Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Dibawa Ke Rumah Sakit

Bab 11 Dibawa Ke Rumah Sakit

Ansel dan Mary berpelukan ketika Luna sudah melepaskan semua ikatan mereka.

“Terima kasih, Luna,” ucap Ansel, “Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?”

Luna menggeleng. “Tidak ada Tuan Brown. Hanya lecet sedikit, tapi tidak masalah.”

Luna mengibas remahan daun dan rumput kering yang mengotori bajunya. Mary membantunya memakaikan kembali bajunya.

“Maafkan kami, Luna. Kami sudah menempatkanmu dalam bahaya. Itulah kenapa sejak awal suamiku tidak mau kamu ikut. Di hutan, tidak hanya binatang yang buas. Manusia bisa lebih buas dari binatang.”

Luna tersenyum. “Tidak apa-apa, Nyonya Brown. Aku melakukannya demi Aro. Kita harus menemukannya dan membawanya pulang. Para pemburu itu tadi menendanginya. Dia pasti terluka.”

“Ayo kita ke sungai, kita harus menyelematkan Aro,” ujar Ansel, “Tapi kali ini, aku yang di depan. Tidak ada yang berlari mendahului aku. Paham?”

Ansel menatap Mary dan Luna bergantian. Dua wanita itu mengangguk. Kesalahan mereka sebelumnya adalah panik, dan spontan berlari menuju bahaya. Padahal kalau direncanakan lebih dulu, pasti tidak akan berakhir buruk seperti tadi.

“Meskipun ada teriakan atau raungan. Tetap di belakangku!” perintah Ansel.

“Kau tidak usah bilang dua kali, sayang,” ucap Mary sembari merapatkan tali sepatu botnya.

Mereka bertiga berjalan mengendap-endap, penuh kewaspadaan menuju sungai. Tidak terdengar suara apapun selain aliran sungari. Hutan ini begitu senyap seperti sebelumnya. Teriakan, raungan, dan geraman seolah tertelan di dalam hutan.

Mereka sampai di tepi sungai dan tidak mendapati apapun selain beruang yang terkapar dengan dada dan leher berdarah. Dan Aro yang terletak di sampingnya. Mengenakan pakaian yang sama dengan ketika dia melarikan diri, namun sudah dipenuhi lumpur dan cecerah darah.

“Aro, Lunaro! Bangun sayang. Aro!”

Mary memeluk Aro, dan menepuk-nepuk pipi anaknya. Tapi Aro tak membuka mata.

Ansel memeriksa Aro. “Dia masih hidup, tapi sepertinya kehilangan banyak darah. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”

Sementara Luna yang lega Aro sudah ditemukan, mengamati sekeliling. Tempat ini, seperti tempai pembantaian. Darah berceceran di mana-mana, juga senapan para pemburu. Tapi tak satupun pemburu ada di sana.

“Ke mana mereka?” tanya Luna pada Mary.

“Siapa?”

“Empat orang pemburu itu? Mereka meninggalkan senapannya. Bukankah tadi kita dengar suara tembakan? Apa yang mereka tembak?” tanya Luna sembari mengamati ceceran darah di tepi sungai.

“Mungkin hewan lain dan mereka mengejarnya,” sahut Mary, “kita harus segera membawa Aro ke rumah sakit, Luna. Kamu bisa membantu?”

Luna mengambil sesuatu dari tanah berlumpur, dan mengangkatnya ke udara.

“Ee... Tuan Brown? Apa ini?” Luna mengangkat benda panjang berwarna merah bercampur lumpur dan daun kering. Bersama benda itu ada dua bilah daging berwarna coklat dan songgok berwarna merah.

“Luna, lempar itu ke sungai!” perintah Ansel sembari melirik ke arah Mary. Mary membekap mulut, hendak muntah. Tapi ditahannya, hingga matanya berair.

Luna tidak melempar benda itu seusai perintah Ansel Brown. Malah mendekatkan ke wajahnya, memindainya dengan saksama. Ini seperti bagian organ tikus yang dibedahnya bersama Aro, tapi lebih besar dan ...

Bug! Plung!

Ansel memukul benda di tangan Luna hingga terlempar ke sungai. Luna melihat benda—apapun itu, tercebur ke sungai dan terbawa arus. Dilihatnya, tangannya penuh darah dan lumpur. Ansel lalu menggamit tangan gadis itu, mendekati Mary yang berusaha mengangkat tubuh Aro.

“Ayo, Luna. Bantu aku membuat tandu untuk mengangkat Aro!” perintah Ansel, “Ingat, tidak ada satupun yang ingat, apa pun yang ada di sini. Bila ada yang bertanya, hanya aku yang boleh menjawab. Kalian paham?”

Ansel sibuk mencari batang kayu untuk membuat tandu. Mereka tidak mungkin memanggul Aro keluar hutan, akan memakan waktu lama. Mary menatap Luna. Gadis itu hanya berdiri, menatap Aro tanpa ekspresi.

***

Pick up Ansel berhenti di depan Unit Gawat Darurat. Mary bergegas turun untuk memanggil petugas medis. Sejurus kemudian, dragbar pun dibawa petugas medis menuju pick up Ansel. Tiga orang petugas medis menyertai Mary.

Aro, berada di bak pick up. Berada di pangkuan Luna. Sepanjang perjalanan, Luna tak henti-hentinya berusaha membangunkan Aro dengan menepuk-nepuk pipi Aro dan memanggil-manggil namanya. Tapi Aro tak kunjung membuka mata. Luna semakin khawatir dan panik.

“Nona, turunlah. Biar kami bantu mengangkatnya,” ucap seorang petugas medis.

Dibantu Ansel, ketiga petugas medis itu menurunkan Aro dari bak pick up, dan meletakkan di dragbar. Ketiga petugas medis itu melihat tandu darurat buatan Ansel. Dari kayu-kayu yang masih segar, diikat dengan kulit kayu.

“Kalian dari mana?” tanya selah seorang petugas pada Luna.

Ansel memberi kode pada Luna, untuk diam. Luna menurut.

“Kami dari hutan. Anakku korban salah tembak pemburu liar,” ucap Aro sembari mengiringi dragbar itu menuju Unit Gawat Darurat. Mary mengikuti langkah suaminya. Namun ketika hendak masuk ke dalam ruangan, dia teringat pada Luna.

Luna berdiri mematung di dekat pickup, sembari memegang tengkuknya.

Luna mulai bertingkah agak aneh. Mary memahami, gadis itu pasti mengalami shock berat, karena tadi dia nyaris diperkosa para pemburu liar, yang sekarang entah ada di mana. Ansel sudah membawa senapan mereka semua dan menyembunyikan di bak pickup, bersama dengan jebakan rakitan yang sudah mereka bongkar.

Belum lagi, dia mengetahui bagaimana wujud Aro yang berubah menjadi mengerikan. Ini bukan hal yang mudah bagi seorang gadis seperti Luna.

Mary mendekat, lalu merapikan rambut gadis itu. “Luna, kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?”

Luna menggeleng. Tengkuknya terasa nyeri, entah kenapa. Seingatnya di hutan tadi, para pemburu itu tidak menyentuh bagian belakang lehernya, apalagi melukai. Hanya si Jangkung yang menyibak rambutnya dengan kasar.

Mary mengamati lengan Luna. Ada beberapa bagian yang lecet dan memar. Dia lalu menggamit lengan Luna hati-hati.

“Ayo kita obati lukamu. Ini tidak akan memakan waktu lama. Setelah selesai, aku akan mengantarmu pulang. Bagaimana?” tanya Mary lembut. Luna tidak mengangguk atau menggeleng. Dia diam saja ketika Mary menuntunnya menuju seorang perawat.

Lunaro—putra kesayangan Ansel dan Mary sedang mendapat penanganan di ruang tindakan. Ansel dan Mary menunggu di luar ruangan, memperhatikan Luna yang sedang dirawat lukanya. Gadis itu hanya diam, tatapannya kosong.

“Apa dia baik-baik saja?” bisik Ansel sembari merengkuh Mary yang tampak khawatir.

“Sepertinya dia shock berat, Ansel. Sejak di tepi sungai tadi, dia tidak bicara satu kata pun. Sebelum mengembalikan dia ke rumahnya, kita harus menangani traumanya.” ucap Mary.

“Kita harus bicara padanya, baik-baik,” kata Ansel.

“Biar aku saja yang bicara. Aku akan mengantarnya pulang, sekalian membereskan peralatan di pickup kita. Sepertinya, polisi akan turun tangan. Aku dengar tadi, perawat di depan sudah melapor ke polisi.”

“Oke, kamu yang menangani Luna. Aku yang berurusan dengan polisi.”

Mary menatap suaminya, lalu mereka berpelukan erat. Ansel mengira Mary akan menumpahkan air mata di dadanya. Nyatanya, perempuan itu hanya memeluknya erat seolah tak hendak melepaskannya. Dia berusaha untuk tangguh—di depan Luna.

Apa yang mereka alami hari ini benar-benar berat. Yang sangat mengerikan adalah ketika Luna memegang organ tubuh manusia yang tercerabut dari badan asalnya—entah siapa. Ansel yakin, itu milik salah seorang pemburu. Badannya entah di mana. Dan baik dia dan Mary, sudah bisa menduga bahwa itu adalah perbuatan Aro—anak mereka.

“Kita akan melalui semua ini. Apa aku benar, Ansel?”

“Kamu benar, Mary. Kita bersama-sama akan melalui semua ini. Aro akan kembali seperti semula.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel