14. Emosi Sang Ayah
“BULAN!” teriak Matahari emosi
“Iya Ayah ada apa?” tanya Bulan
~Brakk~
“Kamu apa-apaan hah! Buat masalah di sekolah mau jadi anak nakal.”
“Ehm soal itu aku minta maaf Ayah dan janji gak akan ulangi lagi.”
“Lagi-lagi hanya maaf yang keluar dari mulutmu Bulan, saya sudah muak mendengar kata itu kamu paham?”
~Brakk~
“Tapi Ayah aku bisa jelaskan tentang masalah di sekolah tadi.”
“Ya sudah jelaskan sekarang!” perintah Matahari
“Jadi sebenarnya Bulan tuh tadi membela Velvet teman dekat Bulan karena gak sengaja aku lihat dia berkelahi di kantin,” jelas Bulan
“Membela teman? Lalu berujung hukuman, kamu mau jadi pahlawan kesiangan hah!”
“Bukan gitu Ayah aku cuma membela gak lebih.”
“Bagus sekali kamu, saya menyekolahkan kamu sampai sekarang bukan buat jadi pahlawan yang ujungnya bakalan dihukum.”
“Maaf Ayah.”
“Lagi-lagi cuma maaf,” ucap Matahari tersenyum
“Ayah… kenapa tersenyum seperti itu?” tanya Bulan yang ketakutan
“Ada apa dengan wajahmu? Takut sama Ayah heem.”
“Ayah mau apa? Jangan membuat Bulan takut.”
“Jadi kamu takut…”
Bulan memundurkan tubuhnya hingga terpojok ke dinding yang tepat berada di belakangnya dengan perasaan takut.
“Ayah sedang apa?” panggil Awan
“Kamu dari mana saja? Lihat adikmu ini membuat masalah di sekolah,” adu Matahari
“Buat masalah apa?”
“Tanyakan sendiri saja sama adik kesayanganmu itu,” ujar Matahari yang mendelik
Matahari memilih pergi meninggalkan kakak beradik yang sedang saling tatap menatap.
“Lo gak dipukul sama Ayah kan?” tanya Awan khawatir
“Enggak kok Bang.”
“Lo lagi gak bohong kan sama gue?”
“Iya Abang ganteng.”
“Gak usah muji-muji gue kayak gitu lo.”
“Dih yang lain mah kalau dipuji mau giliran Abang malah enggak mau.”
“Gak usah ngalihin topik deh kebiasaan banget.”
“Mending sekarang Abang bersih-bersih.”
“Lah lo ngusir gue ceritanya.”
“Enggak Bang, maaf nih Abang bau tahu.”
“Adik kurang ajar.”
“Mau dong diajarin sama Abang yang ganteng ini.”
“Minta ditakol.”
“Hahahaha,” tawa Bulan menggelegar
“Untuk pertama kalinya gue lihat lo ketawa selepas ini,” batin Awan
“Masuk kamar sana gue mau mandi dulu.”
“Iya.”
“Oh ya siap-siap gue mau ajak lo keluar malam ini.”
“Mau ke mana?”
“Ada deh.”
“Dih.”
Mereka memasuki kamar masing-masing, Bulan bersiap-siap membuka lemari baju lalu meraih baju santai yang terlihat sangat cantik T-shirt berwarna biru dengan tulisan STRONG GIRL dipadukan jeans hitam juga rambut panjang yang sengaja dibiarkan terlepas. Tak berselang lama Awan pun datang ke kamar Bulan masih dengan rambut yang basah membuat Awan terlihat lebih tampan dari biasanya.
“Bang keringkan dulu itu rambutnya!” titah Bulan
“Keringkan dong gue gak bisa nih pakai beginian.”
“Dih biasanya juga sendiri manja banget,” ejek Bulan
“Ngomong mulu lo Bul, buruan basah nih baju gue.”
“Lah minta tolong tapi maksa lucu banget.”
“Bodo! Buruan dih nanti kemalaman.”
“Iya-iya.”
Bulan mengambil alat pengering rambut dari tangan abangnya dengan telaten dan sabar ia mengikuti kemauan sang kakak, Awan pun diam-diam melirik sang adik yang terpantul dicermin lalu tersenyum karena melihat kepolosan sang adik.
“Abang kenapa senyum-senyum gitu?” gidik Bulan
“Emangnya gue gak boleh senyum.”
“Ya boleh sih tapi seram tahu.”
“Lo kira gue setan.”
“Bukan begitu Bang, Bulan takut Abang kerasukan nanti kita gak jadi jalan.”
~Pletak~
“Sembarangan banget sih lo Bul.”
“Aduh Bang kepala Bulan kenapa dijitak sih,” ringis Bulan
“Bodo, sudah selesai belum?”
“Heheh, selesai.”
“Ahh gak nyangka gue ternyata ganteng banget.”
“Pede banget Mas.”
“Ayo kita cabut.”
“Kita mau ke mana sih emang?”
“Jalan-jalan ke mana aja yang lo mau.”
“Naik?”
“Motor gimana? Sudah lama juga gue gak naik motor.”
“Oke kita let`s go.”
Mereka pergi menggunakan sepeda motor yang sudah siap di depan garasi, tawa menyertai mereka berdua di sepanjang perjalanan membicarakan hal-hal absurd.
Malam ini adalah malam paling indah diantara malam-malam lainnya, meski malam ini hanya sementara tapi akan ada kenangan indah yang tersimpan sampai kapanpun. Senyuman terukir diwajah cantik Bulan menandakan bahwa malam ini adalah malam paling indah yang tidak akan pernah dilupakan.
“Lo mau eskrim gak?”
“Mau dong kan gratis hahaha.”
“Gak gratis ini.”
“Lah Bulan bayar sendiri gitu? Abang jahat banget sama Bulan,” ujar Bulan mendramatisir
“Enggak usah drama lo Bul.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“Lah.”
“STOP!”
“Gak usah teriak-teriak kenapa Bul.”
“Heheh Abang malu,” rengek Bulan yang menyembunyikan wajahnya di dada bidang Awan
“Lah elo sih teriak jadi pada nengok semua kan.”
“Apain gitu Bang elah.”
“Maaf ya semua adik saya suka gak jelas,” kata Awan
“Abang!”
“Apaan sih.”
“Pulang!”
“Ngambek mulu.”
“Abang sih nyebelin banget.”
“Lo manja banget.”
“Sejak kapan Bulan manja hah!” ucap Bulan yang tiba-tiba emosi
“Lho kok lo marah gitu sih.”
“Sejak kapan Bulan manja hah! Dari kecil sampai sekarang Bulan lakuin semuanya sendiri dan sekarang Abang dengan gampangnya bilang kalau Bulan manja.”
“Ehh bukan gitu maksud gue…”
“Bulan mau pulang,” potong Bulan
“Kita baru sampai Bul masa sudah pulang aja sih,” kata Awan kecewa
“Pulang!”
“Iya-iya ayo pulang.”
Mereka memilih untuk pulang dengan suasana hening membuat keadaan menjadi akward, emosi Bulan yang tidak stabil membuat dirinya tiba-tiba menangis tanpa sebab membuat laki-laki yang ada di depannya kebingungan.
“Dia kenapa tiba-tiba nangis?” batin Awan
“Lo gapapa Bul?” tanya Awan yang khawatir
“Gapapa.”
“Mau mampir dulu beli minum gak biar lo tenang.”
“Gak usah Bang kita langsung pulang aja,” jawab Bulan serak
“Lo kalau ada apa-apa bilang Bul jangan diam aja gue gak tahu lo lagi ada masalah apa.”
“Hikss Bulan gapapa kok Bang.”
“Lo nangis sesegukan gitu.”
“Cepat Bang!”
Dengan kecepatan tinggi akhirnya tiba di rumah, Bulan pun langsung turun tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Perempuan itu memasuki kamar dan mengunci pintu dari arah dalam membuat Awan yang ingin masuk pun tidak bisa.
“Bul gue mau masuk buka pintunya!”
“Abang tidur di kamar sendiri aja, Bulan lagi ingin sendiri.”
“Lo benaran gapapa? Jangan buat gue khawatir kayak gini Bul.”
“Bulan gapapa Bang tenang aja.”
“Lo yakin kan Bul?”
“Iya Bang yakin kok.”
“Iya sudah kalau ada apa-apa langsung bilang sama gue ya.”
“Iya Bang.”
Perempuan itu menangis dalam diam tanpa suara membuat dadanya semakin terasa sesak lalu merogoh saku celananya untuk mengambil sebilah pisau yang selalu dibawa dan mengarahkan ke tangan sebelah kirinya.
Darah segar mengalir karena luka yang dibuat sangat dalam tapi rasa sakitnya tidak sama dengan rasa sakit yang dirasakan di hatinya.
“Kenapa Tuhan? Kenapa penyakit ini datang diwaktu yang tidak tepat? Kenapa?” batin Bulan
Tuhan…
Kenapa engkau memberikan penyakit ini? Kenapa engkau memberikan rasa sakit ini? Kenapa?
Bagaimana aku harus menghadapi semua ini Tuhan…
Sakit sekali… rasanya sesak dan tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata, aku sudah terlalu lelah dengan semua penyakit ini.
