fokus untuk penasaran bagaimana wajah pria yang akan menjadi suaminya.

Ketika mereka disahkan menjadi sepasang suami-istri, burung-burung merpati putih bertebangan, nada-nada piano terdengar. Tiba saatnya untuk mencium pasangan. Eiliya menunggu dengan gemas, tak sabar penutup wajahnya dibuka dan melihat tampang suaminya yang tampan.

Namun yang terjadi, Eiliya justru melongo saat melihat pria itu. Kali ini bukan pengandaian, entah dari mana datangnya, bola basket mengenai kepalanya. Kaget, sekaligus sakit. Tapi semua itu tak sebanding dengan perasaannya saat ini.

Tidak mungkin, masa dia suamiku? Gumamnya dalam hati, tak percaya. Si pria gay, yang baru semalam ini ia pergoki dengan pasangan gay-nya, ternyata dia yang ia nikahi.

Ini tidak nyata kan? Masa dia sama Malvin....

"Ngaaaaaaakk!"

Byur!

Eiliya tersentak, merasakan dirinya disiram oleh air seember sampai mulutnya masuk air. Matanya terbelalak dan langsung duduk.

Loh kok, sekarang dirinya ada di kamar? Saat melihat ke bawah, baju pengantinnya yang cantik sudah berganti dengan piyama warna merah muda yang warnanya memudar. Lalu, ia melihat Maminya sedang berdiri di dekatnya, sambil membawa ember merah.

"Mami ngapain di sini?" tanyanya heran.

"Lah, harusnya Mami yang tanya? Mimpi apa kamu, sampai teriak begitu?" sahut mantan Nyonya Sucipto itu marah.

Eiliya termenung sejenak sambil memutar ulang memori yang terekam di otaknya beberapa menit yang lalu. Ia terkesiap. Tadi itu bukan bunga tidur yang indah seperti di dongeng. Lebih seram dari film horor, sampai Eiliya merinding.

"Cuma mimpi buruk ... oh iya, Mi. Ngomong-ngomong, Mami siram aku pakai air apaan? Kok wangi?"

"Oh, ini air bekas pewangi."

Teganya dirimu. Ibu macam apa yang nyiram anaknya pakai air pewangi? "Mami yang benar aja dong? Untung langsung aku lepehin. Kalo nggak, udah keracunan aku."

Mami tersenyum malu, lalu pura-pura marah untuk menutupi kesalahannya. "Lagian sih, kamu, pake teriak-teriak segala. Mami tepuk-tepukin badan kamu, tetap nggak mau bangun. Ya udah, Mami siram pake air ini."

Eiliya menghela napas heran.

Sejak Papi meninggal, status Mami yang tadinya seorang Nyonya Kumala Sucipto telah berubah. Perusahaan Papi bangkrut, otomatis Eiliya dan Maminya jatuh miskin. Tak ada warisan berharga yang diturunkan padanya mereka, kecuali rumah sederhana ini dan sebuah sepeda karatan.

Maminya biasa hidup mewah sejak kecil, begitu juga dengan dirinya. Sikap manjanya yang telah tertanam sejak kecil sampai umurnya menginjak 17 tahun, disingkirkan untuk selamanya. Ia mulai bekerja keras setelah lulus SMA, tak kuliah, memilih bekerja dengan gaji yang cukup untuk mereka selama sebulan.

Papi sudah meninggal 6 tahun yang lalu. Benar, umur Eiliya sudah 23 tahun. Bekerja di supermarket yang ada di mall ini baru sekitar 2 tahun--kurang lebih. Dulu, bekerja pakai sepeda butut yang sudah karatan. Sekarang, uang yang dikumpulkan sudah cukup untuk membeli motor matik keluaran tahun lama, second pula.

Sebelum mall dibuka, ia sudah berada di sana. Bagus, anak tetangga sebelah rumahnya, menyambutnya dengan sapaan khas logat Jawanya yang medok. Eiliya melirik meja yang ada di dalam pos satpam. Sudah ngopi rupanya. Ya, nggak jadi ngajakin cowok itu ngopi di warung biasa. Padahal, dia lagi ngantuk banget.

Bagaimana tidak, pulang ke rumah dengan laju motor yang kecepatannya rendah. Sejak melihat kejadian mengejutkan di apartemen Malvin, Eiliya langsung gemetaran. Keberaniannya menciut, syok melihat seorang gay. Mungkin kali ini, ia malah semakin bertambah jijik padanya.

Tadi malam itu, ia tak mengatakan apa pun dan tercengang beberapa lama, memberikan dompetnya, lalu langsung kabur.

Huft. Semoga tak bertemu lagi dengan pria itu.

Tapi sepertinya harapannya itu tak terkabul. Belum ada 24 jam ucapan itu keluar dari mulutnya, kebalikan dari harapannya itu terjadi.

Sekitar jam 9 malam, keadaan supermarket agak sedikit lengang. Eiliya merenggangkan tubuhnya, lalu menguap lebar-lebar. Lelah dan ngantuk sekali hari ini. Kemudian, Eiliya memainkan ponselnya. Ada pesan Whatsapp masuk!

Suara langkah kaki terdengar. Mungkin teralu asyik berbalas pesan, Eiliya tak menyadari bahwa yang datang itu adalah seseorang yang membuatnya kaget setengah mati, sampai ponselnya terjatuh.

"Eh, kodok gepeng!" serunya latah.

Malvin juga terkejut. Beberapa orang, termasuk teman kerjanya menoleh ke arahnya dan diam-diam menertawakannya. Tapi itu sama sekali tak membuatnya malu, Eiliya hanya terfokus pada Malvin.

Raut wajah ketakutan terlihat, jadi salah tingkah dan bingung. Karena tidak tahu harus melakukan apa, demi menghindar dari pria itu, Eiliya memanggil Mira, yang saat itu sedang lewat di dekatnya.

"Mira, gantiin gue ya? Gue mau ke toilet dulu," katanya, tak memberikan kesempatan pada Mira untuk berbicara, lalu bergegas ke kamar mandi.

Eiliya masuk ke salah satu bilik yang ada di dalam toilet, menutup pintunya rapat dan menguncinya. Bersandar di pintu sambil menghela napas lega. Akhirnya, terhindar dari cowok itu. Tapi itu hanya untuk hari ini. Kalau besok-besok? Apalagi dia juga pelanggan tetap di supermarket ini. Nggak mungkin kan, dihindari terus?

Ya Tuhan, kok dia harus ngalamin ini ya? Kenapa dia mesti tahu soal kelainan seks yang diderita cowok itu? Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Takutnya, ia akan dibunuh seperti yang ada di berita kriminal, gara-gara tahu soal homoseksual yang dianut oleh tersangkanya.

Aduh! Benar ya, kata orang: semakin kita banyak tahu, semakin kita celaka. Lebih baik nggak tahu sama sekali deh! Habis mau bagaimana? Nasib. Kayaknya, riwayat Eiliya adalah mati di usia muda. Jadi merinding.

Eiliya melirik jam tangannya. Sudah 10 menit, seharusnya pria itu sudah pergi dari supermarket. Mungkin, inilah saatnya ia keluar. Ia tak mau mati dengan meninggalkan sedikit uang untuk Maminya karena gajinya yang sedikit itu dipotong oleh Pak Salim.

Perlahan, ia membuka pintu, mengawasi di sekitar tempat. Ia menegak, menghela napas sambil mengelus dada. Aman dan sepi. Dengan langkah santai, ia keluar dari tempat itu.

Akan tetapi, ia berhenti dan bergidik. Saat ia berjalan menuju pintu keluar, seseorang berdiri menghalanginya. Dan orang itu adalah Malvin!

Eiliya mendelik, beringsut mundur. Tapi pria itu malah berjalan maju, hingga Eiliya tersudut di tembok. Gawat! Ia tak bisa menghindar. Apalagi, Malvin menghalangi jalannya dengan meletakkan kedua tangannya di samping kedua lengan gadis itu.

Malvin menatap Eiliya dengan kedua mata cokelatnya yang tajam. Tapi Eiliya tak sanggup menatap balik mata itu. Ia menunduk dan memejamkan matanya erat-erat. Jantungnya berdegup kencang karena ketakutan. Secuil keberanian yang tersisa, membuatnya mampu melontarkan sebuah pertanyaan pada Malvin.

"Anda mau apa?"

Jika dia bilang "nyawamu", maka detik ini terakhir ia bernapas. Dalam otaknya yang tumpul, ia membayangankan kalau pria itu akan mengeluarkan sebilah pisau dari balik jasnya, lalu menikam gadis tak berdaya ini.

"Nggak mau apa-apa."

Sontak Eiliya membuka matanya lebar-lebar. Hanya itu yang dia katakan? Lalu, ia melihat Malvin sudah menjauhkan wajahnya dari dirinya.

"Terus, ngapain Anda ke sini? Ini kan toilet perempuan," ujar Eiliya, yang keberaniannya kembali muncul sedikit. "Jangan mentang-mentang Anda homo...." Ia menutup mulutnya spontan.

Dasar mulut lemes! Karena keberaniannya yang telah muncul, membuat mulutnya lancar mengeluarkan ucapan- ucapan yang sembarangan. Ia memukul-pukul mulutnya. Gara-gara mulut ini, ia terancam dalam bahaya. Pria itu pasti merasa tersinggung.

Malvin tersenyum mencemooh. "Hei, kenapa kamu begitu? Yang kamu bilang itu nggak salah kok."

Eiliya menengok dengan mulut ternganga. Reaksinya berbeda dari yang dipikirkan?

Lantas, Eiliya menegak dan menatapnya tanpa takut. "Ya, terus ... ehem. Maksudku, ngapain kamu ke sini? Nggak mungkin kan, kamu mau buang air di sini? Mending cepat deh keluar. Nanti ada orang yang masuk gimana?"

Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, Malvin menjawab, "Tenang aja, udah aku bilangin sama petugasnya, kalau pengunjung nggak boleh masuk sampai aku keluar dari toilet."

Eiliya mencibir sambil memalingkan wajah. "Emangnya kamu siapa, memerintahkan petugas toilet kayak gitu?"

"Pemilik mall."

Kedua kalinya, pria itu membuat Eiliya menoleh tercengang, dengan mulut terbuka. Jadi selama ini, dia bekerja dengan pria gay ini? Astaga, apa lagi yang akan terjadi sekarang? Kenapa berbagai hal mengejutkan terjadi dalam waktu 24 jam?

Tanpa Eiliya bisa hindari, tiba-tiba Malvin menyergap tangan kanannya dan meletakkannya ke dinding. Dia tersenyum misterius, membuat jantung Eiliya berdetak gugup. Ya Gusti, mau apa lagi dia sekarang?

"Karena kamu sudah tahu soal aku, ada sesuatu hal yang harus kamu lakukan."[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel