Bab 1. Malam Tidak Terduga
"Sempurna!" Ucap Aurel saat melihat dirinya di cermin kamarnya. Ia baru saja berdandan se-perfect mungkin karena akan kekasihnya Dion yang sudah setengah tahun menjalani hubungan jarak jauh dengan Dion, pacarnya, Aurel akhirnya akan bertemu dengannya lagi. Dion baru kembali dari program exchange di luar negeri, dan ini adalah malam yang mereka nanti-nantikan. Semangat dan kegembiraan memenuhi hati Aurel saat ia mengenakan tas selempangnya,dan bersiap untuk pergi.
Taksi online yang dipesannya sudah menunggu di depan apartemen. Aurel melangkah keluar dengan langkah ringan, dan begitu masuk ke dalam taksi, dia memberi tahu supir alamat kafe tempat ia dan Dion telah sepakat untuk bertemu.
"Ya Tuhan, semoga dia tidak kecewa setelah melihat aku," batinnya.
Awalnya semuanya biasa saja. Akan tetapi, begitu perjalanan dimulai, sesuatu yang aneh merasuki dirinya. Tadinya hanya perasaan samar, tetapi semakin lama semakin kuat. Kegembiraan yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi Aurel tidak tahu apa itu.
Dia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa tiba-tiba aku merasa seperti ini?" pikirnya.
Perasaan yang muncul begitu tiba-tiba, seperti firasat buruk yang tak diundang. Hatinya terasa berat, dan sesaat, ia mempertimbangkan untuk meminta supir taksi berhenti dan membatalkan pertemuan itu. Tapi apa alasannya? Dion sudah menunggu, dan mereka sudah lama tidak bertemu.
"Aku kenapa sih?" batinnya resah sendiri.
Gadis cantik itu terus mencoba menenangkan diri. Meskipun saat iu rasanya sangat sulit.
Melihat aurel yang tampak tidak tenang dari kaca rior mirror-nya, driver taksi online itu memberanikan diri untuk bertanya,"Mbak, nggak apa-apa?"
Aurel tersentak dari lamunannya. Ia sama sekali tidak menduga kalau driver taksi online itu akan sadar dengan kegelisahannya.
"Saya tidak apa-apa, Pak. Terima kasih atas kepeduliannya," jawabnya dengan senyum kecil yang dipaksakan. Namun, senyum itu tidak mampu menutupi kecemasan yang membayang di wajahnya. Driver itu hanya mengangguk pelan, tampaknya sadar bahwa Aurel sedang tidak ingin bicara lebih lanjut. Ya, dan itu sangat wajar. Mereka tidak saling mengenal. Hanya sebatas driver dan penumpang saja.
Sepanjang perjalanan, Aurel terus mencoba menghalau firasat aneh itu. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Mungkin, ini hanya perasaan gugup karena kita sudah lama tidak bertemu," bisiknya pada diri sendiri.
Sayangnya, kegelisahan itu tetap tinggal, seperti bayangan yang tak mau pergi. Semakin lama. rasanya malah semakin menjadi-jadi saja kegelisahannya.
Akhirnya, mereka tiba di kafe. Aurel turun dari taksi dan berdiri sejenak di luar, menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk. Suasana di dalam kafe cukup ramai, orang-orang terlihat bercakap-cakap sambil menikmati hidangan dan minuman mereka. Kafe ini adalah tempat yang romantis, dihiasi lampu-lampu temaram dan musik lembut yang mengalun di latar belakang. Tidak jauh dari sana, ada sebuah hotel bintang lima yang berdiri megah, menjulang tinggi ke cakrawala.
Gadis itu menoleh sesaat, meyakinkan dirinya kalau semuanya akan baik-baik saja. Hanya itu yang dia harapkan. Tidak ada yang lain.
Aurel melangkah masuk, mencari meja yang telah dikirimkan nomor tempat duduknya oleh Dion. Meja itu berada di sudut ruangan, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Cahaya lampu jalan menyinari sebagian meja itu, membuatnya terlihat hangat dan mengundang. Tapi, ketika Aurel tiba di sana, Dion belum terlihat.
"Dia pasti terlambat," pikir Aurel, berusaha menenangkan dirinya.
Ia duduk dan mengeluarkan ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan dari Dion, yang aneh mengingat biasanya dia sangat tepat waktu dan memberi tahu jika ada sesuatu yang membuatnya terlambat.
Aurel mulai merasa tidak nyaman. Sekali lagi, perasaan aneh itu menyelimuti dirinya, lebih kuat dari sebelumnya. Ia melirik ke sekeliling, melihat pasangan lain yang tertawa dan berbicara dengan penuh kasih. Ia merasa seolah-olah sedang berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Tangan Aurel mulai berkeringat.
"Kok dia lama banget ya!" gumamnya lirih, mulai resah sekali.
Waktu terus berjalan, tapi Dion masih belum muncul. Setiap detik terasa seperti menit, dan setiap menit terasa seperti jam. Aurel mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah Dion benar-benar akan datang? Apakah ada sesuatu yang terjadi?
Akhirnya, setelah menunggu hampir setengah jam, Aurel mengambil ponselnya dan menelepon Dion. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia menunggu sambungan telepon itu. Tapi tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, tetapi tetap sama. Tidak ada balasan. Aurel mulai panik, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menjadi-jadi saja.
Sebuah suara lembut membuyarkan pikirannya. "Maaf, apakah kamu Aurel?"
Aurel menoleh dan melihat seorang pelayan wanita berdiri di samping meja dengan wajah ragu-ragu. "Iya, saya Aurel," jawabnya cepat.
"Silakan ini minumnya, dan ini ada surat untuk Anda," kata pelayan itu, menyerahkan minuman sebuah amplop kecil berwarna krem.
Aurel memandang surat itu dengan kening berkerut. Perlahan-lahan, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya ada selembar kertas dengan tulisan tangan yang familiar.
"Aurel, aku minta maaf karena tidak bisa datang malam ini. Ada banyak hal yang ingin aku jelaskan, tapi tidak di sini, tidak sekarang. Aku tahu ini bukan cara yang tepat, tapi aku butuh waktu. Kita bicara nanti. Maafkan aku, ~ Dion."
Kata-kata itu menghantam Aurel seperti pukulan telak. Kepalanya mendadak pusing, dan dadanya terasa sesak. Ia membaca ulang surat itu, berharap ada sesuatu yang berubah atau setidaknya ia salah paham. Sayang, tulisan itu tetap sama, dingin dan jauh. Dion meninggalkannya malam ini, di saat yang seharusnya menjadi malam yang spesial bagi mereka.
Aurel menahan napas, mencoba menahan air matanya. Dunia di sekelilingnya terasa memudar, suaranya menjadi gemuruh yang tidak jelas. Segala antisipasi, kegembiraan, dan kebahagiaan yang ia rasakan tadi pagi kini berubah menjadi kekecewaan yang dalam.
Kepanikannya, membuat gadis cantik itu mengambil gelas yang ada di depannya. Ia teguk sedikit demi sedikit minuman itu hingga tandas tanpa sisa.
Dengan tangan gemetar, Aurel melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya terasa hancur, seolah-olah Dion baru saja memutuskan tali yang selama ini mengikat mereka.
Ia berdiri perlahan, namun kepalanya mendadak pusing dan setelah itu dia tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi setelahnya. Aurel sama sekali tidak mengingatnya.
Keesokan harinya....
Kedua hazel milik Aurel mulai terbuka perlahan, perempuan cantik itu tampak menggeliat. dan langsung bingung.
"Aku dimana?" gumamnya lirih.
Ia menatap ke langit-langit kamar itu, dan ia merasa asing. Ia lantas mencoba bangkit dan menyentuh sisi ranjang yang lain, tapi ia merasa ada yang beda. Aurel langsung menoleh dan betapa terkejutnya dirinya saat melihat pria yang begitu ia kenal tanpa busana di sampingnya.
"Ha? Pak Riko!" teriaknya sembari melonggo tidak percaya.
