Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tolong Rahasiakan

"Bener kata kamu, makan pakai sayur bening, perkedel tempe, dan sambal memang enak. Bikin nafsu makan meningkat, padahal menunya sangat sederhana." Juan puas dengan sarapan yang Hana siapkan.

Hana terkekeh mendengar pujian majikannya. "Itu namanya mendol, Mas. Bukan perkedel tempe, hehehe."

"Iya, mendol maksudnya." Juan tersenyum. "Ya udah, saya mandi dulu, Han. Abis itu saya mau nge-gym. Nanti kamu bersihkan kamar saya pas saya ke rumah mama." Juan berdiri hendak meninggalkan kursi makan.

"Siap, Mas." Hana kembali sibuk dengan beraneka pekerjaan. Membersihkan meja makan, mencuci piring kotor dan merapikan kembali dapur. Telinganya samar mendengar bel apartemen berbunyi, saat ia hendak keluar untuk membukakan pintu, Hana berpapasan dengan Juan yang menyuruhnya melanjutkan pekerjaan.

"Saya saja yang buka. Kamu lanjutkan pekerjaanmu, Hana." Juan tampak segar dan menggoda iman. Kaos olah raga warna putih dengan kerah leher merah dipadu celana olahraga merah yang panjangnya selutut membuat Juan Rahardian tampak semakin gagah.

Hana terpesona untuk sejenak. Jika memang benar di dunia ini setiap individu memiliki tujuh saudara kembar, maka Hana yakin Juan adalah salah satu dari kembaran Joe Taslim versi KW super. "I-iya, Mas. Kalau gitu saya ke dapur lagi."

Juan melihat dulu siapa yang ada di depan melalui kamera di interkom. Rupanya tamu paginya kali ini adalah sang papa. Segeralah ia buka pintu apartemennya.

"Pa, kok enggak langsung masuk? Kan udah tahu password-nya," tegur Juan seraya mempersilakan ayahnya masuk.

"Papa bukan mamamu yang tidak punya adab. Biar bagaimanapun bertamu harus pegang unggah-ungguh." Abdi dengan wajah masam menimpali teguran Juan.

Juan yang menyadari suasana hati ayahnya sedang kurang baik langsung bertanya, "Kenapa lagi, Pa? Mama pergokin atau labrak selingkuhan Papa?"

"Husss, ngawur kamu." Abdi menghempaskan pantat ke sofa ruang tamu. Disandarkannya punggung lebarnya agar emosi di dada turut mereda. "Papa lagi kesel sama janda songong. Mereka berdua keroyokan nyembur Papa di hutan kota."

"Lah, jadi Papa abis joging ke Serpong?"

"Iya, jauh-jauh Papa ke sana cuma buat pedekate sama Ines. Eh dia malah nolak Papa mentah-mentah." Abdi kembali kesal kalau ingat bagaimana Ines dan temannya mempermalukan dirinya di depan banyak orang.

Sementara Juan enggan berkomentar banyak. Ia tak mendukung hobi ayahnya berselingkuh dan gemar kawin siri dengan janda-janda di sekitar, tapi di sisi lain Juan juga tidak bisa membocorkan kelakuan sang ayah karena takut melukai hati mamanya. "Sampai kapan Papa kayak gini? Emangnya pernikahan cuma soal seks? Saat mama tidak bisa puasin Papa, lalu Papa cari kepuasaan di tempat lain? Saat mama sudah membosankan, Papa cari selingan dengan kawinin janda lain?"

"Juan!" Nada bicara Abdi meninggi. "Hidup memang tidak soal urusan ranjang saja, tapi hidup dengan mamamu yang sebelas dua belas sama dedemit hidup itu bikin Papa terancam kena gangguan jiwa. Papa butuh pelarian supaya mental Papa sehat. Kamu tahu sendiri gimana mamamu kerangkeng Papa dengan segala aturan dan protokolnya yang edan."

Kali ini Juan sedikit setuju dengan pendapat ayahnya. Mayang memang keterlaluan dalam banyak hal, tapi tetap saja berselingkuh bukan cara yang benar untuk melawan mamanya. "Papa tidak takut ketahuan sama Mama?"

"Ya, takut lah. Bisa dikubur hidup-hidup Papamu ini kalau sampai mamamu tahu. Tapi tenang aja, Papa mainnya bersih, tidak meninggalkan jejak. Jangan khawatir, selama kamu tidak bocor, maka mamamu tidak akan tahu."

"Kebohongan juga punya tanggal kadaluarsa, Pa. Meskipun bukan aku yang ngasih tahu mama, kalau saatnya tiba, mama akan tahu dengan sendirinya."

Abdi merenggut. Sebelum ditakut-takuti Juan pun ia sudah takut, apalagi setelah ini, nyali Abdi makin ciut. "Dah lah, jangan pikirin Papa. Mending kamu bantu Papa, nikah dan hamili seorang gadis. Beri mamamu cucu, supaya dia punya mainan baru dan tidak jadiin papa bulan-bulanannya."

"Aku kan udah bilang, aku enggak akan nikah!" Juan mengangkat kaki kanannya untuk disilangkan di atas kaki kiri. Memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman. Matanya menatap kosong ke luar jendela yang menampilkan pemandangan ibu kota pagi hari.

"Jangan begitu lah, Juan. Tega kamu memutus regenerasi keluarga Rahardian dengan tidak menikah?" Abdi mencoba membujuk anaknya.

Juan tak menjawab. Percuma juga menikah jika tujuannya hanya untuk memproduksi bayi. Ia bisa menyewa rahim seseorang untuk diinseminasi benihnya. Jadilah bayi dengan genetik milik Juan. Tanpa perlu terikat pernikahan dan rasa memuakkan bernama cinta.

"Papa berdoa semoga kamu dipertemukan dengan gadis baik yang bisa mengubah pikiranmu. Menikah itu perlu dan penting, kamu bisa memiliki apapun di dunia ini, tapi kamu pasti tidak akan bahagia jika tak menikah."

"Pa ... apa Papa bahagia jadi bulan-bulanan Mama?"

Abdi tergagap, tak bisa menjawab. "Ehemmm, hem, hemmm. Papa haus, kamu nggak mau buatin kopi untuk Papa?" kilah Abdi mencari cara untuk menghindar menjawab pertanyaan putranya.

Juan akhirnya berdiri, berjalan ke dapur untuk meminta Hana membuatkan ayahnya kopi. Tak disangka Hana sedang duduk di lantai, menyandarkan diri ke dinding sambil memeluk lututnya.

"Hana, kamu sedang nguping?"

"Ti-tidak, Mas." Muka Hana merah karena panik.

"Lalu apa yang kamu lakukan di situ?"

"Saya, saya ketiduran. Maafkan saya, Mas. Tadi saya mau ke kamar Mas Juan untuk mengambil pakaian kotor, tapi karena ada tamu, saya malu ke luar. Maka saya menunggu di sini, ternyata saya ketiduran."

Juan menghela napas lega. "Oh, di luar itu papa saya. Kamu tidak usah malu. Tolong buatkan kopi untuk dia ya."

"Kopi apa, Mas? Kopi susu, kopi tubruk, kopi luwak?"

"Kopi apa saja," jawab Juan singkat lalu meninggalkan Hana. Belum tiga langkah, Juan berhenti dan kembali ke dapur. Ia baru ingat bahwa Abdi adalah pria genit yang hobi menggoda pembantu. Di rumahnya saja Abdi sering menggoda Saroh meskipun sembunyi-sembunyi dari Mayang. Juan berpikir sebaiknya menyembunyikan Hana dari sang papa. Kalau sampai Abdi tahu Juan memiliki pembantu cantik dan masih muda, bisa-bisa Abdi akan datang berkunjung ke sini setiap hari.

"Hana, tidak usah membuatkan kopi. Kamu di sini saja, jangan keluar sampai Papa saya pergi," titah Juan kemudian meninggalkan Hana.

Abdi heran melihat Juan kembali tanpa apa-apa di tangannya. "Mana kopi buat Papa?"

"Aku baru ingat, enggak ada kopi di sini. Kita ngopi di kafe bawah aja yuk, Pa."

"Di kafe bawah ada janda semok penjaga stand boba ya, Juan?" tanya Abdi antusias.

Juan mengangguk dengan ringisan getir. "Papa turun dulu deh, aku mau ambil dompet dulu."

"Ah, oke, oke. Tapi sebentar, Papa ingin jawab pertanyaan darimu tadi. Jujur, Papa memang tidak bahagia jadi bulan-bulanan mamamu. Tapi Papa bahagia menikahi mamamu. Berkat menikah dengan Mayang, Papa memiliki kamu sebagai anak Papa, Nak."

Juan terenyuh. Tak pernah sekalipun ia mendengar perkataan mengharukan dari sosok Abdi yang tampak mementingkan kebahagiaan sendiri. Hati Juan sedikit menghangat. Apakah itu artinya ia mau menikah seperti harapan orang tuanya? Belum. Jurus Abdi belum ampuh untuk merobohkan dinding di hati Juan.

Abdi meninggalkan apartemen, Juan masuk ke kamarnya mencari dompet. Sebelum Juan pergi, ia menemui Hana untuk berpesan. "Han...."

"Ya, Mas."

"Saya tidak tahu apakah kamu mendengarkan pembicaraan saya dengan Papa atau tidak. Cuma satu pesan saya, tolong rahasiakan semua yang kamu dengar tadi dari mama. Mengerti?"

"Mengerti, Mas."

***

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel