Pustaka
Bahasa Indonesia

Married with Mr Gay

66.0K · Tamat
Miraicle Dewi
46
Bab
48.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Eiliya tidak menyangka bahwa pria yang sering membeli kondom di supermarket tempatnya bekerja akan menjadi calon suaminya. Namun, sebuah fakta yang mengejutkan diketahuinya pada suatu malam. Pria itu seorang gay! Dan ibunya malah menjodohkannya dengan pria itu. "Aduh, hancurlah masa depanku!" kata Eiliya

PresdirPengantin PenggantiKeluargaBaperGAY

Bab 1 Dompet

Kehidupan sehari-sehari Eiliya memang membosankan: bekerja, pulang, makan, dan terakhir tidur. Tapi yang membuatnya bosan adalah kedatangan seorang pria--yang memang tampan, tinggi, bule lagi--membeli sekotak kondom hampir setiap hari di supermarket ini. Apa dia kolektor kondom?

Kemarin kondom warna hitam, sekarang kondom aroma stroberi. Benda itu terselip di antara barang belanjaannya yang lain.

Eiliya mengambil benda itu antara jijik dan enggan, buru-buru meletakkannya di kantong belanjaan setelah di-scan.

"Dua ratus lima puluh ribu," kata Eiliya sambil memberikan kantong putih yang berisi barang belanjaan pria itu.

Namun, Pria itu tidak langsung mengambil barangnya, memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku, lalu menjawab telepon ketika ponselnya berdering.

"Iya, Ma. Malvin sedang di jalan." Entah apa yang dilihat darinya, mata pria itu melirik pada Eiliya.

Sambil menelepon, Malvin membuka dompet dan menyerahkan uang tiga ratus ribu. "Ambil saja kembaliannya," ujarnya, suaranya pelan. Buru-buru memasukkan dompet ke saku celana, kemudian bergegas keluar dari supermarket.

Setelah pria itu berlalu dari hadapannya, para sekumpulan manusia kepo berkumpul di meja kasirnya. Eiliya menghela napas jengkel.

"Ganteng banget, ya?" rumpi si cewek berbadan gempal yang bernama Tika.

"Heeh. Kenapa dia sering ke meja kamu ya, Lia?" timpal cewek rumpi kedua, yang suka memakai gincu merah menyala bernama Jeni.

Yang lainnya berseru iri dan memuja pria yang baru dia ketahui namanya barusan, selama Eiliya bertemu dengannya setengah tahun yang lalu di sini. Sama seperti lainnya, awalnya ia juga menyukainya. Tetapi saat melihat dia membeli kondom setiap berbelanja di supermarket ini, melihat wajahnya saja dia muak.

"Maniak seks" sebutan Eiliya buat pria itu.

Memang pantas pria itu disebut gitu. Dalam otak Eiliya, pria itu pasti setiap malam merayu seorang wanita, membawanya ke hotel, lalu berhubungan badan dengannya.

Bulu kuduk Eiliya meremang. Apa jadinya kalau ia juga jadi pemujanya, lalu takluk padanya? Aaaaah! Keperawanannya akan hilang dalam semalam. Tidak boleh hal seperti itu terjadi padanya. Cowok banyak di dunia ini kok, walaupun populasi cowok ganteng hampir langka.

"Lia, kalo nanti dia datengin meja kasir kamu lagi, kamu langsung gantian ya sama aku?" pinta Meri.

"Nggak! Aku aja!" sahut Jeni protes.

Kemudian, gadis yang lainnya ikut berseru dan berusaha membujuk Eiliya. Tapi orang itu malah tak acuh, mengecek barang yang ada di komputer, tidak mendengarkan cericitan mereka. Ketahuan bos baru tahu rasa! Gumam Eiliya dalam hati.

"Eh, ngapain kalian!"

Tuh kan, baru aja diomongin. Manager mereka, Pak Salim, datang dengan badannya yang tegap--maklum, cita-cita jadi polisi nggak kesampaian karena tinggi badannya kurang--menghampiri kerumunan itu. Eiliya menghela napas lega, dan malah mengejek mereka di dalam hati. Syukurin!

Seketika, para gadis-gadis yang nggak ingat umur dan tempat itu menundukkan kepala.

"Bukannya kerja, malah ngegosip," omel Pak Salim. "Lihat, tuh Eiliya. Rajin. Kalian?" Dia menggeleng kepala sambil mendecakkan lidah beberapa kali.

"Emang enak. Makanya, jangan jelalatan. Liat kan, sekarang? Siap-siap aja kena potong gaji," Eiliya membatin, diam-diam terkekeh.

"Kalian mau saya hukum? Atau potong gaji?" gertak pria gemuk pendek, yang rambutnya diberi gel rambut dan disisir belah pinggir.

Para wanita itu mendongak cepat dan menggeleng. Kalau soal potong gaji, wajah mereka langsung memucat. Gaji mereka sudah kecil, masa mau dipotong juga. Mana cukup buat biaya sebulan? Apalagi yang doyan beli kosmetik.

Eiliya tak perlu semua itu. Pelembab yang dibelinya murah, nggak usah yang merek dari Korea, soalnya wajahnya sudah putih sejak lahir. Gincu juga beli yang murah, tapi nggak asal murah. Begitu juga dengan bedak dan alat make up. Sebenarnya, ia sendiri wajahnya tak betah ditempeli riasan yang berlebihan. Pelembab dan bedak, itu sudah cukup. Tapi karena tuntutan dari manajer, ia terpaksa merias wajahnya.

Hari ini, mereka beruntung. Pak Salim mungkin dalam suasana hati yang baik, jadi mereka dapat bernapas dengan lega, kembali ke tugas masing-masing.

Tapi, apa ini? Pak Salim mendekat ke arah Eiliya? Gadis itu sudah deg-degan saat pria itu melangkah ke mejanya. Mau ngapain dia? Apa dia mau hukum Eiliya? Perasaan, gadis itu nggak melakukan kesalahan deh?

Tiba-tiba pria itu menunduk dan jongkok. Eiliya ikut melongok ke bawah, penasaran. Mendadak ia kembali menegak karena Pak Salim tiba-tiba berdiri. Di tangannya ada sebuah dompet kulit warna hitam yang tampak tak asing.

"Ada dompet tertinggal," kata pria itu. "Milik siapa ini? Kamu?"

Yang benar aja, Pak. Masa nuding ke Eiliya? Meski dia cuek dalam penampilan, bukan berarti beli barang model cowok kayak gitu.

Eiliya menggeleng. "Bukan, Pak."

Lalu Pak Salim menoleh ke belakang, mengacungkan dompet itu sekalian berseru, "Siapa yang punya dompet ini?"

Sama dengan Eiliya, tak ada yang mengaku, semuanya serempak menggeleng. Pak Salim bergumam heran, siapa yang punya ya?

"Pak, coba lihat KTP-nya, pasti ada nama pemiliknya," usul Eiliya.

Oh, iya! Pak Salim menepuk jidatnya sambil berseru, "Lali aku!"

Diperiksanya dompet itu. Ada beberapa jumlah uang yang terdiri dari beberapa lembar uang ratusan dan lima puluh ribuan (wah, kaya juga orang ini. Eiliya membatin). Lalu, ditemukan 7 buah kartu--kartu kredit dan ATM.

"Nah, ini dia KTP-nya," Pak Salim berseru sambil mengeluarkan kartu itu dari dompet. Eiliya ikut pengin tahu, dan mendekat padanya. "Namanya Malvin Axel Suryonegoro."

Hah? Itu nama kayak nggak asing? Jangan-jangan punya si Maniak Seks itu? Eiliya beringsut, lalu berpikir. Ya, mungkin karena terburu-buru, cowok itu menjatuhkan dompetnya.

Tanpa ada pengertian sama sekali, Pak Salim malah menyuruh Eiliya untuk mengembalikan dompet ini kepada pemiliknya yang sangat tidak disukai olehnya itu.

Bagai dilempar oleh bola basket di kepala, Eiliya mendelik kaget. Yang benar aja, masa dia ke ... aduh, pulang-pulang statusnya berubah jadi "bukan gadis lagi". Yang lain aja kenapa, Pak.

"Nggak ah, Pak. Lagian, saya nggak kenal sama orangnya," alasannya.

"Nggak kenal gimana? Toh, saya sering lihat dia ke meja kasir kamu kok, kalau mau membayar belanjaanya."

Mati deh! Eiliya mengigit bibir bawahnya, memikirkan alasan lainnya. Aha! Terpikirkan sebuah ide yang muncul tiba-tiba. Ia memegang perutnya, lalu perlahan agak membungkuk.

"Aduh, Pak. Saya lagi sakit perut datang bul...."

"Nggak ada alasan!" potong Pak Salim suaranya kencang, sampai semua orang menoleh padanya. Kemudian, dompet itu diberikan pada Eiliya. "Kasih dompetnya sana!"

"Yah, Bapak. Nggak ada yang bisa bapak mintain tolong selain saya apa? Atau Bapak sendiri aja yang...."

Waduh seringainya, bikin bulu roma Eiliya berdiri. "Bagus, ya? Bosnya itu kamu atau saya?" bentak Pak Salim. "Kamu mau potong gaji?"

Kalau ancamannya begitu sih, Eiliya terpaksa menggeleng pasrah.

"Ya udah, jangan kebanyakan alasan! Antarkan dompetnya ke rumahnya--kan, alamatnya tertera di situ tuh, di kartu namanya tuh!"

Mau nggak mau, Eiliya harus menghadapi nasib yang tidak menguntungkan ini. Lagi pula, untuk apa ia harus takut? Bukannya ia punya ilmu beladiri karate? Itu juga si cowok boyband yang ngasih tahu, satpam mall yang dekat dengannya karena tetanggaan.

"Kalo kamu takut, aku antarin kamu ke sana," usul cowok yang bernama Tubagus Aji itu, aksen Jawanya medok.

"Ah, ide bagus tuh! Nih, kamu yang antarin," kata Eiliya semangat sambil menyerahkan dompetnya.

"Woenak wae. Coba, sopo yang disuruh Pak Salim buat antarin ini dompet?"

"Aku."

"Nah! Berarti kamu yang antarin ke sana." Aduh nih, cowok. Sangking medoknya, air liurnya sampai muncrat. Habis deh, tangan Eiliya kena hujan lokal.

Eiliya menghapus air liur yang menempel di tangannya dengan jijik, lalu ia berkata, "Ya udah. Aku antarin sendiri deh, ke sana."

Saat Eiliya menghidupkan mesin motornya, Bagus berkata, "Yo weis. Hati-hati, yo."

Motor matik putih itu melaju keluar dari tempat parkir, menjauhi area mall dengan kecepatan normal. Ia tak mau buru-buru sampai di Corola Greenhill karena malas bertemu dengan Malvin.

Huft, semoga saja waktunya sedang tepat, jadi tidak akan terjadi apa pun padanya. Doanya dalam hati. Kalaupun pria itu mau macam-macam padanya, tinggal patahin aja tangannya. Beres kan?

-;-;-;-

Aroma maskulin dari sabun mandi menguar, kala pintu kamar mandi terbuka. Malvin keluar dengan rambut cokelat kemerahannya yang basah, dan memakai piyama handuk biru sambil mengusap rambutnya. Begitu seksi dan menggoda, apalagi jika melihat tubuh kekarnya. Uh, wanita mana yang tidak menjerit melihatnya.

Bel pintu menjerit tak sabar dari tadi. Malvin baru saja selesai memakai celana pendek hitamnya, tapi belum berpakaian. Ia akan membukakan pintu dulu untuk si tamu yang datang pada jam 10 malam.

Seorang pria bule tersenyum. Malvin membalas senyumnya dan mengajaknya masuk setelah dirinya. Belum sampai di ruang tamu, pria tadi memeluk tubuh Malvin, mesra, hangat, dan menggairahkan. Darah Malvin langsung berdesir. Dirasakannya tangan pria tadi perlahan ke arah area sensitifnya.

"Ah," desah Malvin.

Tak tahan lagi, Malvin mendorong pria itu ke sofa, mencumbu bibirnya dengan buas sambil menggerayanginya dan mempereteli tuxedonya. Detik-detik or*****me dari pasangan terlarang itu terjadi.

-;-;-;-

Cukup lumayan jauh juga tempatnya, kira-kira setengah jam Eiliya baru sampai di area parkir apartemen Corola Greenhill tempat Tuan Malvin atau si maniak seks itu tinggal. Eiliya sama sekali tidak terkejut saat motornya berhenti di apartemen megah yang baru dibangun itu. Emang udah bisa ditebak kalau Malvin orang kaya.

Diletakkannya helm di atas spion, lalu berjalan malas ke dalam apartemen. Di dekat pintu masuk, ia bertemu dengan seorang satpam, dan Eiliya menanyakan ruangan 1017.

"Ada dilantai tujuh, Mbak," jawab si satpam, walaupun tampang sangar, tapi ramah juga.

"Makasih," kata Eiliya, lalu mencari lift.

Entah ada angin apa, bulu roma Eiliya meremang. Ia mendelik, jangan-jangan akan terjadi hal buruk padanya? Hiii. Jari Eiliya akan menekan tombol lift, berpikir apa besok aja dompet ini diserahkannya? Tapi ia sudah terlanjur datang ke sini, percuma dong bensinnya habis, kalau nggak jadi mengembalikan dompet ini? Pokoknya nanti ia akan minta uang ongkos bensin sama dia!

Ting. Pintu lift terbuka. Dengan tekad yang pantang mundur demi uang ongkos bensin, ia melangkah keluar, menuju kamar 1017. Matanya melirik cepat pada bel yang ada di samping pintu, lalu ditekannya.

Lagak Eiliya sudah seperti preman minta jatah. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku sweaternya yang berwarna merah, tak lupa memasang wajah garang.

Beberapa detik kemudian pintu terbuka. Lunturlah sudah sikap percaya dirinya, begitu melihat Malvin menampakkan diri hanya dengan memakai celana pendek hitamnya. Pantas saja ia merinding, firasat buruknya terbukti benar. Tuhan, mudah-mudahan dia nggak apa-apain aku. Begitu gumamnya dalam hati.

"Ada apa?" tanya Malvin dingin dan datar, tanpa basa-basi.

Eiliya tersentak. Lah, kok nggak sesuai ekspektasi? Ternyata Malvin malah bersikap begini padanya? Apa karena ia kurang menarik? Syukur deh, setidaknya mahkota kesuciannya aman.

Ia tersenyum, mengeluarkan dompet dari saku celananya, akan menyerahkannya. Tapi suara seorang pria terdengar di belakang Malvin. Dan yang membuatnya terbelalak kaget, orang itu mengatakan "sayang"?

"Siapa yang datang, Sayang?" Orang itu muncul dari belakang Malvin, dan tanpa tahu malu, memeluknya dari belakang--mesra lagi.

Eiliya menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang barusan ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Malvin bukan hanya sekadar si Maniak seks, tapi dia seorang....

"Gay?!"[]