Part 8
Dila dan Dinda terdiam mendengar pertanyaan Susanti. Membuat Tarno semakin cemas. Suasana di ruang tamu berubah senyap karena semua diam. Hanya detak jam dinding yang terdengar sekarang.
“Dila, kamu mau ikut Ayah atau Ibu?” tanya Susanti langsung.
Dila tampak kebingungan mendapat pertanyaan Ibunya secara tiba-tiba. “Harus dijawab sekarang, Bu?”
“Iya. Agar kami bisa mengurus perceraian secepatnya.”
Dila bimbang. Ia sebenarnya masih kangen dengan ayahnya yang baru saja pulang dari luar negeri dan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Namun ia juga tidak mau berpisah dengan ibunya yang sudah merawatnya dan menjaganya selama ayahnya pergi.
“Ayo, cepat katakan pada kami sekarang juga. Kamu mau ikut dengan Ayah atau Ibu?” desak Susanti.
Dila semakin kebingungan. Ditatapnya kedua orang tuanya bergantian. Ibu yang disayanginya dan ayah yang dikasihinya. Ia bimbang siapa yang harus dipilih. Gadis yang sekarang menginjak kelas enam SD itu memejamkan matanya sejenak lalu berkata dengan ragu, “Aku mau ikut Ibu saja.”
Setelah mengatakan keputusannya, Dila menatap wajah ayahnya yang tampak kecewa mendengar keputusannya. Ia segera mengalihkan pandangannya karena merasa bersalah dan tidak tega melihat wajah sedih ayahnya.
“Dinda, sekarang giliran kamu memilih. Mau ikut siapa, ayah atau Ibu?” tanya Susanti.
Dinda terlihat bingung dengan pertanyaan ibunya. “Kenapa Dinda harus memilih? Memangnya Ayah mau kemana?” Dinda menatap ayahnya dengan mata polosnya.
Tarno merasa getir melihat tatapan lugu putri bungsunya. Dikuatkannya hatinya agar air matanya tidak menetes lagi. Ia tidak mau terlihat bersedih di depan kedua putrinya.
“Karena Ayah dan Ibu tidak akan tinggal serumah lagi sekarang. Kami akan berpisah. Jadi kamu harus menentukan mau ikut siapa. Mau tinggal dengan Ayah atau Ibu?”
“Memangnya Ayah mau keluar negeri lagi ya?” tanya Dinda.
“Tidak, Sayang. Ayah akan tinggal di rumah nenek menemani nenek yang sudah tua,” sahut Tarno.
“Aku mau ikut Kak Dila saja,” ucap Dinda memutuskan.
“Ikut Kak Dila berarti kamu memilih Ibu,” sahut Susanti tersenyum senang.” Baiklah. Kalian masuklah ke kamar. Ibu mau membicarakan masalah penting dengan Ayahmu.”
Dila dan Dinda menurut. Mereka beranjak dari sofa lalu berjalan ke kamar beriringan.
“Sudah kubilang kan kalau mereka pasti memilihku?” Susanti tersenyum mengejek. “Jadi rumah ini akan kutempati bersama anak-anak.”
Tarno menghela nafasnya. Ia merasa kecewa namun ia bisa apa. Anak-anak masih kecil, jadi mereka pasti lebih membutuhkan ibunya sekarang. Kelak jika sudah dewasa, mereka pasti akan paham dengan apa yang sebenarnya terjadi diantara kedua orang tua mereka sehingga memutuskan untuk berpisah.
“Selanjutnya kita bahas masalah nafkah anak. Aku ingin dua juta,” kata Susanti.
Tarno membelalakkan matanya saat Susanti dengan entengnya menyebutkan angka yang diminta sebagai nafkah bulanan untuk kedua putrinya. Uang dua juta rupiah bukanlah jumlah yang sedikit. Apalagi Tarno tidak memiliki pekerjaan sekarang. Pun dengan uang simpanan atau tabungan. Hanya kalung berbandul hati yang ia punya sekarang.
“Dua juta itu sangat banyak, dari mana Aku dapat uang sebanyak itu sementara aku tidak punya pekerjaan sekarang,” tolak Tarno.
“Itu urusanmu. Terserah kamu bagaimana mencarinya, pokoknya aku minta dua juta tiap bulan untuk Dila dan Dinda.”
Tarno menarik nafas panjang. Sifat keras kepala Susanti akan sulit ditentang. “Aku hanya sanggup memberikan satu juta saja.” Tarno memutuskan.
“Enak saja. Satu juta dapat apa? Buat uang saku Dila dan Dinda sekolah masih kurang segitu. Pokoknya dua juta.”
“Baiklah. Aku setuju. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?”
“Rumah ini kita bagi dua.”
“Enak saja. Kamu tadi kan sudah setuju kalau rumah ini kutempati dengan anak-anak. Kenapa sekarang minta dibagi dua?”
“Karena permintaanmu yang tidak masuk akal. Atau kita serahkan saja masalah ini ke pengadilan. Biarkan mereka yang memutuskan,” tantang Tarno.
Susanti mulai ketakutan. Baru kali ini Tarno berani menentang pendapatnya. Biasanya ia selalu menuruti apa pun keinginannya. Ia terdiam cukup lama dan menimbang-nimbang sebelum memutuskan.
“Baiklah. Aku setuju dengan uang nafkah satu juta per bulan dan rumah ini kutempati bersama anak-anak.” Susanti akhirnya menurut. Jika tidak disepakati dari sekarang, sidang perceraian akan berjalan lama nanti. Perutnya akan segera membesar. Ia akan malu jika orang-orang tahu nanti.
Tarno tersenyum simpul. Gertakannya terbukti efektif untuk menundukkan sifat keras kepala Susanti. Ia langsung menyetujui keputusan Tarno tanpa pikir panjang. Selama ini ia mengalah karena mencintai dan menyayangi ibu anak-anaknya. Namun kini setelah cinta itu hilang ia tidak perlu mengalah lagi.
“Ada lagi yang perlu dibicarakan? Kalau tidak aku mau pulang sekarang,” tanya Tarno.
“Sudah tidak ada.”
“Satu lagi syarat dariku. Aku tidak ingin kamu menghalangiku bertemu dengan anak-anak setelah kita berpisah nanti. Sebaliknya jika anak-anak meminta denganku jangan larang mereka. Kalau kamu tidak mau mengantarkan cukup telepon aku, biar kujemput mereka.”
Susanti hanya mengangguk pelan tidak menjawab atau menyanggah perkataan Tarno.
“Aku pulang sekarang. Kalau ada sesuatu hubungi saja lewat telepon.” Tarno berdiri dan berjalan menuju kamar anak-anak. Berpamitan pada kedua buah hatinya sebelum ia pulang.
Dalam perjalanan pulang, Tarno berpikir keras tentang bagaimana cara untuk mencari uang sebanyak satu juta per bulan. Ia benar-benar kebingungan sekarang. Awalnya saat pulang kemarin ia berencana untuk membangun toko kelontong dan warung kopi dari uang yang ditabung Susanti. Namun semua itu tinggal rencana. Ia harus mencari pekerjaan sekarang agar bisa mempunyai penghasilan.
Tarno melamun sepanjang perjalanan, memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia kerjakan sekarang. Hingga tanpa disadari sebuah jalan berlubang cukup dalam di depannya ia lewati begitu saja, mengakibatkan motor yang dikendarai oleng dan terjatuh ke samping.
Tarno terjatuh cukup keras sehingga kesulitan saat berdiri. Dengan langkah tertatih, ia bergerak mendekati motornya yang terpental cukup jauh dari tempatnya jatuh. Saat hendak mengambil motor yang terbanting ke samping sebuah mobil melaju cukup kencang dari belakang.
Tarno terdiam di tempat, seakan ada tali yang tidak kasat mata mengikatnya di tempatnya berdiri sekaranh. Tubuhnya serasa kaku, tak bisa digerakkan. Bahkan untuk berkedip rasanya sangat sulit. Padahal hatinya berteriak untuk segera menyingkir dari tempat itu. Namun tubuhnya tidak bisa bergerak mengikuti perintah otaknya.
"Ayo ... Bergeraklah. Kenapa kamu tidak mau mengikuti perintahku," pekik Tarno dalam hati sambil memandang mobil yang melaju ke arahnya.
Namun, tubuhnya tetap membatu. Tidak mau bergerak sedikit pun. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dadanya berdebar kencang, perutnya bahkan terasa bergejolak.
"Ya Allah ... Jika memang ini takdirku, aku siap menerimanya." Tarno merapal doa dalam hati, pasrah. Ia memejamkan mata siap menerima hantaman mobil ke tubuhnya.
