01. Mencari Keberuntungan
Dinginnya udara di pagi hari, menyelimuti kawasan hutan larangan di Pegunungan Dewa Agung. Rasa dinginnya hingga menusuk tulang dan meresap masuk kedalam sumsum.
Dari jauh, tampak seorang remaja berusia 16 tahun, dengan penuh semangat melangkahkan kakinya menuju kesebuah hutan larangan, dikawasan gunung tersebut.
Sekelompok remaja yang berpapasan dengannya, mengolok-olok dan mengejeknya. "Lihat itu si hina yang sedang mencari kematiannya!" Ejek salah seorang remaja.
"Dia itu aib dikampung kita," sambung remaja lainnya.
Remaja yang selalu di hina itu, terus melangkahkan kakinya, menghiraukan hinaan tersebut. "Aku harus menjadi kuat," ucapnya dalam bati
Jiwanya bergetar. Meskipun langkah kakinya terus terayun, namun dari mimik wajahnya, terlihat sepenggal rasa dendam. "Aku harus berusaha untuk menjadi kuat," batinnya lagi.
Remaja itu bernama Hanggara, seorang remaja sebatang kara yang hidupnya terlunta-lunta, dan selalu mendapat hinaan dari orang-orang sekampungnya.
Penghinaan dan cacian yang dia terima, terjadi setelah kedua orang tuanya meninggal. Hidupnya sebatang kara, hanya ada seorang sepuh sebagai Ketua Kampung, yang selalu memberikan perhatian kepadanya.
Namun oleh semua saudara-saudaranya, dia dikucilkan dan dianggapnya sebagai pembawa sial, sampai-sampai ketika kedua orang tuanya meninggal, dituduhkan kepada dirinya sebagai anak pungut pembawa sial.
Anak pungut! Dia selama ini memikirkan, siapakah orangtua Hanggara yang sebenarnya. Walaupun dia mencari tau, namun seorangpun dari saudara-saudaranya, tidak ada yang tau persis, kapan dan siapa yang membuang dirinya, dan ditemukan dipinggir hutan oleh seorang pria setengah baya, ketika pria itu tengah mencari kayu bakar.
Karena asal usul dirinya tidak jelas itulah, maka dirinya dianggap sebagai anak pungut pembawa sial.
Meskipun Hanggara selalu di hina, dituduh sebagai pembawa sial, dilempari batu dan diusir dengan penuh cacian. Dia tidak bisa membalasnya, karena dirinya sendiri merasa sebagai orang yang sangat lemah, tidak memiliki kekuatan untuk melawan orang-orang yang kuat, yang selalu menindas dirinya.
Hingga dia akhirnya nekad memasuki hutan larangan, hanya untuk mendapatkan sebuah keberuntungan.
Dengan hanya mengandalkan keberanian, dan berharap bertemu dengan sebuah keberuntungan, yang dapat merubah nasibnya, Arya terus melangkahkan kakinya, dengan penuh semangat dan keyakinan yang kuat didalam dirinya.
Menjelang sore, akhirnya dia menemukan sebuah sungai yang airnya sangat jernih.
Dengan tubuhnya yang lelah, dan keringat yang membasahi pakaiannya, Hanggara berniat membersihkan dirinya, sebelum melanjutkan kembali perjalanannya.
Setelah membuka pakaiannya, lalu dia melompat ke sungai, dan terus menyelam ke dalam air yang sangat menyejukkan.
Dengan mengandalkan kemampuan fisiknya yang lemah, dia mampu bertahan beberapa menit di dalam air. Lalu kembali muncul di permukaan air, dan bergegas beranjak dari sungai.
Setelah mengenakan pakaiannya kembali, kemudian dia melanjutkan perjalanannya lagi, memasuki hutan larangan.
Saat memasuki bagian dalam hutan larangan, dia merasakan aura yang semakin kuat menerpa dirinya. Walaupun demikian, dia terus melangkahkan kakinya memasuki hutan larangan lebih dalam lagi.
Kemudian dia menghentikan langkahnya sejenak, saat tiba-tiba lapisan kabut tipis bergerak, menyelimuti seluruh hutan larangan.
Hanggara berharap, semoga dapat menemukan sesuatu yang berharga didalam hutan tersebut.
Dia terus melangkahkan kakinya, melewati kabut tipis.
Tiba-tiba Hanggara dikejutkan oleh suara teriakan yang menggema di seluruh hutan larangan.
"Hai bocah nakal! Berani-beraninya kamu memasuki kawasan hutan terlarang!"
Suara tersebut menggema, diseputaran kawasan hutan.
"Hari ini kamu akan menjadi santapan ku!"
"Tuan, siapakah anda sebenarnya? Aku tidak bermaksud mengganggu tuan, aku hanya tersesat," ucap Hanggara memberanikan diri membalas teriakan suara itu.
"Hari ini kamu tetap akan menjadi santapan ku." Suara itu terus menggema.
Tanpa berpikir panjang, Hanggara lalu berlari sekencang-kencangnya, sambil mencari jalan keluar dari hutan larangan. Namun tidak semudah yang dia pikirkan, karena dalam keadaan kalut, dia lari selari-larinya. Tanpa memperhatikan keadaan disekitarnya. Dia terus berlari memasuki hutan lebih dalam lagi. Akibatnya tanpa disadari, dia berhadapan dengan seekor hewan buas. Tanpa berpikir lagi, dia balik arah menuju ke sebelah kiri, dan terus berlari sekencang-kencangnya.
Tidak terasa, dia tiba didepan sebuah gubuk tua ditengah hutan. Dia sejenak diam mematung, memperhatikan keadaan disekitar gubuk tua itu.
Tiba-tiba muncul seorang pria tua dihadapannya, entah darimana datangnya, menghampiri Hanggara yang mematung memperhatikan sosok pria tua tersebut.
Wajah pria tua itu tersenyum ketika melihat Hanggara, lalu pria itu menggunakan mata malaikatnya untuk melihat tubuh Hanggara, hingga membuat pria tua itu semakin tersenyum renyah.
"Hmm...! Tipe tubuh kaisar," batin pria tua takjub.
Kemudian pria tua itu membawa Hanggara masuk ke dalam gubuk tua.
Swhuusss.... Whuungg..
Seperti dalam mimpi, tiba-tiba Hanggara berada disebuah Istana Kerajaan yang megah.
"Nak...! Siapa nama mu? Tanya pria tua tersebut dengan ramah.
"Hanggara," jawabnya gugup. "Tuan, dimanakah ini?" Tambah Hanggara balik bertanya.
"Saat ini kamu berada didalam dunia kecil ku, dan ini adalah Istana Kerajaan Dewa Agung," jawab pria tua.
Tanpa basa-basi lagi, pria tua itu meminta Hanggara untuk menjadi muridnya.
"Panggil aku Kakek Guru Brahmana, kamu akan menjadi muridku," ucapnya tersenyum ramah.
Hanggara tidak segera menjawab.
"Apakah kamu bersedia?"
Hanggara malah bingung. Ditatapnya Kakek Guru Brahmana lekat-lekat.
"Hanggara, apakah kamu bersedia?" Tanya ulang Kakek Guru Brahmana.
Setelah berpikir cukup lama, Hanggara menganggukkan kepalanya.
"Aku bersedia Kakek Guru!" Ucap Hanggara, memberi hormat berlutut dihadapan Kakek Guru Brahmana.
"Hahaha.... Akhirnya setelah ribuan tahun, aku memiliki seorang murid," ucapnya bahagia.
Hanggara terkejut mendengar ucapan gurunya. "Kakek Guru, siapakah anda sebenarnya?" Tanya Hanggara penasaran.
"Suatu saat nanti, kamu akan tau siapa diriku yang sebenarnya. Sekarang yang perlu kamu tau, aku adalah gurumu," ucap Guru Brahmana. "Baiklah, hari ini kamu istirahat dulu. Karena besok kita akan memulai latihan," tambahnya.
Setelah berkata, pria tua itu lalu menunjukkan sebuah kamar, untuk Hanggara istirahat.
Didalam kamar, Hanggara berusaha untuk berkultivasi. Meskipun dirinya dianggap cacat, karena tidak bisa berkultivasi, sehingga saudara dan penduduk kampung menganggapnya sebagai pemuda pembawa sial, namun dia tidak berputus asa, berusaha dan berusaha terus.
Pagi harinya, Hanggara sudah mulai latihan dibimbing oleh Kakek Guru Brahmana.
"Ini adalah air terjun es. Silahkan kamu berendam dibawah air terjun," perintah Kakek Guru Brahmana.
Hanggara menuruti perintah Gurunya, tanpa membantahnya.
Pertama masuk kedalam kolam, airnya terasa dingin sekali. Setelah berendam cukup lama, rasa dingin itu semakin menjadi dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kulit, daging dan tulang-tulangnya terasa membeku, hingga dia berusaha menahan rasa dingin, yang membekukan seluruh tubuhnya, dengan mengalirkan energi murni keseluruh tubuhnya.
Sekuat mungkin, dia harus bertahan agar tetap sadar. Meskipun terasa sangat menyakitkan "Aku harus berhasil menjadi kuat," batin Arya menahan rasa sakitnya
Tubuhnya semakin tegang dan membeku.
"Tetap bertahan. Air itu tidak akan membunuhmu," kata Guru Brahmana.
Hanggara yakin bahwa kata-kata gurunya benar, dan gurunya pasti akan melindunginya.
Menjelang malam harinya, dia sudah tidak merasakan dingin lagi. Malah kebalikannya, tubuhnya terasa hangat dan nyaman. Namun perutnya terasa perih karena lapar.
Setelah dia diperintahkan oleh gurunya untuk beranjak dari air terjun. Baru dia menghampiri gurunya, yang sudah membakar dua ekor ayam hutan.
"Makanlah," ujar gurunya.
"Hmm... Kebetulan aku lagi lapar," batin Hanggara, sambil meraih seekor ayam panggang dihadapannya.
Setelah merasa kenyang, Hanggara lalu beristirahat masuk ke kamarnya.
Esok harinya, dia disuruh membaca semua kitab-kitab suci kuno, yang ada didalam sebuah ruang pustaka istana.
Banyak kitab-kitab suci kuno, memiliki tingkatannya masing-masing. Begitu juga dengan kitab kuno tingkatan kultivasi.
Setiap hari, Hanggara berlatih dengan berendam dibawah air terjun es, dan membaca semua kitab-kitab suci kuno, yang ada di ruang pustaka istana tersebut.
Selain fisiknya semakin kuat, pengetahuannya tentang dunia kultivasi juga menjadi semakin luas.
Tidak terasa, sudah satu tahun berlalu, tubuh Hanggara menjadi lebih kuat, pada saat bergerak terasa lebih ringan. Titik-titik meridian ditubuhnya telah terbuka, sehingga dapat menyerap kekuatan dari luar menjadi tenaga inti.
Kekuatan fisiknya meningkat pesat kuat dan tangguh. Kualitas tulangnya juga semakin meningkat.
Kualitas tulang memiliki tingkatan, mulai dari yang terendah seperti tulang gajah, tulang Qilin, Phonix, dan tulang naga. Setiap tingkatan terbagi menjadi tingkat perunggu, perak, emas, berlian dan dewa.
Sedang Hanggara sendiri, setelah berlatih terus menerus, saat ini kualitas tulangnya telah mencapai tulang naga tingkat berlian, satu tahap lagi naik ke tingkat dewa.
"Nak Angga, besok kamu pindah berendam di air panas mendidih. Kebalikannya dari air es yang membeku," ucap gurunya.
"Baik Kakek Guru," jawab Hanggara semangat.
Pagi harinya, Hanggara mulai berendam di air panas yang mendidih. Tampak permukaan air itu mendidih dan mengeluarkan uap panas.
Hanggara memberanikan diri memasuki bak air yang mendidih. Tiba-tiba uap air panas itu bergerak menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Oohhh...." Keluh Hanggara menahan rasa panas yang menyakitkan, serasa membakar seluruh tubuhnya.
"Ohh... Akhh..." Keluhnya lagi, sambil merasakan rasa panas air kolam mendidih.
Enam jam berlalu, kini Hanggara sudah tidak merasakan rasa panas itu lagi.
"Hahaha.... Tipe tubuh kaisar langit memang sangat luar biasa," ujar Guru Brahmana, sambil terus mengawasi muridnya.
Setiap hari terus menerus Hanggara berlatih dengan berendam di bak air panas yang mendidih, dan membaca kitab-kitab suci kuno.
Bersambung....
