Part 9
Tubuh Tarno kaku tidak mau bergerak sesuai perintah otaknya. Ia menutup matanya dengan tubuh gemetar. Bersiap ditabrak mobil yang melaju dengan pesat ke arahnya karena tidak menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang. Ia bahkan hampir terkencing sekarang karena merasa ketakutan.
Namun, semua hal yang ia takutkan tidak terjadi. Ia tidak merasakan tubuhnya tertabrak atau terlempar. Pelan-pelan Tarno membuka matanya dan melihat sekeliling. Di depannya tampak seorang pria berusia tiga puluhan memandanginya dengan wajah khawatir.
“Masnya nggak papa?” tanya pria itu.
Tarno menggelengkan kepalanya. Lalu mencari keberadaan mobil yang ternyata berhenti sekitar satu meter dari tempatnya berdiri sekarang.
“Alhamdulillah,” lirihnya.
Pria yang memakai kaos hijau tersebut membantu Tarno mendirikan motornya yang terjatuh di samping lubang. Tarno melihat kondisi motor yang terbanting cukup keras di aspal. Spion sebelah kanan patah dan kacanya berhamburan di jalan. Selain itu motornya dalam kondisi bagus.
“Terima kasih, Mas.” Tarno menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepada pria yang membantunya tadi. Lalu bergegas mendorong motornya ke pinggir jalan raya agar tidak mengganggu kendaraan lain yang ingin lewat.
Pria yang membantunya tadi kembali ke mobil setelah membalas ucapan terima kasih Tarno dengan anggukan kecil. Lalu menjalankan mobilnya meninggalkan Tarno yang masih duduk di trotoar. Ia menenangkan diri beberapa saat sebelum mengendarai motornya lagi lalu pulang ke rumah.
Saat tiba di rumah, Tarno baru sadar sikutnya terluka cukup parah. Jaket yang dikenakannya sampai robek dan sikunya berdarah. Emak yang melihatnya langsung membuatkan ramuan beras kencur yang dibubuhkan di luka Tarno.
Emak tidak bertanya apa pun dan langsung membubuhkan ramuan beras kencur di siku Tarno dengan telaten.
“Terima kasih, Mak.”
“Bagaimana ceritanya tadi? Kamu ditabrak atau terjatuh sendiri?”
“Motornya masuk ke lubang, Mak. Aku tidak fokus tadi.”
“Oalah. Apa yang kamu pikirkan, No? Apa pembicaraanmu dengan Susanti tidak berjalan lancar?”
“Susanti meminta jatah satu juta tiap bulan, Mak. Sementara Aku tidak punya uang sama sekali. Selama ini semua gajiku kuserahkan padanya. Aku bingung harus mencari pekerjaan dimana sekarang.”
“Nanti Emak tanyakan ke Samsul. Barangkali ada lowongan di tempatnya kerja sekarang.”
Tarno merasa lega mendengar jawaban emaknya. Ia benar-benar tidak terpikir sama sekali untuk bertanya pada adik iparnya. Semoga saja ada kabar baik darinya sehingga ia bisa lekas bekerja dan memperoleh penghasilan.
“Mak, Aku harus mengurus perceraianku dengan Susanti secepatnya sebelum perutnya semakin besar.”
“Iya, besok pergilah ke pengadilan agama. Segera urus perceraianmu. Semoga semua berjalan dengan lancar dan masalahmu terselesaikan dengan baik.”
“Amin. Semoga saja, Mak.”
“Istirahatlah sekarang. Kamu pasti lelah.” Emak berdiri membawa sisa ramuan beras kencur.
Sementara Tarno masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya ke kasur setelah berganti pakaian.
**
Malamnya setelah makan malam, Tarno dan Samsul tampak mengobrol di halaman dengan secangkir kopi dan singkong goreng yang masih hangat.
“Mas, kata Emak tadi kamu butuh pekerjaan ya? Kebetulan di toko bangunan tempatku bekerja sedang butuh satu pekerja baru. Kalau kamu tertarik besok aku tanyakan dulu ke bosku. Bagaimana?” tawar Samsul.
“Di tempatmu ada lowongan Sul? Tentu saja Aku mau,” jawab Tarno bersemangat.
“Tapi kerjanya berat loh Mas. Mengangkut bahan bangunan yang berat-berat.”
“Apa saja Aku mau. Asalkan halal. Daripada aku menganggur di rumah saja, mau dapat uang dari mana coba.”
“Ya sudah. Besok coba kutanyakan sama bosku apakah lowongannya masih ada atau sudah ada yang ngisi. Semoga saja belum.”
“Iya. Semoga saja masih rezekiku.”
**
Esok paginya setelah menjemput Dio pulang sekolah, Ratih dan Tarno pergi ke toko emas untuk menjual kalung bandul hati yang sebelumnya hendak diberikan pada Susanti. Setelah itu ke pengadilan agama untuk mengajukan surat perceraian.
Di pengadilan agama Tarno mengisi beberapa berkas lalu diminta menunggu panggilan dari pengadilan agama untuk sidang. Setelah selesai semua urusan Tarno mengutarakan niatnya untuk membeli motor bekas pada Ratih.
“Tih, Aku masih punya uang tiga juta sisa penjualan kalung tadi. Apakah uang segini cukup untuk membeli motor bekas?”
Ratih tampak berpikir lama sebelum menjawab,” Coba nanti kutanyakan ke ayahnya Dio. Mungkin ia tahu. Motorku ini dua tahun lalu harganya lima juta. Mungkin ada yang lebih murah tapi suratnya mati. Gimana?”
“Nggak papa Tih. Yang penting bisa buat bepergian. Supaya nggak ngerepotin kamu lagi.”
“Oalah, Mas. Kamu kayak sama siapa saja.”
Mereka berdua pulang setelah membeli bakso untuk emak dan Dio setelah Ratih dan Tarno selesai makan satu mangkok.
Malamnya Samsul memberikan kabar baik untuk Tarno. Lowongan di tempat adik iparnya bekerja masih belum terisi, jadi Tarno bisa bekerja mulai besok.
“Mas, besok berangkatnya bareng sama Aku. Nanti kuperkenalkan sama bos dulu.”
“Iya, Sul. Terima kasih ya sudah membantu Aku.”
“Bantuan apa to Mas. Wong aku cuma menyampaikan lowongan yang ada di tempatku. Lagian ini semua tidak sebanding dengan semua bantuanmu saat kami sedang kesulitan dulu.”
Dulu Ratih harus dioperasi SC saat melahirkan Dio. Samsul yang saat itu tidak mempunyai cukup uang kebingungan harus mencari pinjaman kesana kemari pada keluarganya. Namun tidak ada seorang pun saudaranya yang mau meminjamkan uang padanya. Padahal ia tahu mereka memiliki uang tersebut namun enggan meminjamkan padanya karena takut tidak akan dikembalikan.
Samsul yang pulang dengan wajah kusut akhirnya diberitahu emak agar meminjam kepada kakak laki-laki Ratih, Tarno. Ia awalnya merasa sungkan, namun setelah memberanikan diri akhirnya ia meminta tolong pada Tarno. Tanpa pikir panjang Tarno langsung mengiyakan dan meminta istrinya untuk segera mengirim uang padanya.
Samsul sangat berterima kasih pada Tarno saat itu. Lalu mulai mengembalikan uang yang dipinjamnya dengan cara mencicilnya sedikit-sedikit tiap bulan. Setelah hutangnya masih kurang separuh, Tarno menolak saat Samsul mencicilnya dan mengatakan kalau uang itu lebih baik ditabung untuk keperluan sekolah Dio saja.
Samsul sangat terharu dan benar-benar berterima kasih atas bantuan Tarno serta kemurahan hatinya. Ia merasa malu pada Ratih karena saudara yang selalu ia banggakan selama ini justru tidak mau menolongnya saat dibutuhkan.
**
Pagi itu Tarno berangkat kerja bersama dengan Samsul setelah selesai sarapan. Tarno dibonceng Samsul mengendarai motornya. Ia berdoa semoga bisa betah dan pekerjaannya yang baru berjalan lancar.
Motor Samsul berhenti di sebuah toko bangunan yang cukup besar dengan halaman cukup luas. Di sisi halaman terparkir sebuah mobil yang tak asing bagi Tarno. Ia merasa pernah melihatnya namun lupa dimana.
Samsul mengajak Tarno menuju toko yang tampaknya baru saja dibuka. Beberapa pekerja tampak menata material dan ada juga yang tampak bersih-bersih. Lalu pandangan Tarno jatuh pada sosok pria yang ditemuinya kemarin siang saat ia terjatuh dari motor. Pria itu sedang menyapu halaman sekarang.
Tarno menghampiri pria tersebut dengan Samsul mengiringinya.
“Mas, terima kasih ya kemarin buat bantuannya,” ucap Tarno saat Samsul mengenalkannya pada pria yang bernama Anto.
“Sama-sama, Mas. Aku disuruh Bu Lastri kemarin buat bantu kamu,” jawab Anto lalu bertanya pada Samsul, “Jadi ini Kakak Iparmu yang akan bekerja di sini, Sul?”
“Iya, Mas. Bu Lastri ada kan di dalam?” jawab Samsul.
“Iya, ada. Masuk saja. Biasa lagi periksa stok kayaknya.”
“Kalau begitu Aku masuk dulu, Mas. Ayo, Mas Tarno,” ajak Samsul pada Tarno.
Tarno mengikuti Samsul yang berjalan masuk ke toko. Di dalam toko tampak beberapa pekerja lain dan seorang wanita yang duduk di meja kasir. Lalu dari arah dalam tampak seorang wanita yang mengenakan gamis berwarna hijau tosca dengan jilbab senada berjalan menuju kasir dengan cara berjalan yang cukup aneh bagi Tarno yang pertama kali melihatnya.
Kakinya sebelah kiri tampak lebih panjang sehingga tampak seperti diseret. Karena itu saat wanita itu berjalan akan timbul suara seperti diseret yang muncul dari sepatu yang dipakainya. Setelah wanita itu mendekat Tarno dapat melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang tampak familier bagi Tarno, namun ia masih belum terlalu yakin. Bukankah banyak wajah yang mirip di dunia ini.
Samsul segera mendekati wanita itu dan berbicara kepadanya. Lalu wanita itu dan Samsul tampak berjalan ke tempat Tarno berdiri sekarang.
“Bu Lastri, ini Mas Tarno. Kakak Ipar yang Saya ceritakan kemarin,” ucap Samsul pada wanita bergamis hijau tosca tersebut. Tampaknya wanita itu adalah bos yang diceritakan Samsul kemarin.
“Lastri ...,” lirih Tarno. Pikirannya mengembara ke masa lalu.
“Mas Tarno? Kamu Mas Tarno kan?”
