2. Gagal Emang Nyesek Geng
Dua tahun kemudian.
Seorang gadis berlarian menuju rumah dinas berwarna hijau, mengabaikan beberapa orang yang memanggil namanya. Gadis berjilbab itu terus saja berlari dan sesekali menyusut air matanya yang jatuh mengalir dari mata lentiknya. Gadis itu masuk ke rumahnya dan segera menuju kamarnya. Menelungkupkan wajahnya di bawah bantal, meredam segala tangis kegagalan yang menimpa dirinya hingga beberapa menit berlalu. Dia memandang sebuah foto, seorang perempuan berjilbab yang tidak pernah dia temui selama 24 tahun hidupnya. Wanita tangguh yang sudah mengorbankan nyawanya, demi dirinya lahir di dunia ini.
Gadis itu mendekap foto saang bunda di dadanya. Masih dengan air matanya yang berlinang membasahi pipinya. "Bunda ... Lea gagal bunda ... Lea gagal masuk tentara." gadis itu menangis sesenggukan.
Pintu terbuka dan menampilkan seorang pria paruh baya dengan seragam dorengnya, menatap putri semata wayangnya itu telah gagal menjadi seorang dokter tentara karena satu hal. Azlan masuk ke kamar Azalea dan membelai kepalanya yang tertutup jilbab.
"Udah Dek. Mungkin ini udah takdirnya Adek gak jadi dokter tentara, tapi Adek bisa jadi dokter, bunda pasti bangga sama kamu Nak." Azalea mengusap air matanya kasar. "Lagipula, Adek kan anak ayah satu-satunya, ayah gak tega kalau Adek masuk dunia militer."
Azalea memeluk sang ayah, menyembunyikan wajahnya di dada bidangnya. Harusnya Azalea menyadari bagaimana sang ayah menyayanginya dan menjaganya dengan baik sebagai singel parents. Bahkan, seluruh waktunya Azlan, hanya untuk Azalea. Tidak ada yang mampu menghalangi kasih sayang seorang ayah.
"Maafin Lea, Yah." Azlan mengangguk dan mencium puncak kepala sang anak. Anak yang sudah dia jaga dan dia rawat seperti anak sendiri, eh itu iklan deh.
Azaleanya kini sudah besar, beranjak dewasa. "Dek, gimana kalau cari suami tentara aja?" goda Azlan.
"Ayaaaaahhhhhhhhhhhh!"
???
Azalea kini tengah duduk di sebuah taman. Masih ada waktu satu jam setengah sebelum menjemput saudara sepupunya Reyka, yang baru saja selesai AKMIL. Iri? Sedikit. Setelah menerima telepon dari sang ayah, berpesan agar dia tidak sampai lalai dengan janjinya menjemput sang sepupu.
Lelaki berpakaian casual berwarna hijau duduk di samping Azalea yang masih setia memejamkan matanya. Menikmati angin sepoi-sepoi sore hari. Kesibukannya yang mengurus Uji kompetensi sebagai dokter. Menyita waktunya bersama sang ayah tercinta.
Arsa berdehem sebagai tanda dia ada di sana. "Ehem" suara berat itu berdehem, membuat Azalea membuka matanya dan segera menoleh ke arah kanan. "Haiy. Maaf saya duduk di sini" Azlea mengangguk.
"Maaf saya sudah ganggu kamu menenangkan pikiran. Saya Arsa." mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Azalea menangkupkan tangannya di depan dada.
"Lea."
"Lagi sedih ya? Kelihatan dari wajahnya." Azalea mengangguk.
"Ya gitulah."
"Mungkin mau cerita? Saya siap aja dengarkan kamu." Azalea diam, menimbangnya. "Nanti kita bisa saling cerita." Azalea mengangguk.
"Saya tidak lolos seleksi AKMIL. Padahal itu cita-cita saya dari kecil. Tapi, ya, memang sudah takdirnya seperti ini." Arsa mengangguk.
"Perwira karirkah?" Azalea mengangguk.
"Saya juga gagal jadi AL." Azalea memandangnya kaget.
"Seriusan?" Arsa mengangguk.
"Gak percaya ya?" Azalea mengangguk. Arsa tertawa terbahak-bahak.
"Badan kamu bagus gitu? Eh, upsss maaf." Azalea menutup mulutnya.
Bego Lea, rem mulut lo. Rutuk Lea dalam hati.
Arsa hanya tertawa mendengarnya. Melihat Azalea wajahnya memerah malu, dia jadi gemas sendiri ingin cubit pipi Azalea. Arsa memandang wajah Azalea yang sibuk melihat jam di tangannya.
Bang Reyka ?
Jadi di jemput kan?
Azalea menaruh kembali ponselnya di samping Arsa. Arsa mengamati casing ponsel Azlea yang bergambar sneli. Dia mengernyit bingung, apakah gadis di depan ini, benar-benar seorang dokter.
Dokter kah?. Batinnya bertanya
"Maaf, saya harus pergi. Terimakasih sudah mau mendengarkan cerita saya. Saya merasa lega." Arsa mengangguk. Dia tersenyum memandang gadis berjilbab itu berlari menuju taksi yang berderet di sana.
"Sama-sama. Hati-hati dijalan," teriak Arsa, Azalea mengangguk dan melambaikan tangan meninggalkan Arsa.
Kita akan bertemu lagi Lea, calon ibu Persit. Batin Arsa
???
Arsa pulang kembali ke mess. Dia akan bersiap melakukan apel malam. Arsa sebagai Danton sedikit kurang fokus dengan anggotanya. Mood Arsa sedang sangat baik sekali mengingat pertemuan dengan Lea.
Lea
Lea
Lea
Jadi ingin bertemu lagi dengannya
Arsa mengamati sekitar yang sudah selesai melakukan apel malam. Sepi sekali. Arsa berjalan mencari makan di warung langganannya bersama Farhan dan yang lainnya.
Di sana dia bertemu dengan Azlan yang juga membeli makanan di sana. Arsa menghampirinya dan memberikan hormat kepada Azlan.
"Siap, selamat malam komandan" Azlan mengangguk. "Selamat malam. Sedang makan malam disini juga Arsa?" Arsa mengangguk.
"Siap. Iya komandan. Komandan sendiri?" tanya Arsa kepo. Dia sudah mendengar dari teman dan atasannya, bahwa Azlan adalah seorang duda anak satu. Istrinya meninggal saat melahirkan anaknya, tapi dia tidak mau menikah lagi.
"Beli makan saja. Anak saya sedang sibuk belajar buat ujian." Arsa mengangguk dan mempersilakan Azlan duduk.
"Ijin komandan. Anak komandan lelaki?" Azlan tertawa dan menggeleng.
"Perempuan. Kamu belum pernah bertemu dengannya?" Arsa menggeleng. "Kapan-kapan kamu main ke rumah bertemu dengan anak saya"
"Siap. Terimakasih komandan" Azlan mengangguk.
"Saya duluan ya." Azlan berlalu pergi, setelah makanannya siap.
Tawaran menikah atau apa ya?. Batin Arsa bertanya bahagia.
???
"Aila," suara berat itu memanggilnya. Aila berhenti dan berbalik badan. Disana Azlan berdiri menatapnya tajam dan datar. Aila sendiri berani memandangnya datar.
"Siapa?" Habib berbisik di telinga Aila, yang tak luput dari pemandangan Azlan.
"Azlan," bisik Aila kembali. Habib mengangguk dan ide jahil muncul di kepalanya. Dia memeluk pinggang Aila. Aila hanya menatap Habib bingung.
"Ada hubungan apa kamu sama dia?" tanyanya tanpa bisa basa-basi. Aila hendak menjawab tetapi Habib lebih dulu membuka suaranya.
"Hubungan kamu dengan Aila apa? Kenapa kalau saya jalan berdua dengannya? Ada masalah?" tanya Habib tenang.
"Aila calon istri saya. Anda siapa? Ayo Aila, saya antar kan kamu pulang ke rumah." Aila hanya menggelengkan kepalanya.
"See? Lihat sendiri kan? Aila Nggak mau pulang ke rumah. Dia akan menginap di tempat saya." Dengan tersenyum smirk. Azlan menatap tajam Aila dan beralih ke Habib.
"Pulang Aila!" Dengan nada tegas. Aila kembali menggeleng dan Habib mengajak Aila pergi. Tapi pergelangan tangan Aila di cekal oleh Azlan. "Bisa saya bicara berdua dengan Aila?"
Habib melihat ke arah Aila, kemudian Habib mengangguk. "Sure. Saya beri kamu waktu lima menit dan tidak lebih."
Azlan mengangguk dan segera menggandeng Aila ke samping gedung yang terlihat sepi. Azlan memojokkan Aila ke dinding dan tangan Azlan mengungkung Aila.
"Ada hubungannya apa kamu sama dia? Kenapa kamu harus menginap di rumahnya? Kalau kamu nggak mau pulang ke rumah, kamu bisa menginap di rumah saya, ada ayah dan bunda di sana, biar tidak timbul fitnah". Aila melongo mendengar Azlan berbicara panjang kali lebar kali tinggi kali luas. Baru pertama kalinya dia berbicara seperti ini. Aila sampai shock.
Azlan gemas dengan tingkah laku Aila yang hanya diam dan melongo melihatnya berbicara. Azlan mencubit pipi kanan Aila gemas.
"Sakit tahu!” Aila mengusap pipinys. “ Gini ya, Bapak--"
"Saya bukan bapak kamu Aila. Saya calon suami kamu. Dia saja kamu panggil abang, kenapa kamu panggil saya bapak?" Aila terkekeh mendengarnya.
"Oke, Mas Letnan." Azlan memutar bola matanya malas.
"Pertama, saya nggak akan menginap di rumah Anda, karena kita bukan muhrim dan apa nanti kata tetangga di sana, bisa tercoreng nama papa saya. Dan kedua, saya dan anda belum terikat, jadi jangan mencampuri urusan pribadi saya. Paham Mas Letnan?"
"Besok sore, saya akan temui kamu di rumah orang tua kamu. Saya ingin kamu sudah ada disana sendirian tanpa lelaki itu." Aila mengangguk dan mendorong dada Azlan.
Tetapi Azlan memegang tangan Aila dan menciumnya, membuat Aila membelalakkan matanya tak percaya. "Saya belum bisa cium kamu, jadi saya cuma cium tangan kamu. Kamu calon istri saya, Aila Nuha Zahira. Saya tunggu kamu besok sore di rumah Orang tua kamu."
Azlan menggandeng tangan Aila dan menggenggam jemarinya. "Ayo." Dengan nada datar. Aila masih diam saja, dia masih syokk dibuatnya. Azlan yang melihat Aila diam saja, membuatnya tersenyum tipis hampir tidak terlihat.
Azlan tersenyum mengingat hal tentang dirinya dan Aila di masa lalu. Apa kabar kamu sayang? Aku merindukanmu.
