Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tiba di Kota Danau Hitam

Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu.

Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.

Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.

“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.

Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.

“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak bersahabat.

“Dari desa kecil di timur,” jawab Du Shen, suaranya tetap tenang meskipun tatapannya mulai tajam.

Penjaga itu tersenyum miring. “Orang asing harus membayar satu koin emas untuk masuk ke Kota Danau Hitam. Ini aturan baru,” ujarnya, nada suaranya penuh kelicikan.

Du Shen memiringkan kepalanya sedikit. “Satu koin emas? Bukankah sebelumnya hanya satu koin perak?” tanyanya dingin.

Penjaga itu terkekeh, matanya menyipit penuh tipu muslihat. “Kau pikir aku bercanda? Jika kau tak punya satu koin emas, enyahlah dari sini!” katanya sambil melambaikan tangan, menyuruh Du Shen pergi seperti mengusir anjing liar.

Du Shen tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia sudah muak dengan ulah para penjaga semacam ini. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Baiklah, aku akan bayar...” ucapnya, seolah menyerah. Ia merogoh saku jubahnya perlahan, menarik perhatian si penjaga yang kini menunggu dengan penuh harap.

Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penjaga itu berteriak marah. Du Shen bersin dengan keras, air liurnya tak sengaja—atau sengaja—terciprat mengenai wajah penjaga tersebut.

“Sialan kau! Apa-apaan ini?!” teriak si penjaga sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air liur Du Shen.

“M-maaf,” ucap Du Shen dengan nada polos yang hampir terdengar mengejek. “Cuacanya dingin, aku tak bisa menahannya.”

Penjaga itu menatap Du Shen dengan wajah kesal. “Dasar bocah kurang ajar! Kau pikir ini lucu? Cepat bayar satu koin emas,”

Du Shen buru-buru berkata, penuh kepura-puraan. "Tapi aku baru ingat kalau aku tak punya uang." ujar Du Shen dengan tampang polis yang dibuat-buatnya.

Si penjaga mendengus lagi, tangannya terkepal erat, "Kalau begitu bermimpilah untuk masuk kota." ucapnya dengan wajah mencemooh. "Pergi sana, atau aku akan men—" Kata-katanya terhenti.

Penjaga itu dengan sengaja menyentuh wajahnya yang tiba-tiba terasa panas dan gatal luar biasa. Ia menggaruk-garuk wajahnya dengan panik, tapi semakin digaruk, rasa gatalnya semakin parah. Tak butuh waktu lama, wajahnya mulai membengkak.

“Apa ini?! Apa yang terjadi dengan wajahku?!” teriaknya histeris, menarik perhatian penjaga lain yang berdiri tak jauh darinya.

“Eh, apa yang kau lakukan? Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” tanya penjaga kedua, mendekat dengan ekspresi khawatir.

Du Shen hanya mengamati dengan tenang, senyum tipisnya diam-diam makin lebar. Melihat kelengahan penjaga itu, ia melangkah perlahan melewati gerbang tanpa seorang pun menyadarinya.

Penjaga yang masih sibuk menggaruk wajah dan temannya yang panik tak menyadari bahwa pemuda misterius itu telah menghilang di antara kerumunan penduduk kota.

***

Kota Danau Hitam berdiri megah dengan hiruk-pikuk aktivitas yang tak pernah padam walaupun cuaca terlihat mendung.

Jalan-jalan kota itu dipenuhi kios-kios yang menjual berbagai barang: kain sutra lembut dengan pola-pola eksotis, rempah-rempah yang harum menguar, hingga deretan senjata berkilauan yang memikat mata para pakar bela diri.

Di tengah keramaian itulah seorang pria bernama Du Shen melangkah pelan. Sosoknya tak terlalu mencolok di antara lautan manusia, dengan pakaian hijau gelap sederhana dan tas selempang lusuh yang menggantung di bahunya. Ia tak berbicara dengan siapa pun, hanya berjalan menuju sebuah kios kecil di sudut jalan.

Kios itu sederhana, tapi dipenuhi aroma kuat alkohol bercampur masakan pedas. Tanpa bicara, Du Shen masuk, mencari tempat duduk di sudut ruangan yang sepi.

Ia meletakkan tasnya di atas meja kayu usang, baru saja hendak mengendurkan otot-otot tubuhnya setelah perjalanan panjang.

Namun, sesuatu yang tak biasa terjadi. Seorang gadis muncul entah dari mana, duduk di hadapannya tanpa izin. Rambutnya hitam legam dengan untaian perhiasan kecil di sela-sela ikatannya.

Pakaiannya elegan, seperti seorang bangsawan. Meski penampilannya memikat, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang dalam.

"Diamlah. Anggap saja aku tak ada," bisik gadis itu, suaranya penuh desakan. Ia menunduk, menutupi sebagian wajahnya dengan lengan baju panjang yang dihiasi bordir keemasan.

Du Shen menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Ia tak mengatakan apa pun, memilih mengikuti ucapan gadis itu.

Pemahamannya tentang lagak hidup membuatnya peka terhadap situasi seperti ini—seseorang yang mencoba melarikan diri dari sesuatu.

Hening sejenak, hingga suasana pecah oleh suara pintu toko yang berderit keras. Sekelompok pria bersenjata ringan masuk dengan langkah penuh percaya diri. Mata mereka tajam menyapu setiap sudut ruangan, seperti serigala yang mencium bau mangsa.

Du Shen melirik tanpa menggerakkan kepala, menyadari gadis itu semakin meringkuk di tempat duduknya. Ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh gadis itu.

Salah satu pria dalam kelompok itu berbicara kepada seorang pemuda yang tampaknya pemimpin mereka. "Tuan Muda, bukankah itu Putri Keluarga Hao, Hao Yexin?" ujarnya seraya menunjuk ke arah meja Du Shen.

Pemuda yang dipanggil "Tuan Muda" menoleh. Senyumnya terbit—samar, angkuh, dan penuh maksud yang tak menyenangkan. Matanya menyipit saat memandangi gadis itu.

"Pergilah. Pergilah. Jangan ke sini," gumam gadis itu dengan suara nyaris tak terdengar. Meski lirih, Du Shen mendengarnya dengan jelas.

Du Shen diam. Tangannya yang semula santai di atas meja kini bergerak pelan, menggenggam gagang benda tajam kecil yang tersembunyi di balik jubahnya.

Ia tak suka terlibat urusan orang lain, tapi untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padanya. Namun, Gadis itu jelas dalam bahaya, dan kelompok yang baru masuk tak tampak seperti orang yang tahu kapan harus berhenti.

Pemuda sombong itu melangkah maju, mengabaikan tatapan penuh waspada dari para pelanggan lain di toko. "Hao Yexin, apa kau benar-benar berpikir bisa bersembunyi dariku lagi? Sudah kubilang, kau milikku," ucapnya sambil menyeringai.

Hao Yexin mengangkat wajahnya sedikit, memperlihatkan sorot mata tajam yang tak lagi menyiratkan ketakutan. "Jaga ucapanmu Murong Chen. Jangan senaknya mendekatiku," ucapnya tegas, meski suaranya gemetar.

Pemuda itu tertawa kecil, tetapi langkahnya terhenti. Tatapannya tertuju pada Du Shen yang kini duduk dengan tenang, menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Siapa pria ini? Hao Yexin, jangan bilang kau tengah berkencan dengan pria lusuh ini?" tanya Murong Chen dengan tatapan mencurigakan, matanya menyipit penuh penghinaan.

Ia jelas meremehkan penampilan Du Shen yang tampak sederhana, hampir seperti pengembara biasa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel