Part 3
L I A R (3)
"Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam.
"Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya.
"Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."
Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan.
"Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya.
"Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu.
"Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?"
"Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik hati menggantikan posisi anak ingusan itu."
"Tapi aku sama sekali tidak tertarik. Aku menolak. Sudah?" Dia menekan kepalaku seperti anak kecil.
Aku menyingkirkan tangannya dengan kasar.
"Kau tidak normal, ya? Kau menolak gadis secantik dan sepopuler aku? Aku punya jutaan penggemar di luar sana. Kau beruntung karena tidak perlu susah-susah bersaing dengan mereka. Dasar bodoh!" Aku merapikan rambutku yang sudah acak-acakan.
"Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka." Dia kembali duduk dan menyandarkan diri.
"Tidak mau."
"Kenapa?"
"Aku tak mengenal mereka."
"Kenalan saja dulu," ucapnya santai.
"Kau ini kenapa?" Aku memukul pahanya dengan kuat. Dia meringis sambil menggosok-gosok bekas pukulanku.
"Sakit, Key. Dasar gadis barbar."
Tak lama masuk seorang pelanggan, dan dia bangkit untuk beraksi kembali. Cih, menganggu saja.
Dengan sabar aku menungguinya, sambil mengerjakan pekerjaanku. Inilah keuntungan menjadi artis di dunia maya. Aku bisa melakukan pekerjaanku dari mana saja. Hanya tinggal mengedit foto dan vidio yang kuambil sebelumnya, lalu bisa diupload kapanpun aku mau.
.
"Fi!" Dia kembali menyapu lantai bekas potongan rambut tadi.
"Hmmm."
"Aku bosan tinggal di rumah itu."
"Berhenti mengeluh, Key."
"Ayo menikah! Aku ingin tinggal di rumahmu," rengekku.
"Rumahku tidak semewah rumahmu. Lupakan ide konyol itu."
"Tapi aku menyukainya."
"Carilah pria lain."
"Tidak mau! Mereka hanya menginginkan uangku saja."
"Kalau begitu carilah yang lebih kaya darimu."
"Sudah pernah. Mereka semua itu, Badboy. Suka berganti-ganti pacar dan punya banyak simpanan. Kau sampai hati membiarkan aku hidup dengan pria semacam itu? Aku juga punya hati, Fi."
"Serba salah bicara padamu. Sudahlah, aku lelah."
"Kalau begitu menurut saja. Aku akan bicara pada Papa. Aku tak perduli jika dia keberatan. Kalau kau tak mau, aku akan bilang kalau aku sedang hamil. Kau yang menghamiliku!" Aku menunjuk tepat di hidung mancungnya.
"Hei, kau... Hish!"
.
Suara sendok dan garpu saling beradu di atas piring masing-masing. Aku yang jarang-jarang berkumpul, sengaja untuk ikut makan malam kali ini. Wajah Papa terlihat lebih tenang, setelah tahu aku menghapus semua masalahnya.
Seleraku tak begitu bagus sebenarnya. Merasa menjadi orang asing di rumah sendiri. Papa menikahi istri dari sahabatnya, setelah wanita itu bercerai dari suami yang ketahuan berselingkuh dengan Mamaku.
What the fuck!
Hubungan macam apa itu. Semacam balas dendam, yang akhirnya membuatku malu dan dibully oleh seluruh teman-temanku. Untung saat itu Papa belum mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hanya seorang pebisnis, yang punya pengaruh besar di kota ini.
"Aku akan menikah, Pa," ucapku tanpa berbasa-basi.
Hening sesaat. Tak ada lagi suara gesekan besi dan piring batu seperti tadi. Kulirik wajah mereka satu persatu. Erik, Elena adiknya, dan juga Mama mereka. Semuanya terlihat tegang. Karena tahu sebelumnya aku tak pernah membawa laki-laki ke rumah ini. Apalagi sampai mengenalkannyan pada mereka.
"Menikah saja," ucapnya tanpa disangka-sangka. "Kau sudah punya calonnya? Jika belum, biar Papa carikan yang bisa cocok denganmu."
Oh, God! Apa dia pikir ini sinetron, atau kisah-kisah dalam novel? Perjodohan? Ciss. Dia masih saja berpikiran kuno.
"Ya. Aku sudah punya. Aku akan menikah dengan Kahfi."
Papa terdiam. Yang lain juga sama. Great! Aku berhasil membuatnya marah. Kurasa dia cukup terkejut, karena nyatanya Kahfi bukan dari kalangan atas seperti anak-anak dari kolega bisnisnya.
Ayo marah, Pak tua! Tolak saja permintaanku ini. Aku punya kejutan lain yang akan membuat semua yang hadir akan ikut shock, dan kuharap langsung kena serangan jantung dan juga stroke. Hore.
Hmm... sudah tidak sabar rasanya mulutku ini, mengatakan bahwa aku sedang hamil dan akan kembali mencoreng nama baiknya.
"Oh, Kahfi. Baguslah. Dia laki-laki yang cocok untukmu. Papa rasa, hanya dia saja yang sanggup mengendalikan semua sikap liarmu itu. Besok malam suruh dia dan keluarganya datang. Menikahlah secepatnya. Jangan pikirkan apa pun soal biaya."
What? Semudah itu? Dia tak lagi marah dan mengamuk? Apa itu artinya aku membuatnya senang? Oh, shit. Damn! Dia pasti akan segera merasa bebas dari tanggung jawab terhadapku.
.
Aku kembali melakukan live instagram di kamar. Dengan baju tidur seksi, tentunya. Ratusan ribu mata memandang dan memberikan komentar bernada menggoda. Banyak pujian yang aku terima, meski terkadang ada netizen julid yang kerap berkata kasar dengan komentar barbar yang memojokkanku. Dasar sampah!
Belum lagi saat foto topless yang baru saja aku hapus. Beberapa dari mereka langsung mengunfollowku begitu saja. Dasar netizen plinplan. Secepat itu mereka merubah perasaan terhadapku.
Aku terkejut, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku langsung menarik napas, kemudian pamit dari dunia maya.
"Hentikan kebiasaanmu itu, Erik. Belajar sopan kalau mau masuk ke kamar orang. Kau mau memergokiku sedang tel*nj*ng?" umpatku geram.
"Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cercanya tanpa basa-basi lagi.
"Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?"
"Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu."
"Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?"
"Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka."
"Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia."
"Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya."
"Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.
Aku mendekatkan wajah, merasakan hembusan napasnya yang terasa bergemuruh. Matanya sedikit terpejam, menikmati sentuhan meski hanya dari sebuah jari.
"Kau cemburu, Erik?" Dia kembali membuka matanya. Memandangku dengan tatapan penuh harap.
"Ya. Kau sudah tahu tentang itu."
"Hmmm... itukah sebabnya kau memintanya untuk melapor padamu, saat aku sedang mabuk?"
"Ya. Aku memang memintanya."
Aku meniup wajahnya dengan kasar, kemudian mendorong tubuhnya menjauh. Aku tertawa melihat wajah penuh hasrat itu sedang menatapku.
"Kumohon, Key. Hentikan niatmu itu."
"Alasan apa yang harus kukatakan pada Papa? Bahwa anak tiri kesayangannya, begitu tertarik pada putri kandungnya?" Aku semakin tertawa sambil menepuk kedua tanganku.
"Key, aku..."
"Keluar!" bentakku kemudian. "Aku muak mendengar suaramu."
Seperti biasa, dia selalu menarik diri agar tak lepas kontrol saat bersamaku. Dia langsung menurut begitu aku mengusirnya. Kuakui, dia cukup sopan ketimbang pria-pria lain yang berusaha mendekatiku. Hingga aku pun pernah jatuh hati dibuatnya.
Tapi itu dulu. Dulu sekali. Saat keluargaku, dan keluarganya masih menjalin hubungan yang begitu harmonis.
.
"Kahfi!" Aku melompat girang saat baru saja turun dari mobil.
Dia tengah duduk bersantai sambil menghisap rokok, karena sedang tak ada pelanggan. Dia melirik sekilas, kemudian membuang pandangan.
"Hei, kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Aku punya kabar bagus."
"Kenapa? Kau berhasil membuat Papamu mengamuk dengan berita kehamilanmu?" sindirnya dengan nada mengejek.
"Kau salah, Kahfi," ucapku, sembari duduk di sebelahnya. "Yah, walaupun aku sedikit kecewa karena kenyataannya dia terlihat bahagia."
"Kau mau bilang apa? Jangan bertele-tele."
"Papa menyetujui pernikahan kita. Kau senang? Dia menyukaimu, Kahfi. Ajak Ibu dan Sifa datang malam ini."
"Jangan bercanda, Key. Kau pikir itu lucu?"
"Come on, Fi. Ini bukan lelucon. Tutup kedaimu, ayo pulang. Aku ingin bicara pada Ibumu." Aku menarik lengannya untuk segera bangkit.
"Kau benar-benar sakit jiwa rupanya. Minggir!" Dia menepiskan peganganku.
Tapi dari raut wajahnya aku tahu kalau dia percaya dengan kata-kataku barusan. Dia terlihat gelisah, kurasa dia benar-benar gugup dengan semua ini.
"Tolong, Key. Demi apapun itu, hentikan semua permainanmu. Carilah cara lain untuk melampiaskan kemarahanmu pada mereka, tapi jangan libatkan aku."
"Ayolah, Fi. Aku hanya ingin seseorang membawaku keluar dari rumah itu. Aku ingin sekali tinggal bersamamu. Aku menyukai masakan Ibumu, dan aku juga menyukai Sifa. Aku ingin tinggal di sana. Aku akan jadi istri, menantu, serta kakak ipar yang baik." Aku melebarkan senyum di depan wajahnya.
"Selama ini kau selalu datang ke rumah. Tak perlu sampai menikah."
"Tapi Papa selalu melarangku menginap. Dia pasti mengancam, akan menyuruh Erik menyeretku pulang."
"Memang seharusnya begitu, kan? Tidak baik seorang gadis menginap di luar rumah."
"Terserah kau saja. Papa ingin kita cepat-cepat menikah."
"Dasar gila. Aku tidak mau."
"Kenapa? Kau tidak mau karena sikapku selama ini? Ayolah, Fi. Aku tidak seburuk itu. Aku masih perawan."
"Haish... apa lagi yang kau bicarakan?"
"Kau pasti meragukanku, kan? Kau bisa membuktikannya saat malam pertama kita nanti. Kalau tak ada noda darah di pahaku, malam itu juga kau boleh menceraikan aku."
"Astaga, Key. Bicaramu semakin tak karuan. Kau tidak malu bicara seperti itu di depanku, ha?"
Aku tertawa geli. Seolah baru pertama kali ini aku membicarakan hal pribadi kepadanya. Dia bahkan pernah berlari ke warung, saat tiba-tiba aku datang bulan saat berada di rumahnya. Saat itu aku masih kelas satu SMP. Belum terlalu hafal, kapan jadwalnya akan datang bulan.
Aku bahkan pernah melihat sarungnya terjatuh saat luka bekas khitannya belum mengering. Apa lagi yang mau dia sembunyikan?
"Oh, Tuhan. Kenapa kau mengungkit-ngungkit hal itu lagi? Kita sudah dewasa, Key." Dia semakin tak karuan.
"Biar kau selalu ingat, sudah tak ada jarak lagi di antara kita."
.
Aku makan siang dengan sangat lahap. Kahfi sengaja meminta Sifa untuk tak mengantarkan makanan ke kedai, karena aku ingin ikut ke rumahnya.
"Ingat, kau diam saja. Biar aku yang bicara pada Ibu!" ancamnya, sebelum sampai di pintu.
Well, biarkan saja. Yang penting keluarganya akan datang malam ini.
"Vlog kakak di Bali kemarin masuk trending. Bagus." Puji Sifa, adik perempuan Kahfi yang masih duduk di kelas tiga SMA.
"Kau menyukainya?" sahutku senang. Sifa mengangguk penuh senyuman.
"Oke, good. Lain kali kita bisa pergi bersama sekeluarga."
"Nak Keyra mau jalan-jalan sama Bapak?" Ibunya Kahfi telihat senang. Karena yang seperti yang dia tahu selama ini, aku dan keluarga baru Papa tak pernah cocok dan selalu saja berselisih paham.
"Tidak, Bu. Maksudku, keluarga kita. Sebentar lagi aku akan jadi menantu Ibu. Aku akan menikah dengan Kahfi." Aku tersenyum riang sambil membentuk huruf v di samping telingaku.
"Key... " Suara bariton itu muncul dari belakangku.
Ups! Aku keceplosan lagi.
************
