Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Bertemu Andromeda Samudra

"Jadi kamu ngusir aku, Van?" Tanya Adam dengan ekspresi tidak percaya.

Gevan tertawa sumbang. "Sudah kubilang kalau Aluna itu calon istriku, Dam! Dan aku juga tidak akan ragu untuk memecat kamu kalau masih juga berusaha mendekati Aluna!"

Lalu dengan langkahnya yang panjang dan pasti, Gevan pun bergerak menuju pintu keluar dan langsung membukanya dengan kasar. Tatapan tajamnya kembali terhunus ke arah Adam yang masih berdiri mematung dalam diam.

"Tunggu apa lagi? Silahkan keluar, Mr. Adam James Wrighton," ucap Gevan dengan nada sedingin es kutub utara.

Adam menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan. Tak ada gunanya melawan Gevan yang sedang emosi, itulah yang Adam sadari setelah delapan tahun berteman dengannya.

Gevan memang sangat temperamental dan mudah meledak-ledak, apalagi jika sedang emosi.

Amarahnya yang berkobar itu ibarat badai besar yang akan menyapu segalanya hingga porak-poranda. Lebih baik jika kita diam dan menyingkir sejauh mungkin daripada ikut hilang tersapu anginnya yang keras.

Akhirnya Adam memutuskan untuk mengalah. Dan tanpa berkata apa-apa lagi ia pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Gevan, bahkan ia juga tak menoleh pada Aluna yang terdiam membisu sambil menundukkan kepalanya.

BLAAAAMM!!!

Segera setelah Adam melangkahkan kakinya keluar, pintu itu langsung dibanting oleh Gevan dengan sekuat tenaga.

Aluna pun terkesiap kaget dan refleks mendongakkan kepala menatap Gevan dengan ekspresinya yang menakutkan itu.

Lelaki itu menatap Aluna sambil melipat kedua tangannya di dada, dan seringai mengejek pun mulai terbit di bibirnya.

"Bisa nggak jangan bersikap terlalu murahan?" Cetusnya mengejek dengan bibirnya yang menipis sinis.

"Maksud Pak Gevan apa?" Tanya Aluna dengan kening mengernyit bingung.

"Sudah tahu kamu adalah calon istri saya, kenapa masih juga menggoda si Adam?!"

Aluna pun sampai tercengang mendengar tuduhan absurd itu. "Pak, jangan bicara sembarangan. Siapa yang sih menggoda? Saya kan tidak melakukan apa pun dengan Pak Adam?!" Geram Aluna dengan dagu yang diangkat tinggi.

Ia tidak merasa bersalah apa-apa, tidak melakukan apa pun yang dituduhkan Gevan, tapi lelaki itu seenaknya saja mengatakan dirinya murahan!

"KAMU!!" Kemarahan Gevan rasanya sudah sampai di ubun-ubun, ingin rasanya ia melempar dan menghancurkan semua barang yang ada di situ.

"Turunkan dagumu," desis Gevan dengan mata yang berkilat penuh bahaya.

Namun Aluna yang masih tidak terima dengan ucapan Gevan yang sangat menyinggungnya, tidak bergeming dan malah semakin mengangkat dagu dengan gestur menantang.

"Kubilang turunkan dagumu, Aluna!!"

Teriakan Gevan itu serta merta membuat Aluna gentar karena diucapkan dengan ekspresi wajah yang menggelap bagai awan hitam yang menjanjikan badai dahsyat.

Aduh, gawat.

Aluna pun sontak menyesal telah berani menantang singa Afrika paling galak di dunia. Gadis itu memutuskan untuk menjadi pengecut yang melarikan diri secepat mungkin ke arah pintu karena ketakutan.

Tapi rupanya Aluna kalah cepat. Gevan dengan kakinya yang panjang itu telah tiba lebih dulu mencapai pintu, lalu dengan cepat menguncinya dan berdiri di depan untuk menghalangi langkahAluna.

"Mau kemana? Aku belum selesai dengan kamu, Al."

Aluna pun kaget mendengar Gevan yang tiba-tiba saja menggunakan kata "aku" dan bukan "saya" seperti biasa. Ada apa dengan bosnya ini sih? Kenapa dia jadi aneh begini? Dan... kenapa dia makin mendekaat??!

"Pak Gevan, stop. T-tolong berhenti," pinta Aluna saat Gevan melangkah perlahan ke arahnya, dan gadis itupun refleks berjalan mundur.

"Kamu yang harusnya berhenti, Al. Karena kamu terus mundur, maka aku pun akan terus maju," tukasnya ringan, namun tanpas disadari Aluna, tatapan mata hazel itu penuh dengan ancaman.

"I-iyaa... saya berhenti." Langkah mundur gadis itu pun berhenti, namun anehnya Gevan tetap saja maju dan makin mengikis jarak di antara mereka.

"P-paak?" Dengan napas tercekat, Aluna membelalakkan matanya saat Gevan kini hanya tinggal selangkah di hadapannya, dan tanpa ragu lelaki itu masih saja terus maju.

Gadis itu pun belum sempat menghindar saat Gevan menyambar pinggangnya dan menahan tubuhnya.

Aluna merasa dihipnotis saat sorot tajam dari netra hazel itu menghujamnya. Tubuhnya kaku seperti sebuah kotak yang tidak memiliki kaki dan tangan yang bisa digerakkan untuk berlari.

Wajah mereka yang berjarak kurang dari sejengkal membuat Aluna dapat menghirup aroma mint dari napas Gevan yang berhembus di wajahnya, dan aroma kayu-kayuan yang maskulin yang menguar dari tubuhnya.

Seketika ia pun merinding.

"Kenapa kamu menolakku, Aluna?" Lagi-lagi Gevan tidak menggunakan kata "saya" dalam kalimatnya.

Untuk sesaat Aluna seperti kebingungan dengan pertanyaan itu.

'Apa sih maksudnya? Dan tolong, bisakah seseorang membantuku untuk mengatakan pada lelaki ini agar tidak menatapku dengan sorot yang membuatku gugup seperti itu??'

"Kenapa kamu menolak tidur denganku?" Seakan bisa mendengar isi hati Aluna, akhirnya Gevan pun memperjelas pertanyaannya.

Namun hal itu sontak membuat mata Aluna semakin terbelalak sempurna.

"Jangan bicara sembarangan, Pak Gevan!" Ketus Aluna yang berusaha mendorong dada bidang Gevan, namun ia tak berhasil karena Gevan malah mengencangkan dekapannya di pinggang gadis itu.

"Mungkin Bapak mengira saya perempuan murahan karena hamil di luar nikah, namun semua itu sama sekali tidak seperti yang Pak Gevan pikirkan!" Sentaknya.

Tatapan mata Gevan mendadak turun ke bibir merah natural Aluna yang bergetar karena emosi. "Oh ya? Lalu seperti apa sebenarnya dirimu, Al? Coba katakan padaku. Karena Aluna yang kukenal selama dua tahun ini sepertinya sangat berbeda dengan Aluna yang sebenarnya."

Tentu saja Aluna menyadari tatapan mata bosnya yang terarah ke bibirnya, dan itu membuat nyali Aluna semakin ciut.

Ia takut Gevan akan mengecupnya lagi, dan ia lebih takut lagi jika tubuhnya malah merespon kecupan itu...

"L-lepaskan saya dulu bisa kan, Pak?" kedua tangan Aluna berada di dada Gevan, bermaksud untuk mendorong tubuh kokoh itu menjauh dari tubuhnya.

Gevan semakin mendekatkan wajahnya, dan aroma mint itu pun makin menerjang indra penciuman Aluna hingga memenuhi rongga dadanya. Seketika membuat perutnya serasa seperti tergelitik.

'Aduh, kenapa lagi dengan perutku, sih? Apa anakku masih kelaparan ya??'

"Kalau aku tidak mau, kenapa? Nggak perlu malu, Aluna. Kita kan mau menikah, jadi bermesraan itu lumrah untuk pasangan kekasih, kan?" guman Gevan tanpa melepaskan tatapannya dari bibir Aluna yang mengundang.

Gevan pun membasahi bibirnya dan menaikkan pandangannya ke mata bermanik milik Aluna.

"Aku akan mencium bibir kamu sekarang," putusnya. Lalu sedetik setelah mengucapkan kelima kata itu, Gevan pun langsung menyatukan bibir mereka.

Aluna terkesiap karena mengira Gevan akan mengecup bibirnya dengan kasar, namun rupanya ia salah.

Lelaki itu memagut dengan sangat lembut. Bahkan kecupannya seringan sayap kupu-kupu, namun terasa menggoda bagai sepotong es krim lezat di tengah musim kemarau.

Kecupan yang tidak terburu-buru, namun setiap sentuhannya terasa begitu memprovokasi Aluna untuk menyerah dan membuka mulutnya. Memberikan akses kepada lelaki itu agar bisa mengeksplor dirinya.

Sekuat tenaga Aluna berusaha menahan desahan yang hampir lolos dari mulutnya, karena ia tidak ingin membuat Gevan kembali mengira dirinya adalah perempuan murahan.

Sejujurnya ia malah ingin memalingkan wajahnya dan menjauh dari lelaki yang sudah membuat dunianya jungkir balik ini, namun lagi-lagi tubuhnya seakan tak berdaya dan hanya ingin menerima.

Mungkin... dia memang perempuan murahan.

Diam-diam Gevan bersorak dalam hati saat lagi-lagi Aluna tidak menolak sentuhan bibirnya.

Gevan yakin seratus persen kalau Aluna yang semula ia kira adalah cewek lugu yang masih amatiran dalam bercinta, ternyata sama sekali tidak sepolos itu dan pasti pengalamannya cukup banyak soal bermesraan.

Dengan kata lain, murahan.

But it's okay, kini Gevan tidak peduli lagi. Saat ia menikahi Aluna, Gevan tidak akan membiarkan istrinya bersikap murahan.

Pendamping dirinya akan ia didik menjadi wanita anggun dan berkelas, sesuai status Samudra yang disandangnya.

Gevan yakin Aluna akan bisa mengimbangi dirinya dan keluarganya, melihat dari bagaimana Aluna bisa beradaptasi dengan sifat Gevan yang semaunya dan cara kerjanya yang serba cepat dan perfeksionis.

Gevan merasa cocok dalam hal pekerjaan dengan Aluna, dan ia yakin mereka juga cocok sebagai suami istri--meskipun tidak ada cinta di dalamnya.

Selain itu... Gevan menyukai saat berciumann dengan Aluna seperti saat ini. Gadis ini ternyata bisa membuatnya bergairah saat dia tidak pernah bisa lagi merasakannya setelah bertahun-tahun dengan wanita lain.

Bibirnya yang lembut dan aroma bunga violet parfumnya membuat Gevan betah berlama-lama memagut bibirnya yang manis.

Decakan dari bibir mereka terdengar nyaring di ruangan yang sepi itu, membuat suasana pun semakin bergelora.

Gevan melepaskan kedua tangannya dari pinggang Aluna untuk pindah dan menangkup wajah gadis itu, saat gairahnya semakin terasa meletup-letup membakar dirinya.

Demi Tuhan, ciuman dengan Aluna terasa sangat menyenangkan... dan Gevan merasa bisa melakukan ini selama berjam-jam tanpa bosan.

Namun tiba-tiba saja Aluna melepaskan pagutan bibir mereka. "Hhh... Pak... itu... hhh... ponselnya bunyi...," ucapnya dengan nafas yang terputus-putus karena penyatuan bibir mereka yang nyaris tanpa jeda membuatnya sulit menghirup udara.

"Biarkan saja..." cetus Gevan tak peduli dan ia pun kembali menyerang bibir Aluna dengan agresif.

"Hmmmp... hhh.. Pak Gevan! Tapi itu dari Pak Andro!" Pekik gadis itu yang berusaha memalingkan wajahnya, saat melihat ponsel Gevan yang berada di atas meja tak jauh darinya menampilkan ID caller : Ayah.

***

"Kalian sudah benar-benar membuat kami malu! Terutama kamu, Gevan!" Tunjuk Andromeda Samudra lurus-lurus pada putra semata wayangnya yang kini berlutut di hadapan ayahnya dengan wajah tertunduk yang penuh lebam.

Raut murka tergambar jelas dari wajah mantan bos Aluna yang berusia lima puluh tahun itu, dengan mata hazelnya yang serupa mata Gevan terus menyorot tajam kepada putranya.

Andromeda meminta Gevan dan Aluna untuk datang ke rumah mereka, setelah mendengar kabar dari istrinya bahwa Gevan akan menikahi Aluna yang telah mengandung.

Dan tentu saja sama seperti Desti, Andromeda pun mengira bahwa Gevan-lah yang menghamili sekretarisnya itu.

Bahkan saat pria paruh baya itu menelepon Gevan, Andromeda sudah mengeluarkan kata-kata yang mengekspresikan kemarahan serta kekecewaan mendalam pada anaknya.

Aluna yang duduk di sofa bersama Desti ibunda Gevan, hanya bisa menatap nanar bosnya itu yang berulangkali dipukuli dan ditampar oleh ayahnya.

Ini tidak benar. Pak Gevan tidak bersalah!

Bukan Pak Gevan yang menghamili Aluna, tapi kenapa dia hanya diam saja saat kedua orang tuanya mengira bahwa dirinyalah yang telah membuat Aluna mengandung?

Desti bangkit dari duduknya dan memegang bahu suaminya. "Sayang, sudah. Kasihan Gevan. Jangan terus memukulinya seperti itu," ucap Desti lembut, berusaha untuk menenangkan amarah suaminya.

Aluna merasa shock karena baru sekali ini melihat kemarahan Pak Andromeda, bos yang dulu ia kenal sangat baik hati dan hampir tidak pernah marah jika ia berbuat kesalahan.

Bos yang sangat pengertian dan selalu sopan dalam bertutur kata, berbanding terbalik dengan putranya yang pemarah dan sering menghinanya.

"Aku tidak pernah mengajarimu untuk berbuat maksiat hingga membuat seorang wanita hamil, Gevan!" bentak Andromeda dengan wajah berang. "Terutama pada Aluna! Ayah sudah bilang kalau kamu harus memperlakukannya dengan baik!"

Sebuah kepalan tangan kembali melayang ke arah wajah Gevan, namun Aluna yang sudah tidak tahan melihatnya pun menjerit dan tiba-tiba saja ikut berlutut di depan Gevan.

Hampir saja bogem mentah Andromeda menghujam wajahnya, namun syukurlah lelaki paruh baya itu tersadar dan cepat-cepat menarik kembali tangannya.

Terlambat beberapa detik saja, bisa dipastikan Aluna dan tubuhnya yang mungil itu akan terhempas keras oleh hantaman tinju dari Andromeda.

"Pak Andro! Saya mohon hentikan! Ini semua bukan salah Pak Gevan!" Jerit Aluna sambil tersedu dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dengan gestur memohon.

"Minggir, Aluna. Saya belum selesai dengan Gevan," desis Andromeda dengan mata berkilat tajam.

"Anak yang saya kandung bukan anak Pak Gevan, Pak! Ini salah paham!" Jerit Aluna lagi, yang kali ini sukses membuat Andromeda dan Desti sontak terdiam karena kaget.

Isak tangis lirih Aluna mengisi keheningan yang mendadak tercipta di udara. Andromeda dan Desti yang bingung dan hanya bisa saling memandang, sebelum kemudian kedua orang itu menatap lekat ke arah Aluna dan Gevan.

"Itu tidak benar," sahut sebuah suara yang terdengar dari arah belakang Aluna. "Aluna hanya ingin melindungi Gevan, Ayah. Gevan-lah yang menghamili Aluna."

Perkataan Gevan itu tak pelak membuat Aluna mengernyit tak percaya dengan apa yang ia dengar, lalu gadis itu pun segera menolehkan kepalanya ke belakang.

Tatapan mata hazel itu begitu tenang, seakan tidak peduli dengan apa yang telah terjadi. Tatapan itu juga menyiratkan kalau Aluna tidak perlu mengkhawatirkan dirinya, dan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Pak Gevan? Kenapa?" Guman Aluna bingung. Kenapa laki-laki ini melakukan hal yang terlalu jauh seperti ini?

Hingga tega membohongi kedua orang tuanya, dan membuat dirinya jadi sasaran kemurkaan yang tidak sepantasnya ia terima?

Kenapa?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel