Episode 1
Rere melompat, kakinya meluncur di atas atap rumah yang sempit. Langit Selvaran senja, merah membara, seolah memberi jalan baginya. Dengan kelincahan yang hampir tak terlihat, ia mendarat dengan ringan di ujung genteng. Tanpa suara. Ia membungkukkan badan, menatap ke bawah, lalu melirik jalanan di bawah sana. Semua tampak begitu kecil dari atas.
“Semua selalu lebih kecil dari sini,” gumamnya pelan, suara seperti desah angin yang berlalu. Sudah berulang kali ia merasakan kebebasan ini—berlari di atas atap, menghindari batasan dunia yang terlalu padat. Ia tersenyum tipis. Tubuh mungilnya menyatu dengan langit dan kota yang tak pernah tidur.
Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan belakangan ini. Sesuatu yang mengusik pikirannya. Matanya memicing saat mendengar langkah kaki di belakangnya. Cepat sekali. Bukan suara yang biasa ia dengar. Suara itu menggetarkan dinding. Suara yang salah.
"Ada yang mengikutiku."
Rere membalikkan badan dengan gerakan halus, matanya tajam mengawasi bayangan yang bergerak cepat di bawah sana. Dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya lampu jalanan yang bersinar redup, memantulkan bayangan panjang dari tubuhnya.
"Mana mungkin," ia berbisik pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang mulai berdebar lebih cepat dari biasanya.
Sebelum melanjutkan, ia menundukkan kepala. Jari-jari tangannya bergetar sejenak. Seperti ada yang menekan dadanya. Tapi ia mengabaikannya. Rere menganggapnya sebagai kegelisahan biasa. Atau mungkin hanya angin yang berbisik lewat. Ia melompat lagi, menghindari kecurigaan yang mulai merayap di dalam hati.
Sesampainya di atap rumah berikutnya, Rere mengeluarkan sebuah paket kecil dari ransel yang selalu ia bawa. Sudah menjadi rutinitasnya, mengantarkan paket-paket aneh ini. Beberapa hari lalu, paketnya berisi buku-buku tua yang tampaknya tanpa arti. Hari ini, ia tidak tahu isinya. Tapi ia yakin, ini adalah bagian dari pekerjaan serabutan yang ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sesuatu yang ia lakukan dengan cepat dan tanpa banyak berpikir.
Namun, firasatnya berkata lain. Ia merasa ada mata yang mengawasi. Berulang kali.
“Rere, kamu gila kalau terus begini. Jangan terlalu percaya diri,” bisiknya pada diri sendiri, meski hati kecilnya menolak untuk mengakui adanya ketakutan.
Ia melangkah dengan cepat, menyusuri gang sempit di bawahnya. Suara sepatu yang beradu dengan beton menjadi satu-satunya irama yang terdengar. Tapi, tiba-tiba ada suara lain—dengan cepat, seperti desahan napas seseorang yang terengah-engah.
Rere berhenti. “Siapa itu?”
Pikirannya berputar, mencari jawaban. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya, tubuhnya terbungkus keringat. Mungkinkah seseorang sedang mengikutinya? Apakah ini saatnya berhenti?
Namun, keinginan untuk melanjutkan selalu lebih kuat. Dengan gesit, ia meloncat ke sisi gang lain, bergerak seperti bayangan, tak terdeteksi.
Dini hari, langit Selvaran masih gelap, dengan hanya sisa-sisa cahaya dari lampu neon yang berkedip-kedip di ujung gang. Rere berdiri di depan halte kosong. Matanya melirik ke sekelilingnya. Semua tampak tenang. Terlalu tenang. Suasana ini semakin mengganggunya.
Di ujung tangannya, sebuah paket kecil yang kembali harus diantarkan ke tempat yang entah di mana. Suatu tempat yang tak pernah ia datangi sebelumnya.
“Jika aku tidak menemukan apa-apa di sini, aku akan berhenti,” kata Rere dalam hati, meskipun bagian lain dari dirinya merasa ragu. Sesuatu di dalamnya seperti berbisik "jangan pergi."
Tiba-tiba, suara klik terdengar. Seperti suara kamera, dan seolah-olah menggema di sepanjang lorong gelap. Rere memutar tubuhnya dengan sigap, matanya mencari sumber suara itu. “Siapa di sana?!”
Di balik bayangan tiang halte, tampak sebuah sosok samar. Rere merasakan jantungnya berpacu lebih cepat, bahkan lebih cepat dari kecepatan yang biasa ia kenal.
“Cuma saya,” suara itu datang dari balik kegelapan. Seorang pria, mengenakan jaket hitam, wajahnya tertutup topi.
Rere meneguk ludah. Matanya mengerjap tajam. “Apa maksudmu dengan foto itu?”
Pria itu hanya tersenyum tipis, tak mengeluarkan suara lain. Rere tidak tahu apakah senyum itu bermakna bahaya atau hanya sekadar kebetulan. Tapi ia tahu satu hal—ini bukan pertemuan biasa.
“Jangan khawatir. Foto itu hanya untuk keperluan... pengawasan.” Pria itu berkata dengan santai, seolah-olah tidak ada yang aneh.
“Pengawasan?” Rere mengernyit, keringat mulai mengalir dari pelipisnya. “Siapa kamu?”
Dia hanya tersenyum lagi. “Seseorang yang mungkin tahu lebih banyak daripada yang kamu kira.” Dengan gerakan cepat, pria itu menghilang, seolah menyatu dengan bayangan malam.
Rere terdiam. Apa yang baru saja terjadi?
“Ini tidak ada hubungannya dengan fisika...” gumamnya, berusaha menenangkan dirinya. “Atau mungkin... ini eksperimen baru?”
Namun, jauh di dalam hati, Rere merasa ada sesuatu yang lebih gelap dari yang bisa dia bayangkan. Dan Selvaran, yang selalu menjadi rumahnya, kini terasa lebih asing dari sebelumnya.
Beralih ke Virelya, seperti kota lainnya, memiliki dua wajah. Saat matahari terbenam, wajah yang cerah dan riuh berganti menjadi suram dan penuh bayangan. Begitu juga Acha. Di luar, di dunia nyata, ia adalah gadis sekolah biasa. Tapi malam ini, ketika lampu-lampu jalan menyala kekuningan dan bayangan bangunan tua mulai merayap, Acha berubah.
Ia duduk di meja kayu kecil di kamar sempitnya yang hanya diterangi oleh cahaya biru dari layar komputer. Rambutnya yang panjang tergerai acak, matanya menatap layar dengan intensitas yang luar biasa. Seperti biasa, headphone besar menutupi telinganya, melindunginya dari suara-suara dunia luar. Ketika sejenak ia menekan tombol pada keyboard, ada sensasi dingin yang merayap di sepanjang tangannya. Ia memulai serangan lain.
“let's get started ,” gumamnya pelan, jari-jarinya bergerak cepat, seolah-olah ia berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri dan mesin.
Hidupnya dua kali lipat—siang hari ia menjadi Acha, gadis biasa dengan seragam sekolah, namun ketika malam tiba, ia menghilang ke dunia maya, menjadi entitas yang tak terdeteksi. Dalam dunia digital, ia bebas. Ia bisa menjadi siapa saja, melakukan apa saja. Tidak ada yang tahu siapa dirinya, atau betapa tajamnya pikirannya. Tidak ada yang tahu betapa ia telah menyelami dunia yang lebih gelap dari yang bisa dibayangkan kebanyakan orang.
Matanya beralih ke jendela, menatap garis langit yang mulai gelap, sedikit terlambat melihat senja yang telah hilang. Ia menarik napas panjang dan kembali fokus pada layar. Kali ini, ia membobol sistem yang lebih rumit dari biasanya. Lapisan-lapisan enkripsi yang tidak biasa, seperti labirin yang membawanya semakin jauh. "Kenapa ini terasa berbeda?" pikirnya, cemas.
Sementara itu, di dalam dirinya, Acha merasakan keheningan yang aneh. Jari-jarinya meluncur di atas keyboard, namun ada ketegangan di udara. Sistem yang ia akses bukan sembarang basis data. Ia tahu itu. Bahkan, algoritma yang ada terasa lebih berat, lebih terstruktur, seolah-olah dirancang untuk tidak hanya melindungi data, tetapi untuk menjebak.
"Ini bukan hanya korporasi biasa," bisiknya pelan. "Ada sesuatu yang lebih besar di sini."
Dengan setiap klik, ia semakin dalam menjelajahi jaringan yang membingungkan itu. Bagian dalam dirinya bertanya-tanya apakah ia sedang melakukan hal yang benar. Seharusnya ia hanya membela yang lemah, memberikan keadilan pada dunia yang gelap. Namun, ini lebih dari itu. Ini adalah pertaruhan besar.
Dan kemudian, ia menemukan sesuatu yang membuat tubuhnya kaku. Sebuah folder dengan label samar yang hampir tidak bisa dibaca. Instingnya mengatakan ini adalah sesuatu yang berbahaya, tapi rasa penasarannya lebih besar. Tanpa berpikir panjang, ia membuka folder itu.
"Ini apa?" Acha bergumam pada dirinya sendiri. Lalu matanya terbeliak.
Di dalam folder itu, ada informasi yang sangat terperinci—laporan-laporan yang mengungkapkan aktivitas intelijen. Acha menelan ludahnya, seolah seluruh udara di ruangan itu menjadi berat. Itu bukan hanya data—ini adalah informasi milik ZIC.
“Apa yang baru saja aku lakukan?” pikirnya, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya sudah terlambat. Deteksi langsung muncul di layar komputernya. Peringatan. Kode warna merah menyala dengan cepat, seolah mengingatkannya akan bahaya yang sedang menghampiri. Sistem terdeteksi!
Ia buru-buru menekan beberapa tombol, mencoba menutup semua file, menutupi jejak digitalnya. Tapi sudah terlambat. Lokasi IP-nya sudah terdeteksi. Tanda-tanda serangan balik mulai muncul.
“Shit... mereka tahu!” suara Acha bergetar di dalam hatinya, meskipun ia berusaha menahan kegelisahannya. Ia menggigit bibir bawah, matanya melotot, merasakan ketegangan yang tak bisa lagi ia abaikan.
Tangan kirinya menggapai mouse, namun tak ada yang bisa dilakukan. Server pusat sudah mulai melacaknya, meski ia sudah menggunakan beberapa lapisan proxy yang seharusnya aman. "Kenapa aku terlalu jauh?" pikirnya, perasaan cemas menyelimuti dirinya. Ia sudah terlalu dalam, masuk ke wilayah yang seharusnya tidak ia jelajahi.
Peringatan itu semakin keras terdengar, dan tiba-tiba layar komputernya menjadi gelap. Hanya ada satu pesan yang muncul di layar utama.
"Anda telah memasuki area terlarang."
Acha menatap layar itu, merasa seperti sesuatu yang besar akan menghancurkannya. Lalu ia tersadar. Sebuah pikiran datang begitu saja, melesat seperti petir—di balik kode-kode ini, ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan ia tak bisa bayangkan.
Tapi tiba-tiba, ada suara ketukan pelan dari pintu kamar.
"Acha?" suara ibunya terdengar dari luar. “Ada apa?”
Jantung Acha berdegup cepat. Tanpa menunggu lama, ia cepat-cepat menutup laptopnya, mencoba menyembunyikan dunia digitalnya yang gelap.
"I-ya, Bu, sebentar!" Acha menjawab, berusaha menenangkan suara yang tercekat di tenggorokannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Suara ibunya semakin dekat, namun Acha tahu—ini bukan sekadar kebetulan. Dia telah melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar peretasan biasa. Dunia ganda yang selama ini ia jalani, kini mulai pecah. Dunia nyata dan dunia maya bersilangan dengan cara yang tak terduga. Ia sudah melintasi batas yang tidak bisa ia balikkan.
Setelah pintu terbuka, Acha tersenyum tipis. “Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya merasa lelah.” Matanya terlihat cemas, namun ia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang.
