11. Kontrasepsi
"Jadi kau memilih suntik dari pada pil?" tanya Dr. Jenny. Wanita berusia 30 tahun itu sibuk memasukan peralatannya kembali ke dalam tas hitamnya.
"Aku takut lupa, akan ada resiko jika aku memilih pil." Dr. hanya tersenyum lalu mengangguk paham atas apa yang di ucapkan oleh Alexsis.
Dia adalah wanita, apalagi dia seorang dokter tentu saja dia tahu apa resikonya yang akan Alexsis alami.
Hening beberapa menit sebelum akhirnya Dr. Jane kembali bersuara. "Kenali dia dengan baik, kau akan melihat sisi baiknya." lalu Dr. Jane pergi dari kamar Alexsis di gantikan Dominique yang sudah masuk ke dalam kamarnya.
Balutan tuxedo hitam sangat cocok untuknya membuatnya terlihat seksi. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana bahannya, bibir tipisnya tetkatup rapat. Rahang kokohnya sangat indah, wajahnya terlihat sangat tampan dengan rambut hitam legamnya yang masih basah oleh minyak rambutmiliknya. Aroma parpum pun menyeruak ketika Dominique masuk.
Dia tampan, Alexsis tak mempungkirinya, tapi harus di sayangkan, Alexsis tak kenyukai sikap kejam Dominique. Berapa nyawa yang mati di tangan Dominique membuat dia jiji melihat Dominique sendiri. Tapi dia harus lebih banyak bersabar menghadapi Dominique akan ada saatnya Dominique percaya pada Alexsis, walau untuk saat ini ia harus menjadi seorang pelacur.
"Persidangannya akan di lakukan besok siang." Dominique duduk di samping Alexsis yang sedang duduk di atas ranjang, punggungnya menyender di kepala ranjang.
"Aku tahu," jawab Alexsis. Tangan Dominique terulur memegang kening Alexsis yang terasa hangat. Namun segera Alexsis tepis. Dadanya berdeguk kencang membuatnya terasa aneh. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya ketika Dominique berbicara lembut padanya.
"Istrirahatlah, badan mu sedikit hangat, Ninna akan mengantarkan sarapan untuk mu," ujar Dominique. Sebelum akhirnya Dominique mencium lembut kening Alexsis.
Dan sial! Hati Alexsis benar benar kacau, ia teringat adegan seks yang pernah ia lakukan bersama Dominique, dan sialnya tubuhnya menginginkan Dominique. Namun pikirannya memberontak keras.
"Aku tidak akan menyentuh mu, istrirahatlah!" bisik Dominique.
Alexsis hanya bergumam malas sebelum akhirnya suara ketukan pintu membuat pusat perhatian mereka terarah ke sana. Bisa di pastikan jika itu adalah Zach karena tak harus menunggu jawaban dari Dominique pintu itu sudah terbuka.
"Ada apa, Zach?" tanya Dominique. Sedangkan wajah Zach pucat, dengan wajah tampannya yang sudah memiliki luka pukulan.
"Ada pemberontakan di perbatasan tuan, semua senjata telah di amankan oleh para polisi yang bertugas," ujar Zach membuar Dominique menggeram di tempat. Berdiri dari duduknya Dominique segera menghampiri Zach.
"Jelaskan pada ku!" perintah Dominique lalu pergi lebih dulu, keluar dari kamar Alexsis.
Wajah tampannya kini sudah mengeras, tergantikan dengan amarah yang berada di tubuhnya.
"Jelaskan pada ku Zach!" ujar Dominique sambil memejamkan matanya ia mencoba menahan emosinya yang kapan saja bisa meledak.
"Sepertinya ada penghianat yang membocorkan jadwal pengiriman kita kali ini," lanjut Zach. Ia menyeka darah yang berada di sudut bibirnya.
"Urus luka mu, Zach. Aku akan menanganinya sendiri," jawab Dominique lalu pergi. Meninggalkan Zach yang masih berdiri di dalam ruang kerjanya.
***
Alexsis terus mondar mandir, pikirannya tak tenang. Entahlah apa yang ia rasakan, pikirannya benar benar tertuju pada Dominique, dan perasaannya benar benar di landa cemas.Kini ia benar benar seperti nyonya Black, yang sedang menunggu Tuan.Black dari peperangan.
Sejak tadi siang Dominique belum juga pulang. Alexsis menarik napas panjang lalu ia segera keluar dari kamarnya.
Manik mata birunya menangkap sosok Zach yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Zach, mmm...," ujar Alexsis.
"Nona, saatnya makan malam," potong Zach.
"Apa Dominique sudah pulang?" Tanya Alexsis ragu ragu, ia menggit bibir bawahnya. Sedangkan Zach hanya melongo, heran dengan Alexsis yang menanyakan keberadaan Dominique.
"Ah sudah lupakan saja," lanjut Alexsis yang tak enak karena di pandang terlalu intens oleh Zach.
Alexsis segera melangkah mendahului Zach yang masih mematung.
Sial! Apa itu terlalu berlebihan? Dan untuk apa aku menanyakan bajingan keparat itu? Alexsis terus menggerutu dalam hatinya, hingga ia tak menyadarinya jika dia sudah duduk di kursi meja makan, dan Zach yang kini sudah berdiri di sampingnya.
"Zach,,,"
"Hmmm," gumam Zach.
"Aku tidak melihat Ninna, kemana dia?" Tanya Alexsis. Mata birunya menatap Zach.
"Dia sedang ada urusan."
Hening. Hanya dentingan sendok yang memecah keheningan di antara mereka, Dominique dan Zach! Benar benar satu paket, sama sama tak suka bicara. Dengus Alexsis.
Hingga akhirnya dia menyerah dan mencoba membuka suara. "Kau bisa pergi, aku bisa sendiri."
Mata Zach menyipit, seolah tak percaya pada Alexsis.
Alexsis menghela napas sambil tersenyum, "kau bisa percaya padaku, aku tak akan kabur."
"Baiklah aku akan pergi, aku juga ada sedikit urusan."
Punggung Zach akhirnya hilang dari pandangan Alexsis yang masih duduk di kursinya.
Sedangkan Alexsis kembali memakan makanannya. Mata Alexsis terus menusuri mansion mewah milik Dominique. Hingga sebuah kecupan mendarat di puncuk kepalanya.
Alexsis terlonjak kaget sampai sampai ia langsung berdiri.
"Astaga, apa aku mengagetkan mu?" Gumam Dominique.
Alexsis menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum, namun Dominique malah menaikan sebelah alisnya.
"Apa?" tanya Alexsis malu malu.
"Tidak, kau sudah makan?"
"Belum selesai," kata Alexsis. "Kau sudah makan?" Lanjutnya.
Dominique menggelengkan kepalanya.
Melihat Dominique menggelengkan kepalanya Alexsis segera mengambil piring, namun segera Dominique menggenggam tangan Alexsis.
"Kita makan 1 piring berdua saja." Dominique menggeser kursi ke sebelah Alexsis hingga kursi mereka kini menempel.
"Hmmm,,, baiklah."
Alexsis segera duduk di samping Dominique, sesekali ia menyuapkan makanan nya ke mulut Dominique dan sedekali ke mulutnya.
Perasaan yang Alexsis rasakan benar benar di luar batasnya. Benar ini rasa cinta! Ia bukan lagi gadis yang baru berusia 17 tahun yang masih bertanya tanya sebuah perasaan aneh yang menggelitik di ulu hatinya. Ia gadis berusia 25 tahun yang tahu segalanya.
"Ini sudah malam, kau harus istirahat. Besok pagi kau harus sudah bangun untuk pergi ke pengadilan."
"Apa kau ikut?"
"Tidak, aku ada urusan. Kau akan bersama Zach dan Mark."
"Mark?"
"Dia adik Zach."
"Hmmm, baiklah. Selamat malam," gumam Alexsis yang langsung berdiri.
"Begitukah cara memgucapkan selamat malam?" Dominique menaikan sebelah Alisnya, lalu ia berdiri mensejajarkan diri nya dengan Alexsis.
Telunjuknya dinginnya ia kaitkan ke dagu Alexsis hingga Alexsis kini sedikit mendongak. Dengan lembut ia menempelkan bibirnya ke bibir Alexsis.
Tak ada yang bergerak untuk beberapa saat, hingga Alexsis yang memulai memagut bibir bawah Dominique, lalu memasukan lidahnya ke mulut Dominique.
Tangan Dominique kini sudah ada di pinggang ramping Dominique, sedangkan tangan Alexsis mengalung di leher Dominique.
*Prang!*
"Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu!" Teriak Dominique, tanpa melihat ke arah orang itu.
"Dominique, aku ingin bicara," ujar lelaki tua yang sudah beruban.
Mata hijau Dominique kini menatap seorang lelaki tua yang sudah beruban itu. Ia memutar bola matanya setelah melihat siapa orang itu.
"Pergi ke kamarmu, dan langsung tidur," bisik Dominique, lalu kembali mengecup bibir Alexsis.
Alexsis hanya mengangguk lalu tertunduk dan pergi, dari ruang makan. Ia sempat melihat wajah lelaki tua itu, apa kah itu ayah Dominique? Pikir Alexsis.
To Be Continue
