Aku bukan penyabar
‘’Ya Tuhan…apa yang harus aku lakukan sekarang ini?’’ bathin Hanum merasa gelisah. Selama ini dia selalu mengirimkan sedikit uang setiap tanggal muda ke kampung dengan mengatakan kalau dia gajian tanggal segitu.
“Nak…Nak…apa kamu masih di sana? Kalau kamu tidak punya uang atau belum terbagi, nggak apa-apa kok, ibu akan cari pinjaman di sini,” ucap ibunya dari sambungan telepon.
“Ja-jangan Bu, pinjam uang nanti bunganya gede. Hanum akan usahakan ya Bu mencari uang untuk pengobatan ayah.”
“Memangnya kamu udah nggak kerja lagi Nak?’’ tanya ibunya heran.
“Ng-nggak Bu, Hanum nanti akan cari pekerjaan lain.”
“Bara, gimana kabarnya, bukannya biaya kuliah kamu dia yang bantuin? Apa kalian di sana baik-baik saja?’’ ucapan ibunya Hanum terdengar begitu khawatir dengan kondisi putrinya di kota asing.
Hanum semakin bingung harus jawab apa, dia tidak mau mengatakan kondisinya saat ini yang kurang baik karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Bara padanya. Hanum terpaksa harus berbohong agar ibunya tidak khawatir dengan keadaan nya di sana.
“Se-semua baik-baik saja kok Bu. Ibu tidak usah khawatir dengan aku di sini, ibu fokus sama ayah aja yah…Hanum akan kirimkan uang secepatnya agar ayah bisa berobat dengan baik,” tuturnya gelapan.
“Baiklah Nak…terima kasih banyak yah. Maafkan ibu karena sudah merepotkan mu, jaga diri baik-baik di sana, Assalamu'alaikum…”
“Iya Ibu…jangan khawatir yah, semua pasti berlalu…aku tutup telponnya Bu, Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…”jawab ibunya.
Hanum pun memutuskan teleponnya. Tangisnya kembali pecah. Kekasih yang selingkuh, ayah sakit butuh biaya untuk berobat.
Dia merasakan sakit kepala yang luar biasa, pucuk kepala terasa berdenyut, mata membengkak karena menangis, dadanya terasa semakin sesak memikirkan ini semua.
Tok! Tok! Tok!
“Hanum, buka pintunya.’’
Terdengar suara ketukan pintu mendesak barengan dengan suara Bara. Hanum mengusap air matanya, dengan hati yang masih panas dan emosi yang memuncak Hanum bergegas membukakan pintu kost nya.
Bara yang sudah sering ke sana dan dikenal banyak orang tidak mengalami kesulitan jika ia menemui Hanum. Tangan Hanum membukakan pintu dengan kasar, matanya yang tajam tertuju pada sosok pria berjas silver, wajah tampan dengan brewok tipis-tipis yang sedang berdiri di depan pintunya.
Wajah Bara tampak begitu menyesal dan sedih. Dia tidak ingin kehilangan Hanum orang yang ia cintai dan yang menemaninya selama ini. Sebelum ke sini Bara terlebih dahulu mengantarkan Amel ke rumahnya.
“Hanum, Hanum…’’ Bara langsung meraih tangan Hanum untuk meminta maaf. Namun, Hanum melepaskan tangannya dan tidak mau berurusan lagi dengan pria itu.
“Lepas! Apa? Kamu mau apa lagi datang ke sini?!’’ cercahnya marah.
Matanya gembung, wajahnya merah dan tampak kekecewaan yang mendalam tersirat di wajah cantik itu.
“Kamu nangis sayang…a-aku minta maaf Sayang…aku janji tidak akan pernah melakukan hal sebodoh itu lagi.”
Bara langsung mengutarakan penyesalannya pada gadis yang ia cintai itu akan tetapi semua sudah terlambat. Hanum yang terlanjur sakit hati banget nggak bisa memaafkannya begitu saja.
“Nggak perlu kamu pasang muka melas dan sok-sok menyesal kau itu! Yang kau pikirnya aku kaleng-kaleng nggak punya hati dan otak? Setelah semua yang aku lihat di depan mata dan kepalaku sendiri, apa kamu tetap berpikir kalau aku mau memaafkanmu dan kembali merajut kasih yang penuh dengan pengkhianatan ini, hah?!’’
Bara tersentak kaget karena suara Hanum sedikit keras. Baru kali ini dia dikasari oleh gadis itu semenjak mereka menjalin hubungan.
“Bukan begitu maksudku Sayang…aku..aku…” Bara bingung harus menjelaskannya bagaimana karena memang benar kalau Hanum sudah melihat semuanya dengan jelas.
“Tadi pas enak-enak an kau sama wanita itu nggak terpikir olehmu sedikitpun tentang kita kan? Kau sudah hanyut dalam hubungan haram itu hingga lupa bahwa kau sudah memiliki kekasih, begitu? Enak aja kau, setelah semua yang kau lakukan hubungan ini bisa diperbaiki. Aku bukan wanita tangguh yang bisa menerima diperlukan seperti ini. Batas kesabaranku tidak seluas samudera, awas! Pergi dari sini atau aku teriak!’’ ancam Hanum sembari menunjuk kasar pada wajah Bara.
Pria itu terdiam dan tidak bisa membela diri lagi. Dia meneguk salivanya kuat beberapa kali. Dia mencintai Hanum dan tidak mau putus dengannya.
“Jika kita putus bagaimana dengan kuliahmu? Kau butuh uang untuk melanjutkan nya bukan?’’
Bara menekannya seperti mengingatkan Hanum bahwa dia tidak bisa jika tidak tetap bersama sebab ia masih butuh uang untuk melanjutkan pendidikan nya.
“Aku pasti bisa, kau tidak usah mengancamku seperti itu! Pergi dari sini atau aku teriak! Aku sudah jijik melihat wajahmu yang ternyata tidak sepolos yang aku kira.”
“Tolong beri aku kesempatan sekali ini saja Hanum, aku janji tidak akan melakukannya lagi.”
Bara terus memohon dengan memasang wajah memelas untuk mendapatkan maaf dari Hanum.
“Tolong….To….”
Hanum menjerit minta tolong, mendengar hal itu Bara langsung menutup mulut wanita cantik itu dengan tangannya.
“Jangan teriak lagi, aku akan pergi,” ucap Bara sembari melepaskan tangannya.
“pueh! Tangan kotormu itu kau buat menutup mulutku, jika tidak mau aku teriak lagi pergi sekarang jangan banyak lagi cakapmu di sini!’’
“Okey, tolong kamu pikirkan baik-baik semuanya. Kamu harus tahu kalau aku sangat mencintaimu.”
“cuih! Makan tuh cinta! Aku Sudah nggak percaya dan nggak peduli juga!”
Bara melihat kemarahan Hanum yang memuncak sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dengan berat hati akhirnya dia pergi meninggalkan kostan itu.
***
Amel yang baru saja siap mandi senyam senyum mengingat permainan panasnya dengan Bara. Bara lelaki yang ia cintai, bahkan saking cintanya dia rela melakukan hubungan terlarang itu berulang kali.
“Bara….kamu itu…um…pria perkasa, aku suka…aku tidak akan pernah melepaskanmu. Semoga saja pacar kampungmu itu tidak mau lagi kembali padamu.”
Amel bicara pada dirinya sendiri. Dia membayangkan keperkasaan Bara saat berada di atas ranjang bersama nya. Namun, meskipun sudah begitu Bara mengakui bahwa dia hanya mencintai Hanum dan hubungan mereka ini hanya sebatas begitu saja.
Amel tidak merasa keberatan jika Bara berkata demikian. Yang penting baginya, setiap hari Bara selalu ada untuknya, mereka juga sudah sering tidur bareng dan berhubungan seperti tadi. Amel merasa lebih beruntung daripada Hanum karena dirinya sudah tidur beberapa kali dengan pria itu.
Selesai memakai pakaiannya, Amel keluar kamar. Dia melihat Abangnya yang sedang bergurau dengan keponakannya yang bernama Rara. Rara seorang anak yang berusia 7 tahun, orangnya cantik dan juga ceria. Ibunya sudah meninggal sejak usianya masih 1 tahun.
“Ini papa belikan mainan baru,” ucap seorang pria maskulin, baik hati itu pada putrinya.
Rara terharu, terpelongo melihat mainan Barbie yang dibelikan papa nya itu. Rara memang sudah memiliki banyak mainan tapi, untuk Barbie yang satu ini mereka sudah lama mencarinya tapi produknya selalu kosong sba baru ini ada.
Rara berhambur memeluk papanya sembari mengucap terima kasih.
“Wah, Rara punya mainan baru nih…”
Amel menghampiri mereka berdua. Di saat bersamaan Arya menerima panggilan telepon dari kantornya.
“Bagaimana bisa kita tidak mendapatkan proyek itu? Kalian ini gimana sih kerja begitu aja nggak becus!’’
Arya tampak kesal dengan temannya berteleponan itu. Arya adalah seorang duda kaya raya yang terkenal di kota itu. Perusahaan nya yang begitu besar bahkan memiliki cabang di seluruh Nusantara.
Selama ini dia tidak pernah gagal dalam proyeknya akan tetapi hari ini dia malah menerima kabar buruknya.
“Bagaimana pun juga kita harus memenangkan proyek itu. Kamu lakukan apa saja!’’
Tek.
Arya langsung memutuskan sambungan teleponnya. Wajahnya tampak kesal dan kembali menghampiri putrinya.
“Kamu darimana saja Amel, kok nggak pulang semalaman ini?’’
“Dari rumah teman Bang,” jawabnya dengan memasang wajah tenang padahal hatinya sudah goyah.
“Jika Kamu terus seperti ini lebih baik kamu pulang saja ke rumah ibu. Aku tidak mau mengurus orang yang tidak bisa diatur!’’ tukasnya tegas.
Amel terdiam, dia tahu kalau abangnya itu sudah merasa kesal tidak ada yang bisa mentolerirnya. Dia hanya mengangguk untuk tidak menambah kemarahan abangnya.
Tiba-tiba saja mata Arya tertuju pada leher adiknya yang merah seperti bekas cupang.
“Apaan itu?!’’
Arya Ajinomoto menatap tajam ke arah adiknya itu. Amel yang tidak sadar membelalak tidak mengerti.
