Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2

Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali.

"Apa yang kau lakukan?" ucapnya, setengah membentak.

"Menciummu. Kau tak sadar?" Aku tertawa geli.

Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!

Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu.

Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan.

Oh, shit. Aku memukul nyamuk yang menggigiti paha yang selalu kurawat. Kahfi sungguh tega meninggalkanku sendirian dengan nyamuk sebanyak ini. Mau berapa lama lagi dia berada di situ?

Aku memutuskan untuk duduk di depan pagar. Seperti trotoar jalan yang di semen untuk menutup parit. Terhinanya aku. Yah, daripada kebas karena terlalu lama berdiri.

Beberapa menit kemudian dia muncul dengan langkah pelan. Masih dengan raut wajah kecewa dan juga menyedihkan. Usahanya pasti tidak berhasil. Sayonara pacaran.

"Kau masih di sini?" Kini kedua tangannya sudah bertengger di pinggangnya. Apa dia sedang memarahiku?

"Sure. Aku menunggumu. Kita bisa pulang bersama." Aku langsung melompat untuk berdiri. Kemudian mengaitkan tanganku ke lingkaran tangannya tadi.

"Minggir, kau!" Dia mengelak, dan melepaskan rangkulanku. Kemudian berjalan duluan.

"Kau masih marah?"

Dia diam. Tak menjawab dan terus melangkah.

"Dia masih terlalu kecil, Fi. Sikapnya juga kekanak-kanakan," bujukku lagi.

"Kau yang kekanak-kanakan." Dia mengusap kasar rambutnya. Berjalan sambil menendang batu-batu kecil yang ada di depannya.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya lagi.

"Yang mana? Menciummu?" Aku kembali terkekeh. "Kau sudah tahu aku sering berbuat gila. Kenapa tiba-tiba heran?"

"Jangan mengorbankan aku dengan kegilaanmu. Astaga, Key. Kau baru saja menciumku. Kau pikir itu lucu, ha? Dimana harga diriku sebagai laki-laki!" rutuknya dengan gigi merapat.

Aku kembali tertawa. Entah kenapa hatiku begitu senang melihat dia marah seperti ketakutan.

"Hohoho, kau merasa ternoda, ya?" godaku. "Tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu. Kau puas?"

"Kau benar-benar mabuk, Key!" Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat, lalu mempercepat langkahnya.

"Tunggu aku, Fi. Aku sangat lelah!" Aku berlari, dan melompat. Menabrakkan tubuh, hingga sampai melingkarkan lenganku ke lehernya.

"Gendong aku!" Aku naik begitu saja tanpa persetujuan darinya.

"Dasar gadis liar! Sakit jiwa. Kau tidak sadar kalau tubuhmu bertambah berat, ha?"

Dia terus saja mengoceh sepanjang jalan, menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya. Dan aku masih terus menyandarkan kepala dalam gendongannya.

Hangat. Satu-satunya orang yang selalu menerima maaf dari kesalahanku.

.

Aku terbangun saat sinar matahari masuk dari sela-sela jendela dan menyilaukan mata. Aku memegangi kepalaku yang kini terasa berdenyut. Oh, tidak. Aku bahkan lupa jam berapa Kahfi mengantarku pulang malam tadi.

Aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Kami minum di sebuah bistro, dan mengobrol sepanjang malam. Seperti biasa, dia pasti bosan mendengar celotehku. Tentang kehidupanku yang tidak seberuntung dirinya.

Kahfi bukan dari golongan kaya raya. Ayahnya dulu hanya supir yang mengantarku ke sekolah dari TK hingga lulus SMP. Kemudian meninggal, akibat penyakit tipes yang dialaminya. Tentu saja aku dan dia masih berteman, karena Papa masih memberikan kompensasi biaya sekolahnya hingga masuk kuliah.

Namun itu tak bertahan lama, Mama mengamuk karena menganggap Papa ada afair dengan ibunya, yang notabenenya adalah seorang janda. Tuduhan yang akhirnya membuat malu diri Mama sendiri.

.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kemudian terbuka, sebelum sempat aku mengijinkannya masuk. Dia berdiri memandangiku yang terlihat berantakan. Ada segelas jus guava di tangannya.

"Minumlah!" Erik mengulurkan benda yang dipegangnya. "Mama membuatkannya untukmu."

Aku menerimanya dengan malas, kemudian meneguknya sampai habis. Kurasa sari buah ini bisa menghilangkan rasa pusing di kepalaku.

"Membuat apanya!" Aku berdecih. "Ini hanya jus buah dari kotak kemasan. Kau pikir aku tidak tahu, ha?" Aku mengulurkan gelas kosong kembali padanya.

Aku kembali menjatuhkan kepala yang masih terasa berat ke atas bantal. Memunggungi laki-laki yang berstatus sebagai kakak tiriku itu.

"Lain kali kalau mau pulang hubungi aku. Biar aku saja yang menjemputmu. Tak perlu selalu merepotkan orang lain."

Aku membalikkan badan. Menyipitkan mata ke arahnya. Lalu bangkit dan meraih kerah kemejanya. Dia tak melawan. Hanya sedikit mengelak sambil menahan napas. Mungkin tidak tahan dengan bau alkohol dari tubuhku.

"Kahfi bukan orang lain. Jangan berani-berani kau menyebutnya seperti itu. Dia lebih berarti bagiku daripada kalian semua. Kau dengar itu?" Aku melepaskan cengkramanku, dan mendorong tubuhnya.

"Ya, aku tahu."

"Baguslah, jadi jangan ikut campur lagi urusanku."

"Kau menyukainya?"

Oh, no. Pertanyaan macam apa itu? Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang dia menanyakannya. Bukan baru sekali ini saja dia mengantarku pulang dalam keadaan mabuk.

"Apa yang membuatmu bertanya? Kau iri, karena aku tak menelpon untuk menjemputku? Kau ingin menguasaiku saat aku sedang mabuk? Kau ingin mengambil kesempatan itu, Erik?" Aku tertawa mengejek. Mengerti kalau selama ini dia masih tertarik padaku. Atau mungkin hanya tubuhku.

"Kalau iya, kenapa?" Aku semakin tertawa.

"Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Kemana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?"

"Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?"

"Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal.

Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya.

"Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.

Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.

Fiuhh... aku selamat.

.

Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemotretan. Sebuah produk pakaian, yang memakai aku sebagai modelnya. Cukup memakan waktu. Karena ada puluhan baju yang harus aku kenakan. Yah, walaupun sebanding dengan hasil yang aku terima.

Aku duduk bersantai di kursi pangkas yang sedang kosong. Menggoyang-goyangkan badan, layaknya menikmati kursi santai. Sebentar-sebentar kujatuhkan sandarannya agar lebih rileks, hingga terdengar tawa pasiennya yang tertahan melihat kelakuanku.

Aku mengedipkan sebelah mataku pada orang itu dari balik cermin. Memajukan sedikit bibir untuk memberikan kecupan di udara. Lalu pria bertubuh ceking itu menelan saliva, menahan gugup. Aku kembali tertawa melihat sikapnya. Sambil melirik Kahfi yang juga melakukan hal yang sama dari bayangan cermin.

"Fi, sebaiknya tempat ini kau jadikan barbershop saja. Sediakan juga sofa empuk untukku." Aku menggoyang-goyangkan kaki.

"Kau tak harus selalu menggangguku di sini. Cari saja tempat lain, jika kau ingin merasa nyaman."

"Kalau tak ada kau, mana bisa nyaman," rayuku, menggodanya.

"Terserah."

"Apa Erik mengantarmu pulang tadi malam?"

"Mmmm."

"Dia mengatakan sesuatu?"

"Ya."

"Apa?"

"Seperti biasa. Mengobrol tentang apa saja yang kau lakukan."

"Lain kali jangan ceritakan apapun lagi padanya."

"Kau takut dia mengadu? Kau sudah tau kalau dia dan keluarganya selalu menutupi kelakuan burukmu itu."

"Ya, benar. Tapi itu hanya modus. Mereka hanya ingin mengambil hatiku saja. Pokoknya jangan cerita apa pun lagi padanya."

"Lain kali kalau kau mabuk, aku akan memintanya menjemputmu."

"No, Kahfi! Tidak boleh. Akan kuhancurkan kiosmu ini jika kau sampai melakukannya!" Aku benar-benar sedang mengancam.

Aku yakin kalau itu adalah keinginan Erik. Berani sekali dia mengatur hidupku dan juga Kahfi. Apakah segitu ingin, dia menguasai diriku? Oh, tidak. Jika dia menginginkanku, setidaknya dari dulu dia bisa melarang Mamanya merayu dan menikah dengan Papa. Dengan begitu, aku bisa mempertimbangkan perasaannya.

"Dia melihat kita berciuman," aduku kemudian.

Ups! Seketika alat cukur yang berada di tangannya terlepas, hingga jatuh ke lantai. Semoga saja tidak rusak. Dia terlihat gugup. Apalagi melihat pasiennya kembali menelan saliva.

"Sorry, keceplosan." Aku menutup mulut dengan telapak tangan.

.

Dia membersihkan lantai bekas rambut berserakan dengan sapu, setelah pria ceking itu pulang. Aku masih tetap bersantai sambil mengamati kegiatannya dari bayangan cermin.

"Fi, bagaimana gadis itu? Dia tak mengantarimu makanan lagi? Aku lapar," tanyaku, menggodanya.

"Kalau lapar pulanglah." Dia yang kini duduk di kursi bambu, sedang menyulut batang nikotinnya. Aku masih memandanginya dari depan cermin.

"Apa kalian putus?"

"Menurutmu?"

"Dia masih terlalu muda. Masih sekolah. Belum lagi kuliah. Dia juga ingin bekerja. Sampai usia berapa kau baru bisa menikahinya. Itupun kalau dia tidak tertarik pada teman sekelasnya. Teman kuliah, atau bahkan rekan kerja."

"Dia hampir lulus, setelah itu kami akan menikah. Orang tuanya tidak keberatan."

"Apa?"

Aku melonjak kaget. Langsung berdiri dan menghampirinya. Menghentakkan bokongku ke samping, di mana dia berada. Aku mengambil rokok dari mulutnya, kemudian menghisapnya.

"Tega sekali kau melakukan itu padaku," rutukku padanya.

"Melakukan apa?"

"Kenapa menikah secepat itu?"

Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Usianya kini sudah menginjak dua puluh enam tahun. Hanya dua tahun di atasku. Meski tak mewah, kehidupannya sudah terbilang stabil. Dengan kedai pangkas miliknya sendiri. Hasil dari menabung bertahun-tahun.

Dia sudah terbiasa bekerja serabutan kesana kemari. Dia bahkan enggan menerima bantuan dariku untuk memulai sebuah usaha. Meski kusuruh dia mengembalikannya saat sukses nanti.

Dimana lagi aku bisa mendapatkan seseorang seperti itu. Seseorang yang selalu menjadi pelindungku, sejak kanak-kanak dulu. Selalu membela, saat aku berkelahi dan dikeroyok beramai-ramai. Bahkan hingga kini, dia yang selalu menjagaku dari laki-laki nakal saat aku dalam keadaan mabuk.

Bagaimana dia bisa menikah dan meninggalkanku sendirian. Mana mungkin istrinya kelak membiarkan dia terus-terusan bersamaku saat aku butuh. Aku tak mau kehilangan itu. Tidak akan pernah aku ijinkan.

"Fi?"

"Hemmm."

"Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku padamu."

"Tanggung jawab apa?"

"Aku tidak akan membiarkan kau jadi jomlo lagi."

"Kau akan bicara padanya? Mengatakan kalau itu hanya kesalahpahaman? Apa kau pikir dia akan percaya?" Lagi-lagi dia berdecih.

"Aku tidak sedang membicarakan Ara," sanggahku.

"Hem? Lalu?"

"Kau tenang saja. Aku yang akan menikahimu."

Seketika suara batuk terdengar dari mulutnya. Cukup lama, sampai keluar air di pelupuk matanya. Apakah dia sedang terharu padaku? Atau terlalu gembira?

**********

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel