Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kita Nikah?

Bab 2 Kita Nikah?

Susan bangun dari buaian mimpi, saat menangkap suara gaduh di luar kamar kekasihnya. Dengan tergesa-gesa dia berjalan mendekati pintu kamar untuk menguping apa yang terjadi di luar sana.

"Apa ini Chen? Tiba-tiba meminta uang untuk menikah dengan perempuan yang beretnis beda dengan kita?" Ibu Chen berbisik penuh tekanan pada anaknya, tapi sayangnya masih terdengar di telinga Susan.

Susan tidak berani keluar. Dia hanya dapat tercenung, sambil tetap berusaha mendengarkan pembicaraan kekasih juga ibu kekasihnya. Ternyata bukan hanya ibunya saja yang menentang rencana pernikahan ini, tapi ibu Chen juga melakukan hal yang sama. Lalu bagaimana nantinya hubungan mereka?

Daripada kembali menelan duri, Susan memilih kembali ke atas ranjang untuk menenggelamkan dirinya ke dalam kasur. Menutupi kepalanya dengan selimut yang menemaninya dari malam tadi.

Karena sedang sensitif-sensitifnya, cairan bening dari matanya kembali meluncur terjun bebas membasahi bantal. Susan tak kuasa untuk tidak meratapi dirinya sendiri. Dari 200 juta penduduk Indonesia yang berada dari ujung Sabang sampai Merauke, rasanya kenapa harus Susan yang mengalami hal seperti sekarang?

Susan terus meratapi nasibnya sendiri. Memikirkan pikiran terburuknya saat ini, tentang pernikahannya yang takkan terlaksana memupuskan harapan besar yang sudah lama mereka rancangan. Dia tidak mau melangkah turun dari ranjangnya. Biarlah Susan menyiapkan diri untuk mendengar penjelasan kekasihnya nanti. Jadi atau tidaknya mereka menikah, biarlah menjadi keputusan Chen.

Dua jam lamanya dia mendekam di dalam selimut, tanpa mau membukanya walau peluh membasahi tubuh. Terdengar seseorang masuk ke dalam. Dengan mata yang bengkak, kepalanya bertanya-tanya apakah itu Chen atau ibunya?

"Yang? Kamu masih belum bangun?" pertanyaan itu terdengar bertepatan dengan melesaknya kasur di pinggir badannya.

Susan ragu untuk menjawab. Antara mengatakan 'ya' atau lebih baik diam saja.

"Sayang, ayo bangun, aku sudah menyiapkan makanan," ucapnya lagi, kini sambil berusaha mengguncang tubuh kekasihnya itu.

"Apa, Ko? Aku sudah bangun kok," Akhirnya Susan mau keluar dari persembunyiannya, dengan mata bengkak yang membuat Chen terkejut.

Tangannya langsung mengusap mata kekasihnya itu. "Yang, kamu menangis dari semalam? Aku sudah bilang, anggap saja kejadian kemarin itu tidak pernah ada. Jangan dipikirkan lagi, lebih baik kita pikirkan hari pernikahan kita, ya?"

Bibirnya gatal ingin menanyakan perihal kedatangan orang tuanya tadi, tapi Susan terlalu takut jika Chen mengatakan apa yang tidak ingin didengarnya.

"Iya Ko. Ya sudah, aku ke kamar mandi dulu. Nanti menyusul ke meja makan."

Chen mengangguk lalu mengecup kening Susan sebelum keluar dari kamar.

Kekasihnya itu kenapa manis sekali? Membuat Susan tambah berharap untuk pernikahan mereka ke depannya, jika memang terjadi. Setelah Setelah menarik napas panjang, dia langsung menuju kamar mandi.

***

Sepasang kekasih itu tengah makan begitu tenangnya, dengan sajian yang cukup wah menurut Susan. Ada beberapa menu berbeda di atas meja. Dan sekali lagi, dia tidak banyak protes. Hanya ikut menikmati apa yang kekasihnya itu hidangkan.

"Ini makanan kesukaanku. Jadi kamu harus tahu, karena setelah menikah nanti aku ingin makan hasil tanganmu," ucap Chen, sambil menyendok makanannya.

"Ko, apa kita benar-benar akan menikah?" tanyanya kembali untuk memastikan.

Chen mengangguk yakin. "Iya. Kenapa memangnya? Kamu tidak percaya dengan apa yang aku putuskan?"

Susan menggeleng pelan. Menyangkal ucapan Chen. "Bukan begitu, tapi tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Koko dengan ibu Koko… sepertinya, beliau juga tidak setuju dengan rencana pernikahan ini."

Chen malah tertawa mendengarnya. "Aku tidak peduli dengan itu. Jika aku ingin menikah dan menghabiskan waktuku dengan mu, memangnya Mamiku bisa apa?"

Matanya kembali berair, masih tak percaya dengan apa yang Chen ucapkan. "Kamu yakin, Ko?"

Chen mengangguk dan tertawa renyah mendengar ketidakyakinan calon istrinya itu. "Sudah, setelah ini kita pergi keluar untuk mencari cincin kawin juga memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi di KUA. Kita tetap akan menikah Susan, kamu jangan khawatir dengan apapun. Aku ada di sini untukmu."

"Tapi aku tidak bisa memberikan pesta pernikahan untuk kita, Susan. Tidak apa-apa kan? Karena tujuan kita menikah untuk terikat dan tinggal bersama."

Susan mengangguk, setuju dengan apa yang Chen ucapkan. "Tidak apa-apa. Asal kita bisa hidup bersama, Ko."

Mereka tersenyum sambil berhadapan, memegang ucapannya masing-masing. Layaknya roll film, Susan seperti bisa melihat masa depan mereka berdua. Hidup dengan baik dan sejahtera bersama anak-anaknya nanti.

Tepat tengah hari, mereka keluar dari tempat tinggal Chen. Pergi ke pusat perbelanjaan untuk membelikan Susan cincin kawin juga seserahan seadanya. Mereka masuk kesebuah toko cincin, melihat-lihat apa ada yang cocok atau tidak.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sapa pelayan toko laki-laki dengan ramah.

Susan membalas senyuman itu tak kalah ramah. "Kami, ingin mencari cincin kawin.."

Pelayan itu mengangguk paham dan mengajak Susan juga Chen ke bagian cincin-cincin yang sering mereka rekomendasikan untuk para pasangan yang akan menikah. "Kami memiliki beberapa cincin kawin dengan bahan-bahan yang berbeda. Ada Emas, Platinum,Silver, Titanium, juga Palladium. Yang paling populer untuk cincin kawin laki-laki, biasanya mereka memilih cincin berbahan Titanium," pelayan tersebut mengeluarkan jenis cincin yang disebutkannya. "Cincin ini selain kuat dan populer di kalangan pria, juga salah satu logam yang anti-alergi. Jadi aman untuk orang yang alergi terhadap suatu logam."

Susan mengangguk paham sambil melihat design cincin tersebut. Sedang Chen, laki-laki itu terus diam setelah sang pelayan mengajak mereka ke bagian ini.

"Ko, menurut kamu bagaimana?"

Chen hanya memandang tak berminat cincin kawin itu dan mengangguk. "Yasudah, pilih saja itu."

Susan mengangguk, tidak memahami suasana hati kekasihnya itu. "Mas, bisa berikan cincin yang sama seperti ini untuk perempuan?"

Pelayan itu mengangguk dan kembali membuka etalase, untuk mengambil sebuah cincin bermodel pipih yang diinginkan Susan. Dia langsung mencobanya, dan memandang cincin di jari manisnya itu. "Ko, coba dulu cincinnya. Biar Masnya, bisa ukur."

Kembali, dengan malas Chen mengikuti kemauan Susan. Jika kebanyakan orang akan memasuki berbelas-belas toko untuk memilih cincin, Chen juga Susan langsung membeli cincin kawin mereka di toko pertama yang mereka datangi.

Chen langsung mengajak Susan keluar, saat sudah melunasi pembayaran. Dengan cepat, Chen membawa Susan masuk dan keluar dari toko-tokoyang menjual apa barang-barang yang Susan butuhkan.

Dia tidak suka saat harus berlama-lama di sebuah toko dengan pelayan laki-laki yang melayani kekasihnya itu. Karena itulah dia langsung down dan malas berbicara ini itu sedari tadi. Dan yang paling membuat emosinya semakin naik, kekasihnya itu tidak mengerti apa yang dirasakannya.

Selesai dari pusat perbelanjaan, mereka menyalin berkas-berkas yang diminta pihak KUA, juga melengkapi persyaratan-persyaratan yang perlu mereka penuhi.

Chen juga Susan tengah mengantri untuk pengambilan gambar yang akan ditempelkan di buku nikah mereka nantinya. "Sepertinya kita belum pernah foto berdua, Sayang. Kita foto berdua dulu, sebelum sah jadi suami istri."

Susan mengangguk dan tersenyum manis. Seorang fotografer yang bekerja di percetakan foto itu, memberikan sedikit arahan pada mereka berdua sebelum kemudian mengambil gambar Chen juga Susan dengan sudut yang baik.

"Ko, mau dibawa sekarang atau nanti?" tanya sang tukang foto sambil menunjukkan hasil bidikannya.

"Proses editingnya membutuhkan waktu berapa lama?" tanya Chen.

"Sesuai pilihan. Koko mau polos, atau edit sana-sini? Kalau polos, bisa ditunggu. Paling 10-20 menit. Hanya perlu mengatur pencahayaan dan sedikit dirapikan fotonya. Tapi kalau mau yang edit, paling tidak membutuhkan dua hari. Bagaimana?"

"Polos saja, kalau begitu," jawab Chen tanpa menanyakan persetujuan Susan.

Mereka menunggu di sana sambil membicarakan beberapa hal kecil untuk mengusir rasa bosan mereka. Hingga akhirnya foto merekapun selesai dicetak dan dirapikan dengan gunting.

"Kita pulang langsung, ya? Kamu sepertinya kelelahan. Ini biar aku antarkan besok ke KUA."

"Iya, Ko."

Mereka tinggal menunggu hari-H saja kali ini. Susan juga tidak percaya, kenapa persiapan menikah mereka begitu cepat? Tidak seperti orang lain yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memilih ini, memilih itu. Atau mungkin karena pernikahannya hanya akan digelar secara sederhana saja oleh karena itu semuanya juga terasa singkat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel