Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 2

Rosverna selalu memiliki aroma yang khas. Aroma batu-batu kuno yang mengingatkan pada sejarah panjang, namun juga dipenuhi dengan aroma yang lebih baru aroma politik, korupsi, dan ambisi. Sebagai anak seorang diplomat berpengaruh, Aries terlahir untuk menjadi bagian dari kehidupan yang tampaknya sempurna. Namun, apa yang tampak di luar, tidak selalu seindah kenyataan.

Di balik setelan jas mahal yang dikenakan ayahnya, di balik pertemuan-pertemuan diplomatik yang penuh senyuman palsu dan janji-janji kosong, ada keretakan yang semakin nyata bagi Aries. Ia merasa seperti boneka yang diculik oleh dunia, dipaksa mengikuti irama yang bukan miliknya. Namun, di balik wajahnya yang tenang dan penuh pesona, Aries tahu ia memiliki lebih dari sekadar kecerdasan sosial dan kemampuan diplomatik yang diturunkan dari ayahnya.

Hari itu, ia baru saja menghadiri satu lagi makan malam resmi bersama ayahnya. Semua orang di ruangan itu tampak seperti potret kesempurnaan: diplomat, politikus, dan tokoh-tokoh berpengaruh. Namun di mata Aries, semuanya terlihat palsu. Senyum mereka seperti masker yang menutupi wajah asli mereka, sementara di dalam dirinya, perasaan gelisah semakin memuncak.

"Aku lelah menjadi bagian dari permainan ini," pikirnya. Ia menatap anggur merah yang ada di gelasnya, hampir tidak menyadari bahwa ia sudah memutar gelas itu berulang kali. Setiap kali ia merasa lelah dengan pertemuan seperti ini, ia selalu teringat latihan bela diri di dojo—tempat di mana ia merasa bebas. Tempat di mana dunia luar tidak bisa menjangkaunya.

Setelah pertemuan selesai, Aries memutuskan untuk berjalan-jalan malam di Rosverna. "Mungkin aku butuh udara segar," pikirnya. Ia mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang pas dengan tubuhnya. Tak ada yang mencurigakan dengan penampilannya seorang diplomat muda yang hanya berjalan di sepanjang jalan kota yang terang benderang.

Namun, ia tahu bahwa malam-malam seperti ini adalah miliknya. Ia meninggalkan jalan-jalan yang ramai dan memasuki lorong-lorong yang lebih gelap. Ada tempat-tempat tertentu di Rosverna yang jarang diketahui orang tempat di mana kekuasaan berbicara lebih keras dari kata-kata, dan rahasia dijaga dengan ketat.

Ia melewati satu pub yang tampaknya biasa-biasa saja, tapi instingnya mengatakan untuk masuk. Begitu melangkah masuk, asap tembakau dan suara gelak tawa memenuhi udara. Dalam ruangan yang sumpek itu, beberapa tokoh gelap bertemu di bawah cahaya redup.

Aries menurunkan kaca matanya sedikit, memindai ruangan itu dengan hati-hati. Di sana ada beberapa wajah yang familiar, tapi bukan dari dunia diplomasi. Mereka adalah bagian dari jaringan yang selama ini hanya ia dengar dari desas-desus politik Zorya yang lebih gelap, lebih kotor.

"Mereka tidak tahu aku di sini," pikir Aries, meskipun darahnya mulai berdenyut lebih cepat. Ia tahu ia harus berhati-hati. Setiap langkahnya bisa jadi membawa risiko besar.

Salah satu pria di meja belakang, mengenakan jas tua yang lusuh, mengangkat gelas dan tertawa dengan suara keras. “Jangan khawatir, semuanya sudah berjalan sesuai rencana. Semua orang punya harga, termasuk si anak diplomat itu,” ucapnya sambil tertawa licik.

Telinga Aries langsung mendengus tajam. Anak diplomat? Ia merasa dunia berputar sejenak. Siapa yang tahu tentang dirinya? Tentang ketidaksenangan yang ia rasakan? Tentang segala yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati?

Ia memfokuskan pandangannya pada pria itu, setiap kata yang keluar dari bibirnya terngiang jelas di telinga Aries. "Siapa yang membicarakan ayahku?"

Tanpa berpikir panjang, Aries mendekat ke meja itu, berusaha menutupi langkahnya. Dari ujung matanya, ia bisa melihat satu wajah yang ia kenal seorang pria muda dengan mata tajam dan sikap tenang, yang ia tahu adalah bagian dari lingkaran politik Rosverna yang sangat berpengaruh. Pria itu, walaupun berusia lebih muda, telah naik ke posisi yang mengesankan di dunia politik gelap. Nama pria itu adalah Vincenzo.

"Vincenzo… Dia selalu ada di sekitar ayahku," pikir Aries. Hati Aries berdebar lebih cepat, merasa semakin cemas. Sesuatu tidak beres di sini.

Tiba-tiba, Vincenzo menoleh, seolah-olah merasakan keberadaannya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, pria itu tersenyum samar. "Aries, bukan?" tanya Vincenzo dengan suara rendah, namun sangat jelas.

Aries terkejut. Ia mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang, namun jantungnya berdegup lebih keras. "Bagaimana dia tahu namaku?" pikirnya, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan.

“Vincenzo,” jawab Aries, suaranya tetap terkendali meski dalam hatinya ada badai yang sedang melanda. “Ternyata, kalian banyak tahu tentangku.”

Vincenzo tertawa pelan, matanya tidak melepaskan pandangan dari Aries. “Kami tahu banyak hal, Aries. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik bayang-bayang Rosverna. Termasuk keluarga kalian.”

Aries menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Vincenzo terasa berat, seolah membuka pintu ke dunia yang lebih dalam dan lebih berbahaya. "Keluargaku..." Ia merasa ada yang salah. Segalanya semakin mendalam, dan ia terjebak dalam permainan yang lebih besar dari yang ia kira.

Ia memalingkan wajah sejenak, menenangkan diri. Tapi saat itu juga, ia tahu satu hal, perjalanan ini tidak bisa berhenti. “Aku harus tahu lebih banyak. Semua ini tidak hanya tentang ayahku. Ini lebih besar dari itu.”

Dengan langkah tenang, Aries mundur perlahan dari meja itu, tetap menjaga jarak. Satu hal yang ia yakini: dunia yang ia coba pahami ini penuh dengan kebohongan yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Dunia politik Rosverna bukanlah dunia yang bisa dikuasai dengan mudah. Tetapi Aries tidak akan mundur. Tidak lagi.

"Aku akan menemukan kebenarannya, apapun yang terjadi."

Sementara itu di Daevara, Lee Soo berjalan di lorong asrama yang sunyi, hanya ditemani oleh langkah-langkahnya yang berat dan gema suara lantai kayu yang berderak. Udara malam terasa dingin, menyelinap masuk melalui jendela terbuka di ujung koridor. Meskipun dunia di luar sana penuh dengan kehidupan, dalam asrama ini, Lee Soo merasa terperangkap dalam sebuah ruang hampa sebuah ruang yang penuh dengan suara dan bayangan yang tak pernah ia kenali.

Sejak pertama kali melangkah ke sekolah seni ini, Lee Soo tahu bahwa ia bukan bagian dari dunia ini. Tidak seperti siswa lainnya yang bersemangat dan penuh ambisi, ia lebih memilih untuk mengamati dari jauh. Ia lebih senang menggambar wajah orang-orang yang ia temui, mengingat setiap detail mereka dengan tajam hidung, bibir, mata setiap garis seakan berbicara kepadanya. Dunia nyata tampak terlalu berisik, terlalu penuh dengan ekspektasi. Ia lebih suka bersembunyi di balik gambar-gambar itu.

Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa gelisah yang tak bisa ia hilangkan. "Ada yang tidak beres," gumamnya dalam hati saat ia melangkah melewati pintu kamar asramanya.

Ia merasa ada mata yang mengikutinya. Tidak ada yang bisa ia lihat, tetapi perasaan itu semakin kuat. Seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dengan cemas, Lee Soo menutup pintu kamarnya dengan lembut, memastikan tidak ada suara yang terlalu keras. Matanya melintas pada lemari kayu besar di sudut ruangan, dan tiba-tiba ia merasa dorongan kuat untuk memeriksanya.

Dengan hati-hati, ia mendekati lemari itu. "Apa yang sedang terjadi?" pikirnya, tangan kirinya sudah menggapai gagang lemari. Ketika pintu lemari terbuka, tidak ada yang aneh di dalamnya. Namun, ketika matanya menyusuri bagian bawah lemari, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti sejenak. Di bawahnya, tersembunyi sebuah kamera kecil, sangat tersembunyi, seakan tak ingin ditemukan.

Lee Soo merasakan darahnya mulai berdesir cepat. "Ini… ini bukan kebetulan," pikirnya, mengamati kamera itu dengan seksama. Kamera itu kecil, hampir tak terlihat, dengan lensa yang mengarah langsung ke tempat tidurnya. Ada perasaan tak nyaman yang semakin menggelayuti dirinya. Kenapa kamera ini ada di sini? Siapa yang memasangnya?

Dengan gerakan cepat, ia menarik kamera itu keluar dari tempat persembunyiannya dan memeriksanya lebih dekat. Ketika ia mengamati kabel-kabel yang terhubung, ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan: kamera ini tidak berdiri sendiri. Ada sebuah sistem yang lebih besar, sebuah jaringan pengawasan yang tersembunyi di seluruh asrama. Lee Soo merasa seolah dunia di sekitarnya mulai runtuh.

"Aku… sedang diawasi?" pikirnya, mulutnya kering. Ia merasa seperti seekor tikus yang terjebak dalam perangkap yang tak terlihat. Jaringan ini tidak hanya mengawasinya, tetapi juga mengawasi setiap siswa di asrama. Setiap langkah, setiap gerakan, setiap kata yang keluar dari mulut mereka.

Hatinya berdegup cepat. "Siapa yang melakukan ini? Apa tujuannya?" Lee Soo menutup kamera itu dengan cepat, namun gelombang kecemasan terus menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa tidak ada jalan mundur. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya.

Sebelum ia bisa merenung lebih jauh, matanya teralihkan pada lemari besar yang ada di sisi lain ruangan. Pintu lemari itu tidak tertutup rapat, dan dari celahnya, Lee Soo bisa melihat sedikit cahaya. Langkahnya semakin cepat, dan tanpa berpikir panjang, ia mendekat.

Ia membuka pintu lemari dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat sebuah pintu tersembunyi, tersembunyi di balik rak buku. Dengan cepat, Lee Soo membuka pintu itu. Di baliknya, ada tangga gelap yang menuju ke bawah tanah. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke dalam.

Setiap langkahnya di tangga itu terasa semakin berat, seakan ia sedang memasuki dunia yang sama sekali berbeda. "Ini bukan hanya soal pengawasan. Ini lebih besar dari itu."

Ia tiba di ruang bawah tanah yang terbengkalai, dan aroma lembap serta udara dingin langsung menyergapnya. Ruang itu penuh dengan rak-rak yang berdebu, dan di sudut ruangan, ada sebuah meja besar dengan beberapa layar komputer yang berkelap-kelip.

Lee Soo mendekat dan mulai memeriksa layar-layar itu. Apa yang ia temukan membuatnya terkejut. Rekaman-rekaman siswa sedang dipantau—semua pergerakan mereka terekam dengan jelas, setiap senyum, setiap gerakan. Bukan hanya itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi: para siswa ini tidak hanya diperhatikan karena bakat seni mereka. Mereka menjadi bagian dari percobaan yang lebih besar.

"Aku tidak percaya ini," pikir Lee Soo, mulutnya terasa kering. "Mereka… mereka menganggap kami seperti objek percobaan?"

Ia merasakan gelombang marah yang tiba-tiba muncul. Setiap orang yang ia temui di sekolah ini, semua siswa yang bekerja keras untuk mengejar impian mereka, ternyata hanya dilihat sebagai bahan eksperimen. "Aku tidak bisa tinggal di sini lagi."

Tanpa ragu, ia menarik kabel-kabel dari komputer itu, menghancurkan bukti yang mungkin bisa mengaitkannya dengan jaringan ini. Namun, ia tahu itu tidak akan cukup. Ini lebih dari sekadar menghancurkan rekaman. Ini adalah tentang bertahan hidup.

Lee Soo merapikan kembali ruang itu dan dengan hati-hati menutup pintu ruang bawah tanah. Ia tahu satu hal dengan pasti: dunia yang selama ini ia kenal sudah berubah. Ia tidak bisa lagi menjadi siswa biasa. Ia harus melarikan diri, menghilang dari pandangan semua orang. Dunia luar adalah tempat yang penuh kebohongan, dan ia tidak akan terjebak dalam permainan ini.

Dengan langkah mantap, Lee Soo meninggalkan sekolah seni itu tanpa jejak. Kini, ia bukan hanya seorang siswa biasa, tetapi seseorang yang mengetahui lebih banyak daripada yang seharusnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel