Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Peluang emas.

Emas Indah, gado-gadonya masih ada? Ibu pesan gado-gadonya dua, dibungkus, ya! Dan jangan terlalu pedas, juga!” ujar Bu’de Narmi, tetanggaku yang rumahnya berada di ujung gang sana.

“Masih, Bu, tunggu sebentar Indah buatkan,” Bu Narmi mengangguk dan mengambil posisi, duduk di bangku panjang yang sudah kusediakan untuk para pembeliku. Jika mereka ingin makan di tempatku.

Kebetulan hari ini, Alhamdulillah jualanku laris manis. Hari masih pagi, jam juga baru menunjukkan pukul sembilan, tapi jualanku sudah hampir habis.

Tanganku dengan lihai menggoyang batu giling untuk menghaluskan kacang goreng, dan meraciknya menjadi bumbu gado-gado yang enak. Dari sudut mataku, aku menangkap pandangan mata Bu Narmi fokus menatapku.

Sambil sekali-sekali senyum terukir di wajahnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan tentangku saat ini.

“Indah, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu? Tapi jika kamu nggak mau jawab, juga nggak apa-apa, Nak.” Ujar Bu Narmi dengan raut wajah segan. Mungkin ia takut pertanyaan yang akan ia lontarkan nanti, dapat menyinggung perasaanku.

“Tanya apa, Bu? Jika Indah bisa jawab, insyaallah Indah jawab.” Jawabku santai tanpa menghentikan aktivitasku.

“Ibu dengar dari tetangga, kamu sudah bercerai dari Dito, ya? Maaf, bukannya Ibu mau ikut campur, Nak. Karena Ibu dengar selentingan kabar yang tak enak, Nak.” Ucap Bu Narmi.

Ia seakan berhati-hati sekali dalam mengeluarkan kata-katanya padaku. Wanita yang umurnya hampir sebaya dengan ibuku itu adalah seorang juragan kontrakan, ia memiliki beberapa toko dan kios manisan di dalam pasar.

Ia juga memiliki dua orang anak laki-laki yang bisa dibilang sukses dalam karier mereka. Namun begitu, Bu Narmi tidak sombong. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan status sosial.

Anak bungsu Bu Narmi menikah dengan salah seorang adik kelasku saat Sma, dulu. Nina namanya, hidupnya sekarang sungguh bahagia. Membuat siapa saja yang melihat hidupnya kini akan menjadi iri, termasuk aku. Andai saja Ibu mertuaku sebaik dan selembut Bu Narmi.

“Benar, Bu,” ucapku lirih.

“Maaf, Nak,”

Aku mencoba tersenyum,” tidak apa-apa Bu Narmi, mungkin jodoh kami hanya sampai di sini. Saya pasrah, Bu, tuhan pasti tahu yang terbaik untuk hidup saya dan anak saya.” Jawabku. Aku memberikan pesanan Bu Narmi, dan menerima dua lembar uang pecahan sepuluh ribu dari tangannya.

“Kamu yang sabar ya, Nak. Ibu yakin pasti kami nanti akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari mantan suamimu itu. Ibu sungguh tidak percaya dengan apa yang di ucapkan mantan mertuamu itu.” Ujar Bu Narmi kembali. Aku mengernyitkan dahi, memangnya apa yang sudah diucapkan Ibu mas Dito pada Bu Narmi? Aku yakin pasti sesuatu yang tak baik yang ia ceritakan tentangku.

“Ya sudah, jangan kamu pikirkan, Nak. Masakanmu ini sangat enak, kenapa kamu gak buka rumah makan saja, Nak?” tanya Bu Narmi lagi. Tampaknya ia masih betah duduk di warung kecilku ini. Terbukti, sudah beberapa orang pembeli yang hilir mudik, datang dan pergi dari warungku, namun Bu Narmi belum juga beranjak dari duduknya.

“Sebenarnya Indah, kepingin buka warung makan kecil-kecilan di dekat jalan, Bu. Biar bisa nambah-nambah penghasilan, tapi ... mau bagaimana lagi, Bu Narmi. Uang tabungan Indah belum cukup.” Jawabku jujur. Toh ... memang itu kenyataannya. Untuk buka toko pasti butuh modal besar, sedangkan aku? Uang dari mana bisa mendapatkannya.

Bu Narmi manggut-manggut, lalu berpikir sejenak. “Kalau Ibu yang modalin bagaimana, Indah?”

Pertanyaan Bu Narmi membuatku tersentak. “Ahh ... Ibu jangan bercanda,” jawabku sambil tertawa renyah. Memang sesuatu yang tidak mustahil, karena Bu Narmi mempunyai banyak uang. Hanya saja, aku merasa tidak pantas menerimanya. Tak enak memiliki hutang budi pada orang lain.

“Ibu tidak bercanda Indah, Ibu serius,” sahut Bu Narmi. Aku tak kuasa menahan ekspresi wajahku yang bingung dan seperti orang b*doh.

Bu Narmi menarik tanganku yang sedang membereskan meja jualan. Ia menyuruhku duduk di sebelahnya.

“Jadi gini Indah. Ibu, kan, memiliki sebuah ruko yang sangat strategis, berada tidak jauh dari perkantoran, sekolah dan pasar. Jadi Ibu ingin buka kuliner gitu, tapi tidak tahu siapa yang bakalan mengelola? Ibu ingat jika kamu jago masak, dan masakanmu juga sangat enak. Ibu mau mengajak kamu kerja sama, bagaimana? Ibu yang modalin semuanya, tapi kamu yang mengelola.

Sedangkan hasilnya kita bagi, kamu enam puluh Ibu empat puluh. Kenapa ibu memberikan kamu bagian lebih besar? Karena Ibu sadar, kamu pasti yang akan sibuk dan berperan penting di usaha itu. Jadi bagaimana, Indah. Apa kamu tertarik dengan tawaran, Ibu?” Aku mendengarkan penjelasan Bu Narmi baik-baik.

Mendengar tawarannya, sebenarnya cukup membuatku tertarik. Hanya saja, aku tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

“Akan Indah pikirkan dulu, Bu. Indah tidak mungkin memutuskannya sendiri, apa lagi saat ini Indah sudah memiliki seorang bayi,”

“Tentu saja, Nak. Kamu memang harus memikirkannya masak-masak dulu. Namun, Ibu berharap, kamu menyetujuinya!” pinta Bu Narmi penuh harap. Wanita baik hati itu berdiri dari duduknya, dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah, dan menyalaminya di tanganku.

“Apa ini Bu? Kan, gado-gadonya sudah Ibu bayar, tadi.” Aku menolak pemberiannya padaku. Bukannya tak butuh uang, tapi aku merasa segan saja, jika menerimanya.

“Jangan menolak Indah, Ibu tidak memberikan ini untukmu, tapi untuk putri cantikmu itu. Gunakan uang ini untuk membeli susu anakmu itu, anakmu itu begitu menggemaskan. Soal tawaran Ibu tadi, jangan menjadi beban untukmu! Jika kamu mau menerimanya, syukur Alhamdulillah. Jika tidak juga tak apa!” ujar Bu Narmi tetap memaksakan uang itu ke dalam genggam tanganku, lama-lama aku tak enak hati menolaknya. Aku menerima uang itu, lalu Bu Narmi tersenyum padaku.

“Ibu pulang dulu, ya. Hari sudah mulai siang, bisa-bisa gado-gadomu keburu berair jika kelamaan Ibu ngobrol disini,” Bu Narmi pamit pulang seraya tertawa renyah, aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan perasaan yang campur aduk.

Ada rasa takjub, bingung serta bahagia, mendengar tawaran tersebut. Aku tidak menyangka ada orang baik yang akan membantuku mewujudkan keinginanku itu.

Terima kasih Ya ... Allah, engkau berikan jalan padaku. Semoga saja, ini awal yang baik, untuk kehidupanku, Ibuku dan putriku Naira.

Dengan perasaan bahagia, aku menyusun perkakas kotor yang sudah kupakai untuk berjualan, dengan cepat. Aku ingin menyampaikan kabar gembira ini pada ibuku yang sedang mengasuh Naira di dalam. Aku yakin Ibu juga pasti akan sangat senang mendengar berita bagus ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel