Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

HAPPY READING

***

Sophia melirik Leon, pria itu sedang memanuver mobil. Jujur ia memiliki kesenangan tersendiri sama pria yang sedang menyetir mobil. Bukan karena ia matre karena pria di sampingnya ini menggunakan mobil mewah, no big no. Hanya saja kalau pria menyetir mobil, kelihatan lebih kalem, tenang dan keren. Menurutnya titik terganteng pria itu saat menyetir mobil. Apalagi mengenakan jam tangan, dengan meja tergulung.

“Makasih ya, sudah di kenalin sama keluarga kamu,” ucap Sophia membuka topik pembicaraan.

Oscar tersenyum, ia melirik Sophia yang berada di sampingnya, “Aku nggak percaya kalau keluarga aku se-welcome ini sama kamu.”

“Emang sebelumnya enggak pernah yang nggak welcome?” Tanya Sophia.

“Welcome juga. Hanya saja kalau dulu wanita yang dekat dengan aku itu, yah sebatas di kenalin sama orang tua, temen rekan bisnis mama, atau papa. Kalau cocok ya berlanjut, pacaran beberapa bulan dan putus, yaudah gitu aja. Kalau sampe lama itu nggak pernah. Kamu satu-satunya wanita yang aku perkenalkan tanpa adanya ikatan rekan bisnis orang tua.”

“Apa alasan kalian putus?”

“Banyak, awalnya cocok-cocok aja, tapi lama kelamaan, udah beda pendapat. Aku mencoba memahami pendapatnya, but, dia nggak memahami pendapat aku. Well, jadinya nggak sehati, kalau debat terus menerus seperti itu. Aku sering berpikir, kenapa dia berpikir seperti itu? Beda pandangan dan beda ekspetasi itu menyakitkan. Kadang kita nggak bisa ngungkapin kalau itu keinginan kita.”

“Iya, kamu bener sih. Dulu aku juga pernah pacaran tipe seperti itu. Mereasa cocok, dia menarik, dia pintar, dia bisa ngobrol tentang apa saja, mapan. Hanya karena ada di dalam lubuk hati merasa tidak cocok, yah nggak bisa di paksa. Secapek apapun kita setiap bertemu dengannya merasa recharger. Bayangkan, justru energy habis terkuras sama dia.”

“Exactly.”

“Konsep kalau cocok itu, seperti kamu menemukan seseorang yang menarik bagi kamu, walau terkadang dia bukan tipe kamu bahkan berlawanan dengan kamu. Kamu sadar kalau dia nggak sempurna, banyak kekurangan yang bisa kamu lihat. Tapi sebanyak apapun kekurangannya dan kamu merasa bisa menerimanya. Dan kamu bisa menerima kekurangan itu, kamu merasa bisa menerimanya tanpa syarat, tanpa harapan, kamu bisa memaklumi kekurangannya.”

“Yang penting, kamu dan dia sehati, sepemikiran, satu visi, bukan berati tanpa debat seperti itu. Kamu mengerti jalan pikirannya, walau kamu nggak setuju dengan pendapatnya. Pastinya kamu dan dia merasa bahagia, dan recharge energy saat bersama. Kamu merasa nggak pernah bosan walau bertemu setiap hari. Dia adalah jodoh kamu.”

“Aku setuju dengan pendapat kamu,” ucap Leon.

Sophia tersenyum, “Ada yang bilang kalau jodoh itu dipermudah, dilancarkan. Tapi, aku nggak menganut paham itu, karena perjalanan jodoh nggak selancar dan semudah itu.”

“Kamu pernah denger nggak, kata Warren Buffet, kesuksesan itu ditentukan dengan siapa anda menikah?”

“Belum.”

“Warren Buffet itu investor handal dunia, memberikan advice, bahwa memilih pasangan yang tepat akan mentukan kesuksesan hidup anda.”

“Terus.”

“Menurut aku ada benernya sih, salah satunya ada pria sukses karirnya setelah menikah, ada pula sebaliknya. Suami beruntung mendapat istri yang pandai memanejemen keuangan, bisa menabung, berinvestasi. Maka kita perlu berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, karena ia bisa jadi aset dan leverage kebaikan atau sebaliknya, jadi liabilitas yang menekan batin.”

“Ada yang cocok dijadikan teman dekat, tapi nggak cocok dijadikan suami atau istri. Ada yang pantas dijadikan pasangan hidup, jadi jangan salah pilih pasangan.”

“Setuju sih sama kamu,” ucap Sophia terkekeh.

Leon melirik Sophia, “Kamu mau menikah?” Tanya Leon.

Sophia tertawa, “Masih belum kepikiran hingga saat ini.”

“Enggak salamanya kan, kamu sendiri?”

“Iya, sih, cuma aku masih belum kepikiran aja. Kamu sudah kepikiran mau menikah.”

Leon tertawa, “Ya, tentu saja. Kalau ada yang sehati dengan aku, memiliki visi dan misi yang sama. Cepat atau lambat aku akan melamarnya.”

“Semoga saja kamu dapat yang terbaik sesuai dengan keinginan kamu.”

“Kamu nggak mau sama aku?” Tanya Leon to the point.

Sophia lalu menoleh menatap Leon. Leon menghentikan mobilnya di lampu merah, mereka saling menatap satu sama lain. Ia masih dengan pilihannya, tidak ingin menikah. Sejak beberapa tahun yang lalu ia mulai berhenti mencari pasangan hidup atau jodoh. Selain itu ia menolak jodoh dari orang lain ataupun teman.

Ia sudah mengambil keputusan yang bulat jika tidak akan menikah dan menjalin sebuah hubungan dengan pria. Bukan karena alasan dirinya tidak mapan, insecure ataupun lainnya. Sebagai seorang wanita ia cukup mapan secara finansial, memiliki pekerjaa yang layak, memiliki tempat praktek sendiri, tempat tinggal dilingkungan high sosial, otomatis banyak dapat lampu hijau dari orang tua.

Alasannya melajang seumur hidup itu pilihannya, sehingga otomatis menutup hati bagi siapapun karena sudah muak menjalani hubungan percintaan dan tidak ingin mengisik kebebasannya. Selama ini ia tidak memperhatikan siapa prianya, mau itu dia good looking dan pekerjaanya mapan.

Ia dalam kondisi ini karena sudah nyaman hidup sendiri dalam kondisi mapan secara finansial. Jika ingin liburan, ia bisa bebas pergi membeli tiket pesawat dengan negara mana yang akan ia tuju, tanpa meminta pendapat pasangannya. Ia juga tak jarang staycation sendiri di hotel bintang lima, hanya ingin membawa novel kesayangan dan nonton Netflix seharian.

Ia tidak ingin memiliki beban pikiran mengurus suami dan anak. Baginya optimalisasi eksistensi diri sendiri jauh lebih penting dari pada menjalin hubungan dengan orang lain yang hanya menguras pikiran saja. Mungkin orang lain tidak tahu, bahwa dirinya bergabung dengan club orang-orang mati dalam kondisi lajang.

“Leon.”

“Iya.”

“I don't want to get married.”

“That's the problem,” ucap Leon.

Leon menarik nafas, ia melirik Sophia, “Aku ingin menikah dan kamu nggak ingin menikah.”

“But, I have a reason.”

“I know, aku nggak akan mengusik apapun pilihan hidup kamu. Aku menghargai pilihan kamu. Mau sendiri atau berdua asal sama-sama bertanggung jawab, rasanya bukan suatu masalah yang harus dirubetin,” gumam Leon.

Leon kembali menjalankan mobilnya, ia tahu sejak awal Sophia enggan ingin menikah, terlepas dari keluarga broken home dan pikiran-pikiran yang mempengaruhi dia ingin melajang seumur hidup. Ia tahu bahwa jatuh cinta itu pertaruhannya besar, beruntung kalau bertemu yang tepat, jadinya sangat manis. Ia juga tahu jika masuk ke dalam pernikahan, cinta saja tidak cukup untuk membangun itu semua.

“Why?” Tanya Leon.

“Aku nggak ingin menikah mungkin karena merasa diri sendiri hanya dimiliki oleh diri. Jujur aku merasa déjà vu, yang berpikiran semua pria yang kepribadian idaman ala-ala fairy tale, setelah mendapatkan aku lalu, aku di tinggalkan begitu saja. Aku merasa seperti di campakan.”

“Jujur aku nggak butuh status, aku nggak butuh uang pria, aku perempuan memang sangat suka diperhatikan dan merasa disayang. Minimal pria itu menunjukan kasih sayangnya. Mungkin kamu menganggap aku sangat rumit. Tapi aku beneran belum kepikiran buat nikah, walau umur aku sekarang sudah 30 tahun.”

“Aku berjalan dengan sendiri tanpa ada disakiti oleh harapan-harapan konyol. Aku punya impian sendiri tanpa pasangan forever. Aku bilang pada diri sendiri bahwa aku nggak akan mau berhubungan serius dengan laki-laki manapun.”

“Termasuk aku?”

Sophia mengangguk, “Iya. Aku senang, kamu memperkenalkan aku dengan keluarga kamu. Aku juga bangga bisa berada di samping kamu, aku merasa seperti wanita special berada satu meja sama kamu tadi.”

Mobil Leon akhirnya tiba di apartemen Kemang Village, mereka sudah berada di lobby. Leon menatap Sophia. Ia pandangi iris mata bening itu.

“Sophia.”

“Iya.”

“Ada yang mau aku sampaikan kepada kamu,” ucap Leon sebelum Sophia keluar dari mobilnya.

“Apa?” Tanya Sophia.

“Tidak ada salahnya, kamu memilih single dan tidak ingin menikah. Apabila itu membuat kamu bahagia lahir batin. Tetapi apabila kamu mengeraskan hati tidak menerima pasangan dalam hidup kamu padahal kamu sendiri tidak bahagia sepenuhnya. Aku sarankan untuk konseling ke psikolog, karena setelah aku perhatikan ucapan kamu, sepertinya kamu dipenuhi bayang-bayang ketakutan untuk berpasangan.”

“Aku ingin kamu bahagia, terlepas dari keputusan apa yang ada di dalam kepala kamu.”

Leon menarik nafas, ia menatap Sophia cukup serius, “Aku pikir ke konseling psikolog, nggak harus memiliki penyakit mental. Apabila kamu nggak bahagia seutuhnya, menceritakan semua yang ada di dalam pikiran kamu, konseling sangat membantu untuk healing.”

“Kamu harus tahu apa yang harus kamu perbaiki dalam diri kamu. Pernah mengalami kegagalan, mengapa tidak bahagia, lalu memilih sendiri.”

“Tapi Leon, aku sudah kebal urusan cinta-cintaan dengan lawan jenis, soalnya aku sudah menemukan tujuan-tujuan aku ketika menjadi single selamanya. Aku memasukan urusan percintaan itu nomor persekian.”

“Owh ya?”

“Yes. Kita memang berbeda pendapat dalam hal ini Leon.”

Leon menarik nafas nafas, ia menghidupkan lampu dasbor, ia sebenarnya tidakk percaya dengan ucapan Sophia bahwa dia bahagia dengan kesendiriannya. Wanita itu memalingkah wajahnya, lalu melepas sabuk pengaman.

Sophia menarik nafas, “Terima kasih atas undangan, aku sangat terkesan berkenalan dengan orang tua kamu. Kamu hati-hati di jalan,” ucap Sophia, ia hendak keluar dari mobil.

Leon melihat itu ia dengan cepat meraih pergelangan tangan Sophia, otomatis Sophia menoleh ke belakang, menatap Leon. Mereka saling terdiam beberapa detik.

“Ada apa?”

Leon mengalihkan tatapan ke arah bibir penuh Sophia, inginnya mengecup bibir itu lagi, agar wanita itu bisa mematahkan argumennya.

“Kamu akan tetap ingin menjadi single?”

“Iya,” ucap Sophia pelan, ia merasakan jemari Leon dipergelangan tangannya, ada perasaan gelisah dan tidak menentu.

“Yakin kamu masih ingin menjadi single?” Bisik Leon.

“Yes.”

“Why?”

“Single makes me happy.”

“You know, it's bullshit,” ucap Leon penuh penekanan.

“Yas sure, kalau nggak percaya yasudah,” Sophia bersikeras untuk melepaskan cekalan tangannya namun Leon menahannya.

“I want to kiss you,” bisik Leon.

Sophia tertegun mendengar kata Leon ingin menciumnya, sentuhan tangan Leon di kulitnya membuatnya merinding. Selama beberapa detik mereka saling berpandangannya, tangan itu terlepas, kemudian menutup pintu mobil yang terbuka olehnya. Sementara tangan kiri Leon mematikan lampu dasbor, hanya memberikan sedikit penerangan dari arah lobby.

Oh God, not now. Sophia tidak bisa berpikir jernih, kini bibir Leon sudah mendarat di bibirnya. Leon mengecup bibirnya dengan hati-hati. Ia hanya bergeming menikmati sentuhan bibir Leon, yang menghisap bibirnya. Ia masih terlalu shock, apa yang telah Leon lakukan. Ia memejamkan mata.

Leon melepas sabuk pangamannya, ia menarik pinggang Sophia merapat ketubuhnya hingga mereka tidak ada jarak lagi. Ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh Sophia di mana-mana. Ia memangut bibir itu, rasanya sangat pas di bibirnya.

Jujur ia merasa seperti pria bajingan yang sudah memaksa dirinya pada seorang wanita yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Ia menghisap bibir bawa itu secara bergantian. Namun dari pihak Sophia tidak membalas kecupannya.

Ia baru saja ingin menarik bibirnya dan meminta maaf, karena sudah lancang mencium tanpa seizinnya, namun sedetik kemudian ia merasakan Sophia membalas kecupannya. Oh God, balasan itu sangat perfect, ia dan Sophia pernah berciuman sebelumnya. Mungkin dulu penuh kehati-hatian, namun sekarang balasan itu sungguh sempurna.

Bibir mereka kini saling memangut satu sama lain, kecupan mereka sangat lembut, mereka sama sekali tanpa berkedip, karena tidak ingin satu kali terlewatkan setiap detiknya. Beberapa detik kemudian, seluruh kontrolnya hilang. Lumatan mereka ritmenya semakin cepat dan dalam.

Bibir mereka salin menghisap satu sama lain, memainkan lidah, lidah mereka membelit, dan bertukar saliva. Sophia melingkarkan tangannya di leher Leon. Tidak ada di antara mereka untuk melepas kecupannya. Mereka memainkan lidah dan mengeluarkan decapan pada bibir mereka keduanya. Gairah mereka meledak, tangan Leon aktif menyentuh tubuh Sophia.

Oh, sweet Jesus, tubuh Sophia terasa hangat, inginnya segera membawa tubuh Sophia ke ranjang sekarang juga. Ia ingin menyatukan semua partikel-partikel tubuhnya ke tubuh wanita ini. Ia ingin memeluk dan mencumbu Sophia semalaman.

Sophia membuka matanya, ia menatap Leon masih memangut bibirnya. Tatapannya agak kurang fokus selama beberapa detik. Mereka saling menatap satu sama lain, ia merasakan jemari Leon sudah mengelus paha dalamnya. Leon menunggu Sophia mengucapkan sesuatu, namun mereka sama-sama tidak bersuara.

Leon memangut bibir Sophia lagi, kali ini kecupannya semakin cepat seolah tidak ada hari esok. Mereka saling memangut satu sama lain dan tangan Leon aktif menyentuh paha semakin dalam. Sekian menit berlalu, pupil mata Sophia terbuka.

“Oh, my God,” ucapnya seketika dalam hati.

Entah apa yang ada di dalam pikiran Leon, ketika mereka berciuman tadi, seolah sudah mematahkan argumentasinya. Sophia dengan bersusah payah lalu melepaskan kecupannya, ia merasakan denyutan hebat pada tubuhnya ketika jemari Leon sudah berhasil menyentuh miliknya .

“Leon, stop,” ucap Sophia menahan Jemari Leon agar tidak meneruskannya.

Leon menatap Sophia, kini mereka sama-sama menetralkan nafas. Andai mereka ada di dalam kamar, mungkin saat ini posisi mereka sudah naked. Leon melepakan tangannya. Ia melihat iris mata Sophia, masih terbakar gairah.

“I don't want to apologize,” bisik Leon.

“We should be making love, right now,” ucap Leon lain.

“No, Leon, jangan lakukan itu,” ucap Sophia, ia menarik nafas panjang, dan merapikan dress nya, ia membuka hendel pintu otomatis lampu dasbor menyala.

“Why? Apa kamu tidak merasakan bagaimana kita tadi saling berciuman.”

“I know, tapi jangan lakukan itu. We just kiss.”

“Just kissing? What do you mean? Setelah aku dan kamu, sama-sama hilang control, lalu kamu mengatakan hanya ciuman.”

“I know, aku minta maaf kalau begitu. Aku harus masuk ke dalam,” ucap Sophia bergegas keluar dari mobil, kepalanya hampir pecah jika mereka sudah berciuman seperti tadi. Mereka sama-sama hilang control, bahkan saat ini bibirnya kebas, karena hisapan Leon yang terlalu lama. Ia tahu bahwa saat ini bibirnya bengkak.

Leon dengan cepat keluar dari mobil, menahan langkah Sophia masuk ke dalam.

“Sophia.”

“Apa lagi Leon?” Tanya Sophia.

“Pikirkan baik-baik ucapan aku tadi,” ucap Leon.

“Oh God,” ucap Sophia menutup wajahnya dengan tangan.

“Aku sudah merasakan bagaimana kamu mencium aku balik. Aku tahu kamu dan aku sama-sama ingin.”

“Aku tetap dengan pendirian aku Leon.”

“Enggak, aku nggak percaya dengan ucapan kamu. Kita barusan hampir melakukannya.”

Sophia menarik nafas, ia memberanikan diri menatap iris mata Leon, “Aku perlu istirahat,” ia kesal sama dirinya sendiri, kanapa ia sebodoh itu terlena dengan kecupan Leon.

“Good night, nanti aku hubungi kamu.”

Leon memandang Sophia masuk ke dalam lobby, ia menunggu hingga Sophia menghilang dari pandangannya. Setelah itu ia masuk ke dalam mobilnya lagi, ia bersandar sejenak, ia memejamkan mata beberapa detik. Ia bisa gila memikirkan Sophia.

Beberapa menit kemudian ia memanuver mobil lalu meninggalkan area tower apartemen. Ia menghidupkan audio mobil, melirik jam digital di sana menunjukan pukul 21.30 menit. Ia meraih ponsel di saku celananya, ia melihat nomor ponsel Sophia di sana. Ia memberikan pesan singkat pada wanita itu.

Leon : “Good night, Sophia.”

Tidak butuh lama, Sophia membalas pesan singkatnya.

Sophia : “Iya, sama-sama, Leon.”

Leon menyungging senyum, ia kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Ia masih teringat tentang kecupan mereka tadi. Ia tidak mengerti kenapa Sophia masih enggan ingin berpacaran apalagi menikah. Padahal secara keseluruhan Sophia memenuhi kriteria wanitanya. Semoga saja Sophia membuka hati untuk dirinya, agar mereka bisa bersama.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel