Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kenapa dengan Airnya?

"Itu kotak apa, Pak, eh Mas?" Rohana bertanya sambil menunjuk box besar yang dibawa Juan.

"Oh, ini kasur buat kamu." Juan mendorong kardus itu ke dalam kamar Hana dengan hati-hati. Sementara gadis di belakangnya mengekori sang majikan. "Tolong ambilkan gunting di laci dapur ya."

"Siap, Mas." Hana dengan gesit menghilang lalu muncul kembali bersama gunting bergagang merah di tangannya kurang dari satu menit.

Apa gadis ini jin? Juan membatin kagum dengan kecepatan Hana.

Jika dipikir-pikir, dengan tubuh Hana yang mungil itu, akses Rohana untuk bergerak tentu sangat leluasa. Wajar bila ia cepat dalam segala hal, Juan mulai menenangkan hati. Ia harus belajar mahfum jika Rohana menghilang dan muncul seperti roh halus. Namun, bicara tentang kekuatan, oh, sekali lagi Juan merasa patut mengurut dada. Kenapa ada gadis yang terlalu perkasa? Si Hana itu makan apa sih?

Kembali ke kasur. "Nah, ini dia." Juan mengeluarkan lipatan putih dari dalam kardus. Membuka plastik-plastik gelembung yang melindungi, kemudian membiarkan benda itu tergeletak begitu saja di lantai. "Tunggu beberapa saat, nanti kasurnya akan mengembang sendiri."

"Wah, kasurnya ajaib ya, Mas." Hana terkagum-kagum. "Pasti mahal ya? Padahal buat saya doang dibeliin kasur bekas juga tidak apa-apa."

"Kamu suka?" tanya Juan mendapat anggukan penuh semangat dari pembantu barunya.

"Wah ya pasti, suka sekali. Terima kasih ya, Mas Juan." Mata Hana berbinar seiring senyumnya yang terbentang lebar.

Selama tiga puluh tahun Juan hidup di muka bumi ini, ia mengenal berbagai manusia dan bermacam karakter. Juan bisa dengan mudah menilai ketulusan seseorang hanya dari pancaran matanya. Dan selama itu pula, baru kali ini ia melihat sorot penuh rasa syukur yang amat-amat tulus dari mata seorang gadis. Mata tersebut adalah mata Rohana. Manik sehitam arang dengan bulu mata lentik dan alis tebal dijamin mampu menggetarkan hati setiap pria yang memandang. Sayangnya Juan bukan pria yang mudah tergoda.Hatinya memang kosong, tapi belum siap ditempati.

"Di rumah ini hanya ada saya dan kamu. Saya akan menjaga privasi kamu, Hana. Jadi kamu juga harus menghormati privasi saya. Tolong jangan masuk kamar saya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu, setiap hari saya pergi bekerja. Jangan bukakan pintu untuk orang asing. Kalau ada apa-apa cepat hubungi saya. Oh ya, saya berangkat jam delapan pagi, kembali ke rumah petang. Kamu cukup siapkan saya sarapan dan makan malam. Tapi kamu boleh masak makan siang untuk dirimu sendiri. Mengerti?"

"Mengerti, Mas." 

"Weekend saya makan di rumah mama, jadi kamu bisa masak untuk diri kamu sendiri. Habis ini kita ke super market bawah untuk belanja. Sebelum itu kamu punya pertanyaan?" Juan mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam digital pada layar benda persegi empat itu.

"Ini, Mas. Saya bingung bagaimana cara pakai alat ini," tutur Hana sambil menyeret mesin penyedot debu ke hadapan Juan.

"Oh itu ...." Juan garuk-garuk kepala. Ia sendiri tak pernah menggunakan vacum cleaner, bagaimana bisa Juan mengajari Hana?

"Iya, tadi saya cari sapu kan tidak ada. Jadi saya telepon Bulek Saroh untuk nanya, katanya di sini tidak pakai sapu. Pakainya vakum. Masalahnya saya ndak pernah pakai yang beginian di kampung."

"Emmm ... Hana, kamu ada hape? Saya akan sambungkan ponsel kamu ke wifi, kamu cari di Youtube bagaimana cara pakai vacum cleaner. Apapun yang kamu bingung, kamu cari saja di sana, pasti ada."

Rohana mengangguk mengerti. Diserahkannya handphone Swamsung J2 jadulnya ke Juan. ”Ini, Mas.”

Menerima ponsel pintar Hana yang kondisinya sama naas seperti pemiliknya, Juan jadi iba. Layar sentuhnya sudah dihiasi beberapa retakan, beruntung masih bisa bekerja dengan baik. Tunggu, Juan harus meralat pemikirannya. Ia baru saja mengusap layar dan kini ponsel itu sudah macet. “Kok tidak bisa di geser?” tanya Juan sembari mengasongkan lagi handphone Hana pada empunya.

“Ooo, macet?” Rohana tidak heran, diambil alih ponsel dari tangan Juan untuk dibenturkan bagian sebelah kamera ke keningnya.

“E-eh, apa yang kamu lakukan?” Juan khawatir.

Sementara Hana cengengesan meringis. “Dia minta digetokin ke jidat dulu, Mas, baru bisa dipakai lagi.”

Benar saja, usai ritual aneh yang dilakukan Rohana, ponsel tersebut kembali bekerja dengan normal. Juan terperangah. Pembantunya tak cuma penyihir yang pandai menyulap rumah berantakan menjadi kincong, tapi juga personel debus. Juan baru pertama kali melihat seseorang memukulkan ponsel ke kepalanya sendiri, sekeras itu. Wah, agaknya Rohana patut di masukkan ke Suaka Marga Satwa. Spesies seperti Hana ini langka soalnya, terancam punah pula. "Ini, sudah terkoneksi. Hari ini kamu istirahat dulu. Nonton Youtube, terus mandi, ganti baju. Kita ke supermarket nanti sore saja. Saya ingin istirahat dulu, sepertinya saya belum benar-benar pulih."

"Mas sakit apa?" Hana ceplas-ceplos bertanya.

"Asam lambung saya kambuh beberapa waktu yang lalu, sudah membaik tapi masih lemes." Usai menjelaskan, Juan melangkah pergi menuju kamarnya.

Hana juga masuk ke kamarnya setelah Juan menghilang ditelan pintu. Gadis itu membanting tubuhnya ke kasur yang empuknya di luar dugaan. Tubuh Hana membal-membal menerbangkan kupu-kupu di perutnya. Firasatnya baik. Hana suka apartemen ini, kamar ini, dan juga majikannya yang super-super ganteng lagi baik. Hana menonton beberapa video tutorial menggunakan alat penyedot debu, ia paham hanya dengan sekali menonton. Usai mempelajari tentang per-vacum-an, Hana mencari resep makanan atau minuman yang baik bagi penderita asam lambung. Ia ke dapur mencari bahan-bahan untuk membuatkan Juan makanan, tapi lemari es Juan terlalu bersih. Tidak ada yang bisa dimasak.

Matahari meninggi lalu terbang ke barat untuk tenggelam. Hana terpesona menyaksikan keindahan langit kota Jakarta dari jendela ruang tamu apartemen Juan. Gagang pintu kamar Juan terdengar berputar, sang pemilik apartemen agaknya sudah bangun.

"Sudah bangun, Mas?" sapa Hana disambut senyum tipis oleh Juan.

Wajah Juan tampak semakin pucat. Istirahat tak membuat kondisinya membaik. Juan duduk di sofa beledu kuning di ruang tamunya. Sesekali ia meringis sambil memegangi perut. "Hana, tolong carikan saya minyak angin."

"Di mana Mas?" Hana bertanya karena benar-benar tidak tahu.

"Di kotak obat, samping dispenser air."

"Siap, Mas. Perlu saya carikan kantong plastik juga?"

"Hah kantong plastik? Buat apa?"

"Buat kalau Mas Juan mau muntah."

"Memang saya bilang mau muntah?"

"Ya enggak, saya cuma menebak." Hana tanpa merasa berdosa nyengir memamerkan gigi kelincinya.

"Hana, Hana, kamu itu terlalu berinisiatif. Perut saya sakit, tapi saya tidak mual. Cepat ambilkan minyak angin, saya butuh yang hangat-hangat."

Rohana pun seperti biasa, menghilang bagai roh halus. Namun, kali ini ia tak kembali secepat biasanya. Hana butuh lebih dari lima menit sebelum menampakkan diri lagi di hadapan Juan. Sambil menyerahkan minyak angin yang Juan minta, Hana memberikan botol air mineral yang ia isi dengan air hangat.

"Saya tidak minta air, Hana." Juan menepis botol yang Hana berikan.

Hana menghela napas, sesaat kemudian ia mendekatkan dirinya ke sisi Juan. Ditempelkannya botol berisi air hangat itu ke perut Juan. "Buat dikompres, Mas. Biar hangat, nanti enakan kalau Mas Juan nempelin ini di perut agak lama."

Jarak yang teramat dekat membuat Juan dapat mengendus aroma sampo murahan dari rambut Hana. Sebagai pria normal ia merasa canggung. Meskipun tak ada rasa apa-apa ke Rohana, Juan wajib menjaga jarak. "Ee, saya bisa melakukannya sendiri, kamu lebih baik mandi, siap-siap." Tangan Juan mengambil botol dari tangan Hana, sambil mendorong halus gadis itu agar pergi sesuai perintahnya.

Ketika Hana berdiri, bunyi aneh menggema di ruangan senyap itu. Suara yang tidak lain tidak bukan merupakan kebisingan aksi demo dari dalam perut Hana. Juan melirik pembantunya yang seketika mematung malu sambil memegangi perutnya.

"Kamu belum makan siang ya, Hana?"

"Hehe, belum, Mas."

"Astaga, kenapa tidak masak sesuatu untuk di makan?"

"Anu, itu, kulkas Mas Juan kosong, tidak ada yang bisa saya masak."

"Ya Tuhan, maaf ya, saya lupa belanja. Baiklah, sebelum ke supermarket kita cari makan di bawah."

"I-iya, Mas. Kalau gitu saya permisi mandi dulu."

Juan menahan dengan mengangkat tangannya. "Di kamar mandi, ada handuk merah, itu handuk baru buat kamu."

"Wah, terima kasih, Mas."

Hana berlalu, ia ke kamarnya mengambil sepotong pakaian lalu keluar lagi menuju kamar mandi. Apartemen juan cukup sederhana. Hanya ada satu kamar mandi yang nantinya akan jadi kamar mandi bersama antara dirinya dengan Hana.

Baru saja Juan merelakskan diri dengan merebahkan kepala ke sofa, suara jeritan dari dalam kamar mandi mengagetkannya.

"Aaaaaaaarrrrrrrrrrrrg!"

Juan berlari cepat, mengetuk pintu kamar mandi. "Hana, ada apa?"

"Airnya, Mas...."

"Kenapa dengan airnya? Buka pintu, cepat!"

***

Bersambung . . . . .

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel