Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Restu Mary dan Ansel

Bab 1 Restu Mary dan Ansel

Lunar di malam hari sangat indah.

Sinar bulan purnama yang remang-remang memberi cahaya sejauh mata memandang. Lunaro Brown berdiri di atas sebuah batu datar, memindai sekeliling. Dia bisa menatap langit yang bersih tanpa awan, hanya sinar rembulan yang lembut seolah memandikannya dengan cahayanya yang sejuk.

Sinar bulan itu dingin, sinar matahari itu panas.

Aro ingat, ibunya mengatakan hal itu setiap dia hendak mengurungnya di lemari baja di rumahnya, sebagai dalih bahwa sinar yang dingin akan membuatnya sakit. Tapi itu di sebuah tempat ribuan kilometer dari Lunar, Mayfair. Negeri yang telah membesarkannya, dan kini dirindukannya.

“Kamu rindu Mayfair?”

Suara lembut itu, terdengar seperti kata perpisahan di telinga Aro. Dia menoleh dan mendapati ayah dan ibunya sudah berdiri di belakangnya.

Dia yakin mereka baru menapak batu datar tempatnya berdiri, baru saja. Karena Aro sejak tadi tidak mencium bau khas parfum mereka.

Semenjak Aro berada di Lunar, dia menyadari banyak hal sepele dalam hidupnya selama ini,

menjadi sesuatu yang penting saat ini. Banyak hal kecil yang semula tak pernah diindahkannya, kini menjadi sesuatu yang menajam dalam ingatannya.

Dia baru menyadari bahwa bau parfum ayah dan ibu angkatnya--Ansel Brown dan Mary Brown yang telah membesarkannya selama ini--adalah parfum yang aromanya sama sejak dia bayi. Mereka selalu memakainya dengan dosis sama dan tak pernah berubah selama tujuh belas tahun.

“Tentu saja, seperti aku akan merindukan kalian,” ucap Aro sembari mengembangkan tangan. Mary dan Ansel berada dalam pelukannya sejurus kemudian.

“Kurasa kami harus berpamitan sekarang,” bisik Mary sembari melepaskan pelukan Aro dan merapikan anak rambut pemuda itu, di telinganya. Rambut ikal pemuda itu sudah panjang melebihi telinga. Meski berubah wujud menjadi manusia setengah serigala, rambut ikal Aro masih bisa dikenali, bercampur dengan bulu-bulu panjangnya. Biasanya Mary akan sangat cerewet menyuruhnya untuk segera potong rambut. Sekarang, dia merasa bukan lagi haknya untuk meminta Aro melakukan hal itu.

“Kalian tidak ingin melihat aku diangkat menjadi Raja?” tanya Aro, keningnya mengerut kecewa. “Akan berbeda bila kamu diangkat menjadi Raja Britania,” seloroh Ansel, yang disambut senyum lebar Mary, “Kamu tahu, kami tidak menginginkan kamu pergi dari sisi kami."

Mary meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Aro.

“Takdir kami denganmu sudah selesai Aro. Membesarkanmu dan mengembalikanmu di tempat di mana kamu seharusnya berada. Tujuh belas tahun bersamamu, adalah momen terindah bagi kami. Tidak ada yang bisa memberikan kebahagiaan itu pada kami, selain kamu.”

Aro melihat sepasang mata ibunya membasah. Dia menyentuh air yang meluruh di pipi ibunya, dan menyadari bahwa jemarinya sudah berbulu dan bercakar. Seketika dia diingatkan betapa banyak momen yang sudah mereka lalui bersama, dan kini harus berpisah dengan wanita cantik dan lembut yang telah membesarkannya.

“Kenapa kalian mau mengangkatku? Bukankah aku selalu menyusahkan kalian? Setiap bulan purnama, aku tahu bagaimana kalian begitu kesulitan mengatur jadwal pengambilan gambar, agar bisa berada di rumah. Namun aku tetap saja menyusahkan, bukan?” tanya Aro, suaranya terasa parau. Dia yakin, wajahnya sudah mulai berubah. Menjadi berbulu dan bermoncong mengerikan. “Dan aku, tampak mengerikan setiap bulan purnama.”

Mary menggeleng. “Tidak sayang, jangan berkata seperti itu. Kami tak pernah menyesal telah mengambilmu dari tepi hutan. Dari kamu, kami banyak belajar bahwa seharusnya kami tidak mengambil yang bukan milik kami. Jadi, kami harus mengembalikan kamu. Namun, satu hal yang tidak pernah berubah, sampai kapan pun.”

“Apa itu, Mom?”

“Kami selalu mencintaimu.”

Aro menatap kedua manusia di hadapannya yang kini tampak lebih pendek darinya. Dadanya menghangat. Dia, dibesarkan oleh manusia dengan kasih sayang. Namun jasadnya tetaplah kutukan yang tidak bisa dilepaskannya begitu saja.

Mereka harus berpisah.

“Aku mencintai Mom dan Dad,” ucap Aro.

Ansel dan Mary tersenyum, lalu mereka berdua memeluk tubuh Aro yang kini telah berubah wujud menjadi manusia setengah serigala, Werewolf.

“Waktunya telah tiba.”

Ketiganya menoleh dan mendapati Kandee, werewolf lain dengan badan lebih tinggi dan kekar dari Aro, berdiri di belakang mereka.

“Sebaiknya kau diam, Kandee,” rungut Mary, “Sebentar lagi kami tidak akan bertemu lagi. Jadi biarkan kami melepas rindu sebelum pergi.”

Kandee menyeringai, namun tetap tegak di posisinya. Mary hanya membayangkan dia sedang tersenyum mengejeknya. Ansel menghampiri Kandee lalu menyentuh dadanya.

“Sabar sedikit, Bung. Kamu punya banyak waktu bersama anak kami setelah ini,” ucap Ansel

sembari mendongak dan menatap moncong Kandee yang lebih besar dari moncong Aro. Ansel mengernyit, memikirkan sesuatu. Bila semua wajah werewolf di Lunar ini sama,

bagaimana cara mengenali dan membedakannya? Ansel dan Mary, dalam menjalani profesinya mengambil film dokumentasi hewan liar, kerap dibuat kesulitan bila warna dan pola bulu hewan liar itu sama. Jadi mereka hanya bisa mengenali dengan alat deteksi dengan frekuensi tertentu yang dipasang dipasang di badan mereka. Dan memasang alat itu tentu saja tidak mudah. “Kandee, boleh aku tahu bagaimana cara kalian saling mengenal. Kami, manusia, mengenali dari wajah. Bagaimana dengan kalian? Bagaimana kalian mengenali Aro dan mencarinya sampai ke Mayfair?”

Kandee menyeringai.

“Lihat pipi anakmu.”

Ansel membalikkan badan dan melihat Mary masih asyik melepas rindu bersama Aro. Mary mengelus-elus moncong Aro. Dan Ansel bisa melihat tanda lahir Aro, masih berada di sana, tidak tertutup bulu.

“Tanda lahir itu?”

Kandee mengangguk. “Aku yang menandainya.”

Mary melepaskan pelukan terakhirnya pada putra kesayangan yang sudah mendampinginya selama tujuh belas tahun, memberinya kebahagiaan. Kini sudah cukup baginya, dan saatnya melepas Aro kembali ke kehidupan yang sebenarnya.

Mary menghibur diri, bahwa inilah kehidupan para ibu yang mulai menua. Anaknya akan meninggalkannya untuk mendapatkan kehidupannya sendiri. Dia hanya bisa mengenang cinta dan kasih sayang, dan sesekali berharap akan mendapat kunjungan.

Meski, pada Aro, Mary tak bisa berharap itu lagi. Aro akan menjadi Raja Lunar. Membawahi banyak klan manusia serigala dan setengah serigala. Menjadi penguasa hutan sebenarnya. “Aro, saatnya sudah tiba. Seperti biasa kamu selalu terlambat.”

Suara renyah itu adalah milik Luna. Malam ini, dia mendampingi Aro untuk diangkat menjadi Raja Lunar. Dia adalah penyihir yang sudah dilantik dan mampu menandingi sihir Kandee, jadi dia yang berhak mendampingi Aro.

Melihat Luna yang muncul dengan pakaian kebesaran, berupa kain hitam lebar yang melingkupi seluruh badannya, dan sebuah bandul kalung berbentuk bulan sabit--seketika hilang kesedihan di wajah Aro. Kesedihan karena akan berpisah dengan Mom and Dad terkasihnya. Karena dia harus mengikuti takdir yang sudah digariskan untuknya.

Dia yakin, bersama Luna di Lunar, tak akan membuatnya ingin kembali ke Mayfair. Luna adalah Mayfair-nya.

"What?" tanya Luna heran, karena dilihatnya Aro menyeringai ke arahnya. Di bawah sinar rembulan, Aro kelihatan gagah dan kekar.

"Pergilah Aro, Amber menunggu di bawah. Dia tidak bisa naik karena kakinya agak pincang," ucap Mary sembari memeluk lengan anaknya untuk terakhir kali.

Aro meletakkan tangannya di punggung tangan ibunya. Mary menarik leher Aro dan berbisik di

telinganya yang panjang, "Selamat ya Raja Hutan, ingat ada dua gadis cantik menantimu. Kamu bisa memilih salah satu atau keduanya. Kamu Raja, kamu bebas melakukan apa keinginanmu."

Aro tersenyum. Mary mengecup pipi berbulunya.

"Tidak ada wanita secantik Mom," balas Aro berbisik lalu menempelkan moncong bertaringnya di pipi ibunya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel