Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 kakek aku pulang

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam.

Kakek Azalea hidup sederhana—seorang pria tua yang keras kepala tapi berhati hangat. Setahun yang lalu, ketika cucunya bersikeras ingin menikah dengan Fern Cedar, ia menentang keras.

Menurutnya, cucunya masih terlalu muda dan tidak seharusnya mengorbankan masa depan demi seorang pria.

Namun, gadis itu waktu itu keras kepala, tidak mau mendengar, hingga keduanya bertengkar hebat.

Akhirnya, karena kekhawatiran dan cinta yang besar, Kakek Azalea menyerah setelah cucunya mengancam dengan mogok makan.

Ia menyetujui pernikahan itu dengan berat hati.

“Kakek,” Violet memanggil pelan.

Suara lembut itu seolah menembus waktu, membuat pria tua itu yakin bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ia tergesa menarik cucunya masuk ke dalam rumah, tapi baru saja menyentuh tangan Violet , ia teringat sesuatu.

Wajahnya berubah canggung, segera melepaskan genggaman itu sambil berkata dengan gugup,

“Violet, a—aku minta maaf… Kakek lupa, sekarang kau sudah jadi istri orang kaya, sementara Kakek cuma petugas kebersihan kecil. Kakek ini tidak tahu tempatnya…”

Ia menunduk seperti anak kecil yang takut dimarahi.

Namun Violet hanya tersenyum, memegang kembali tangan kasar dan penuh kapalan itu.

“Kakek,” katanya lembut, “aku ingin makan mi buatan tangan Kakek.”

Pria tua itu tertegun.

Air matanya hampir menetes tanpa sadar.

Sejak pernikahan itu, cucunya perlahan berubah.

Dulu gadis itu tak pernah malu mengakui dirinya cucu seorang petugas kebersihan, tapi setelah masuk ke keluarga Cedar, ia mulai menjaga jarak.

Bahkan menolak mengakuinya di depan orang lain.

Kini, mendengar permintaan sederhana itu, Kakek Azalea merasa seolah batu besar terangkat dari dadanya.

“Baik, baik! Masuklah cepat, Kakek akan segera buatkan mi untukmu!”

Ia tergopoh-gopoh menuju dapur dengan semangat yang tak sebanding dengan usianya.

Rumah itu kecil, dua kamar sederhana, namun bersih luar biasa.

Perabotan sudah tua, tapi disusun rapi dan berkilau dari hasil kerja keras pembersihan harian.

Di sisi pintu, tergantung rompi oranye—seragam kerjanya sebagai petugas kebersihan kompleks.

Sejak cucunya menikah, demi menghemat biaya, ia menyewakan salah satu kamar kepada teman kerjanya.

Ia sendiri tidur di sofa kecil di ruang tamu, hanya agar cucunya tetap punya tempat jika suatu hari ingin pulang.

Melihat semua itu, Violet merasa matanya panas.

Betapa kerasnya orang tua ini bekerja demi dirinya—dengan gaji hanya dua ribu dollar sebulan, jam kerja pagi sampai sore, dan hanya libur satu hari tiap minggu.

Tak lama kemudian, aroma mi yang segar memenuhi ruangan.

Kakek Azalea membawa semangkuk mi panas ke ruang tamu dengan tangan gemetar karena semangat.

“Violet, mi-nya sudah siap!”

“Terima kasih, Kakek,” kata Violet sambil menerima mangkuk itu dan mulai makan.

Kakek Azalea duduk di depannya, matanya tak beranjak dari wajah cucunya, menunggu komentar.

“Violet, bagaimana rasanya?”

“Enak sekali!” Violet menelan suapan besar dan mengangkat ibu jarinya tinggi-tinggi. “Mi buatan Kakek adalah yang terenak di dunia!”

Senyum Kakek Azalea mengembang sampai matanya nyaris tertutup.

“Kalau begitu makanlah yang banyak. Di panci masih ada!”

“Baik,” jawab Violet dengan lembut.

Ia terus makan, sementara sang kakek menatapnya dengan pandangan penuh kasih dan sedikit keprihatinan.

Dalam hati, ia tahu cucunya pasti telah melalui masa sulit di keluarga Cedar.

Seorang gadis muda dari desa yang masuk ke lingkungan orang kaya, pasti tidak mudah.

Namun kini, ia tampak begitu anggun, makan dengan tenang dan beretika—betapa keras ia menyesuaikan diri demi diterima di lingkungan itu.

Tak lama, kekhawatiran itu mengalahkan kebahagiaannya.

“Violet,” suara Kakek Azalea pelan dan hati-hati, “kau… apakah kau diperlakukan buruk di rumah keluarga Cedar?”

Violet meletakkan sumpit dan menatap kakeknya dengan tenang.

“Kakek, aku sudah bercerai dengan Fern Cedar.”

Kalimat itu terdengar ringan, namun bagi sang kakek, seolah ada batu besar yang dilempar ke danau yang tenang—menghasilkan riak kejut yang luas.

“Cera… cerai?”

Kakek Azalea menatap cucunya dengan mata terbelalak.

“Bagaimana mungkin?”

Ia tidak bisa mempercayainya.

Setelah beberapa saat terdiam, ia akhirnya berkata dengan cemas, “Apakah mereka memperlakukanmu dengan buruk? Jangan takut, Violet! Kalau mereka berani menindasmu, biar Kakek yang melawan mereka, meski harus mempertaruhkan nyawa!”

Setahun lalu, ia menentang pernikahan itu karena merasa cucunya terlalu muda.

Namun setelah mendengar kabar perceraian, bukan kemarahan atau penyesalan yang muncul, melainkan keinginan melindungi.

Violet menatap wajah tuanya yang penuh keriput dengan mata hangat.

“Kakek, jangan khawatir. Tak ada yang bisa menindas cucumu sekarang.”

Ia tersenyum ringan, “Aku hanya dulu yang bodoh, mengira Fern Cedar itu emas padahal cuma tembaga karatan. Sekarang aku sudah sadar. Aku akan menjauh darinya dan menjalani hidup yang lebih baik.”

Kakek Azalea terdiam sejenak, lalu bertanya hati-hati, “Jadi… kalian benar-benar sudah bercerai?”

Masih sulit baginya untuk percaya, karena dulu cucunya begitu mencintai pria itu hingga rela tak makan selama dua hari demi memaksa restu pernikahan.

Violet tidak menjelaskan panjang lebar. Ia hanya mengambil selembar dokumen dari tasnya dan menyerahkannya.

“Ini surat cerai kami. Kakek benar waktu itu—aku seharusnya melanjutkan pendidikan, bukan menikah muda. Aku ingin belajar lagi, masuk universitas, dan mengejar impianku. Aku tak akan menyia-nyiakan waktu muda lagi.”

Sembilan belas tahun.

Usia paling indah dalam hidup seseorang.

Usia yang seharusnya digunakan untuk bermimpi, bukan untuk terjebak dalam penjara pernikahan yang salah.

Kakek Azalea menerima surat itu dengan tangan gemetar. Setelah membacanya, air matanya menggenang tanpa sadar.

Violet menggenggam tangannya erat.

Dengan suara lembut tapi mantap, ia berkata,

“Kakek, dulu aku memang keras kepala dan membuatmu kecewa. Maaf sudah menyakiti hatimu. Tapi mulai sekarang, aku akan belajar sungguh-sungguh… dan ku berjanji, aku akan membuatmu hidup bahagia.”

Mendengar kata-kata itu, kakek tua itu hanya bisa mengangguk berkali-kali, air mata haru menetes tanpa henti.

Malam itu, rumah kecil mereka kembali terasa hangat—sehangat cinta yang sempat retak, kini kembali utuh di bawah cahaya bulan yang lembut.

Kakek Azalea menatap cucunya di hadapan dengan mata yang perlahan berkaca-kaca. Dalam pandangannya yang kabur oleh air mata, seolah waktu berputar mundur—ia kembali melihat bayi mungil yang dulu ia temukan di tepi jalan, tubuhnya berlumuran darah, menangis lemah di musim dingin yang menusuk tulang.

Saat itu, semua orang di sekitar menasihatinya untuk tidak membawa bayi itu pulang.

“Dia terlalu kecil,” kata mereka, “tanpa susu ibu, dia pasti tidak akan bertahan.”

Namun ia tak tega.

Musim dingin yang begitu dingin, bayi sekecil itu sendirian di pinggir jalan, bahkan tak ada satu pun orang yang mau menoleh. Ia akhirnya membungkus bayi itu dengan mantel usangnya dan membawanya pulang—meski anak dan menantunya keras menentang.

Tapi ia tetap bersikeras.

Ia percaya bahwa setiap hidup yang ia temukan harus diselamatkan.

Dan sejak hari itu, bayi mungil itu menjadi segalanya baginya.

Ia memberinya nama “Violet”—karena ia berharap gadis kecil itu bisa hidup dalam cinta yang penuh ketulusan, tidak perlu mengalami penderitaan seperti yang telah ia lihat di dunia ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel