BAB. 6 Pemakaman Paula Di San Diego Memorial Park
Matahari bersinar terik di langit yang cerah, memancarkan cahaya yang menyilaukan dan menghangatkan tanah di bawahnya. Namun, sinar matahari yang menyengat itu tidak mampu meredam kesedihan yang melanda orang-orang yang berkumpul di Sandiego Hills Memorial Park. Di tengah terik siang itu, kerabat, keluarga, dan teman-teman dari anak perempuan bernama Paula Anderson telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir baginya.
Paula, seorang anak berusia sepuluh tahun, telah meninggal dunia akibat benturan di kepalanya yang menyebabkan pendarahan hebat. Kedua orang tuanya, Tuan Amos dan Nyonya Dela, serta sang kakak, Samuel Anderson, turut hadir, hati mereka dipenuhi dengan duka yang mendalam. Mereka berdiri di depan peti mati yang terbuka, menatap wajah tenang Paula untuk terakhir kalinya.
Pemuka agama mulai melaksanakan ibadah pelepasan jenazah. Suara doa mengalun di udara, akan tetapi kesedihan yang begitu dalam membuat suasana semakin hening. Tuan Amos berdiri tegak, mencoba terlihat kuat di hadapan istrinya, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Nyonya Dela berdiri di sampingnya, tangisannya tidak bisa tertahan, tubuhnya gemetar di bawah sinar matahari yang terik itu.
"Saya tahu ini sangat sulit, akan tetapi kita harus mencoba menerima takdir ini," tutur sang pemuka agama dengan suara lembut namun tegas.
"Kita berkumpul di sini untuk menghormati Paula dan merelakannya pergi dengan damai."
Isak tangis Nyonya Dela semakin keras saat pemuka agama selesai berbicara. Dia memeluk peti mati Paula erat-erat, seakan tidak ingin melepaskannya.
"Paula, Nak ... Mami sangat sayang sama kamu. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa?" jeritnya dengan suara yang serak dan penuh derita.
Tuan Amos merangkul istrinya, mencoba memberikan dukungan meski hatinya sendiri penuh dengan kesedihan.
"Mami, Sayang ... Kita harus tabah. Paula pasti ingin kita selalu kuat, menghadapi semua cobaan ini," bisiknya, suaranya sungguh bergetar.
Samuel, bocah kelas enam SD, berdiri sedikit terpisah dari orang tuanya. Matanya merah dan bengkak akibat menangis sepanjang malam. Dia menatap peti mati yang mulai diturunkan ke liang kubur, air mata pun mengalir deras di pipinya.
"Paula … Adikku Tersayang, aku akan sangat merindukanmu," bisiknya lirih.
Ketika peti mati mulai diturunkan, suasana semakin pilu. Tangis para pelayat semakin kencang, menggema di antara bukit-bukit hijau di sekitar Sandiego Hills. Nyonya Dela hampir tidak bisa berdiri, tubuhnya terasa lemah seiring dengan kepergian putri tercintanya. Tuan Amos tetap merangkul istrinya, menahan tangisnya sendiri demi memberikan kekuatan kepada sang istri tercinta.
"Paula adalah anak yang sangat baik dan penuh cinta. Kita semua merasakan kehilangan yang begitu besar," tukas salah seorang kerabat yang turut hadir.
"Dia selalu membawa kebahagiaan dalam setiap langkahnya. Kita pasti akan merindukannya selamanya," ujar yang lainnya.
Satu per satu, orang-orang mulai menaburkan bunga ke dalam liang kubur. Samuel pun melangkah maju, memegang sekuntum bunga mawar putih di tangannya yang gemetar. Sang bocah kecil tersebut menatap bunga itu sejenak sebelum melemparkannya ke dalam liang itu.
"Selamat tinggal, Paula. Adikku yang baik hati. Aku akan selalu mengingatmu," ucap Samuel dengan suara yang tersendat-sendat mencoba menahan rasa pilu yang menyesakkan jiwanya.
Nyonya Dela tidak tahan melihat peti mati Paula mulai ditutupi tanah. Perempuan itu malah menangis semakin keras, air matanya bercucuran tanpa berhenti dari kedua pipinya.
"Tidak ... Tidak ... Paula! Jangan tinggalkan Mami! Mami sangat menyayangimu, Paula! Bagaimana Mami menjalani hari-hari tanpamu, Paula!" tangis Nyonya Dela semakin menyayat. Dia terus meronta-ronta dalam pelukan Tuan Amos.
Tuan Amos mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, meski matanya juga basah oleh air mata.
"Mami, kita harus kuat. Kita harus ikhlas," serunya, meski suaranya terdengar hampa.
Hatinya sendiri terasa hancur berkeping-keping, namun Tuan Amos tahu jika dia harus tetap tegar demi keluarganya.
Samuel mendekati ibunya, lalu memeluknya dengan erat.
"Mami … Mami jangan menangis lagi. Paula pasti sudah ada di tempat yang lebih baik sekarang," ucap Samuel, meski hatinya sendiri penuh dengan kesedihan.
"Aku juga pasti akan merindukannya setiap hari," tutur Samuel lagi.
Tak berapa lama kemudian,
pemuka agama kembali berbicara, mengajak semua orang untuk berdoa bersama. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh haru, meminta agar Paula diterima di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan. Isak tangis terus terdengar, namun doa-doa tersebut memberikan sedikit ketenangan di hati yang berduka.
Setelah upacara pemakaman selesai, satu per satu pelayat mulai meninggalkan tempat tersebut, memberikan pelukan dan ucapan belasungkawa kepada Keluarga Anderson.
Tuan Amos dan Nyonya Dela berdiri di samping kubur Paula, masih mencoba menerima kenyataan pahit ini. Samuel tetap berada di samping mereka, meski hatinya terasa sangat kosong tanpa kehadiran adiknya.
Nyonya Dela menatap kubur yang telah tertutup itu, air matanya terus mengalir. "Paula, Mami akan selalu mencintaimu. Mami akan selalu mengenangmu," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Tuan Amos memegang tangan istrinya erat-erat.
"Mami … kita harus terus melanjutkan hidup, Mi. Semuanya demi Paula dan Samuel. Kita harus kuat," ucapnya, meski suaranya sendiri penuh dengan kepedihan.
Samuel menghapus air mata di pipinya dan berkata,
"Mami, Papi, kita akan selalu bersama. Kita akan menjaga kenangan tentang Paula dalam hati kita."
Hari itu, di bawah terik matahari yang menyengat, keluarga Anderson mencoba menerima kenyataan pahit ini. Keluarga itu tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi tanpa Paula, namun mereka bertekad untuk tetap kuat dan saling mendukung. Meski dengan hati yang hancur, ketiganya mencoba melangkah maju, membawa cinta dan kenangan Paula bersama mereka.
Kehilangan Paula adalah luka yang dalam dan takkan pernah hilang. Namun, cinta mereka untuk Paula akan selalu menjadi cahaya yang menerangi langkah mereka ke depan. Dalam duka yang mendalam, keluarga Anderson menemukan kekuatan dalam cinta dan kebersamaan. Semua orang tahu bahwa meski Paula telah pergi, cintanya akan selalu ada di hati mereka, selamanya.
Namun tidak bagi Nyonya Dela, setelah semua orang pergi dari area pemakaman. Tersisa Samuel, Tuan Amos dan Nyonya Dela yang masih berada di sana. Ternyata sang ibu masih belum bisa menerima kenyataan jika Paula telah meninggalkan mereka untuk selamanya.
Di area pemakaman itu juga ada Asisten Akri yang sedang berkoordinasi dengan pihak berwajib untuk mengusut tuntas penyebab kematian Paula yang begitu tragis. Sang asisten terlihat beberapa kali mengepalkan tangannya karena tidak satu informasi pun yang ditemukan olehnya untuk mengungkapkan semuanya.
Tak terasa Asisten Akri meneteskan air matanya. Namun pria itu berusaha menutupinya dari Keluarga Anderson.
“Nona Paula, maafkan Uncle.
Uncle masih belum bisa mendapatkan informasi tentang kematianmu. Tapi Uncle berjanji akan mencari tahu tentang semua ini! Uncle tidak akan melepaskan orang yang membuat dirimu telah pergi jauh dari kami!” Akri pun berjanji dalam hatinya.
