Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. 100 Cambuk

Setelah malam itu, Sarita menjadi gadis yang pendiam. Gadis itu terus menghindar agar tidak bertemu langsung dengan Bagaskara yang sekarang sedang menjadi dosennya. Baik di kampus maupun di rumah, Sarita selalu menghindar. Dia tidak ingin melihat wajah lelaki yang sulit untuk dia raih. Namun, berbeda dengan Bagaskara.

Pria muda matang dengan segala pesonanya makin mendekat dan selalu inginkan bercinta dengan Sarita. Suatu malam, Bagaskara menyelinap masuk ke kamar gadis itu. Tanpa bicara dia langsung berbaring di sisi kosong Sarita. Tangannya memeluk pinggang sang wanita sedangkan tapak tangan yang lain membekap mulut Sarita agar si gadis tidak berteriak.

"Tu-tuan!" ucap Sarita, "Jangan sentuh aku lagi, lihat dulu ini!" pinta Sarita.

Iya, gadis itu tidak bodoh. Selama satu bulan ini dia selalu menghindari Bagaskara karena tidak ingin tubuhnya tersentuh lagi. Apalagi pagi ini dia sudah mengecek kesehatannya yang dia rasa ada perubahan pada beberapa titik di tubuhnya. Dan apa yang dia khawatirkan benar terjadi, Sarita hamil.

"Apa ini? Kau ... hamil, bagaimana mungkin?" kata Bagaskara sambil bangkit dam duduk di tepian ranjang.

"Tuan tahu saya hanya tidur dengan Anda, satu kali dan itu pertama juga terakhir. Sejak saat itu saya tidak pernah menggoda Anda satu kali pun," kata Sarita dengan nada tegas.

Bagaskara menyunggar rambutnya yang sedikit panjang. Pria itu mendengus lirih. Lalu menarik tangan Sarita dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Simbok Marni hanya diam menatap kepergian putrinya yang ditarik paksa oleh anak majikannya itu. Bagaskara membawa Sarita hingga ke rumah inti, lebih tepatnya di depan sebuah pintu megah bergagangkan emas. Kamar Madam Anne.

Bagaskara mengetuk kamar bundanya berulang kali, bahkan terdengar tidak sabar ingin segera berbicara dengan sang bunda. Setelah ketukan yang ke tiga kali baru pintu terbuka dan menampilkan sosok Madam Anne yang seram. Tatapan tajam menusuk, sepertinya dia merasa terganggu akan ketukan pintu. Namun, setelah melihat wajah putranya seketika wajah itu melunak.

"Ada apa, Bagas?" tanya Anne.

"Aku ingin bertanggung jawab atas hamilnya Sarita, Bunda!" kata Bagaskara.

Anne terdiam, pikirannya yang masih terbawa mimpi menepuk kedua pipinya silih berganti. Apa yang dia dengar membuatnya tidak percaya. Mana ada seorang anak pembantu telah berhasil memperdaya putranya yang selama ini menjadi casanova. Anne menggelengkan kepala.

"Apa maksud kamu, Sarita?" tanya Madam Anne.

"Maafkan saya, Madam. Saya hamil!" kata Sarita.

"Kau jebak putraku agar menikahimu untuk menaikkan derajatmu. Benar 'Kan?" tekan Madam Anne.

"Tidak Bunda, kami saling Cinta!" jawab Bagas.

"Cuih, Cinta?!"

Anne kembali diam, wanita itu menatap tajam kedua anak menusia yang sudah dewasa. Putranya yang baru saja mengalami perceraian beberapa bulan yang lalu kini sudah berhasil menghamili wanita. Apakah ini artinya menantunya yang dulu itu mandul? Semua diluar dugaan, justru disaat dia inginkan seorang cucu malah hadir dari rahim keturunan pembantu. Anne tidak terima, tetapi semua sudah jelas.

Anne memgeram kecewa, tetapi semua sudah terlanjur. Dengan berat hati wanita itu pun melangkah ke ruang keluarga, mencari tempat yang lapang. Bagaskara masih menggenggam jemari Sarita dan berjalan mengikuti langkah bundanya.

"Bukankah Bunda inginkan penerusku sejak lama, kini aku dapatkan. Sekarang restui pernikahan kami!" pinta Bagaskara tegas.

"Ini adalah anak haram, Bagas, dan kau tahu hukuman di keluarga kita untuk pezina sepeerti kalian!" kata Anne tegas. "Marni, bawa cambuk itu!" teriak Anne.

Marni sejak putrinya ditarik oleh Bagaskara tadi dia mengikuti dari belakang dan mengintip putrinya, ketika mendengar teriakan permintaan majikannya maka dia pun gegas berbalik badan dan berjalan ke gudang. Setelah mengambil apa yang diminta oleh majikannya, dia pun kembali ke ruang keluarga masih dengan derai air mata.

"Ini cambuk itu, Madam!" kata Marni saat menyodorkan cambuk tersebut.

Anne menerima cambuk leluhurnya itu, dia menggerakkan dengan tenaga penuh. Terdenhar suara ujung cambuk yang menyentuh lantai. Suaranya membuat hati wanita bagai teriris pisau tajam, perih. Sarita bergidik ngeri membayangkan jika punggungnya terpecut hingga 100 kali cemeti.

"Tuhan, tolong-lah hamba!" batin Sarita.

Tubuh Sarita bergetar, sangat terlihat jika jemarinya saling bertaut untuk menetralkan kegelisahan hatinya. Bagaskara meraih jemari wanitanya dengan berbisik lirih, "Tenanglah, jangan khawatir!"

Madam Anne berjalan memutari tubuh kedua anak manusia yang masih berdiri tegak di depannya. Terlihat tubuh Sarita bergetar, hal ini membuat senyum penuh misteri terukir di bibir tipis wanita keturunan Turki. Otak wanita itu berputar memikirkan cara agar keduanya bisa berpisah setelah keturunan putranya lahir.

"Baik, aku luluskan keinginanmu, Bagas. Tapi ada syaratnya. Apa kalian siap?" tanya Anne.

"Apapun itu, kami harus siap, Bunda!"

"Baik, sekarang tengkurap di sofa. Terima hukuman cambuk masing-masing 80X!" kata Anne dengan nada datar.

Sarita pun menurut, gadis itu segera melakukan apa yang dikatakan oleh Anne. Wanita keturunan Turki tanpa hijab itu pun segera menggerak cemetinya dan memukul tepat pada punggung Sarita sebanyak sepuluh kali, lalu berganti pada punggung putranya sendiri. Anne memang terkenal adil dan tegas, tetapi terkadang juga julid.

Dia tidak memedulikan nasib kaum sudra, apalagi sekedar pembantu. Anne hanya memukul cambuknya pada sang putra sebanyak sepuluh kali, sedangkan pada Sarita dia memukulnya hampir 50 X. Itu pun tidak ada niat untuk berhenti jika bukan teriakan henti dari sang putra.

"Kau! Aish, urus wanitamu dan suruh si Marni siapkan arsip anaknya kalian nikah malam ini juga!" kata Anne dengan nada tegas dan kasar.

Bagaskara segera menghampiri tubuh wanitanya, direngkuhnya kedua bahu Sarita lalu ditarik agar bisa berdiri. Dengan lembut dipapahnya tubuh itu menuju ke kamar pribadinya. Sarita hanya diam saja mengikuti apa yang dilakukan oleh Bagaskara, dia tidak ingin berontak. Hingga sampai di dalam didudukkan gadis itu di tepian ranjang.

"Maafkan aku, semua gara-gara aku tidak bisa menahan hasrat hingga kau dapatkan nista seperti ini!" lirih Bagaskara sambil membuka perlahan pakaian atas Sarita.

Tampak luka lebam dan memerah akibat cambuk, ada aliran darah di antara luka tersebut. Bagaskara pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kotak obat yang diletakkan pada sudut kamar. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan maka dia pun kembali dan duduk memulai mengoleskan salep.

Setelah semua luka tertutup oleh salep, Bagaskara pun bangkit lagi. Kali ini dia menuju ke sebuah almari untuk mengambil sesuatu. Dia sudah mendapatkan barang tersebut, sebuah paper bag berwarna hitam diserahkan pada Sarita.

"Pakai ini saat ijab nanti!" kata Bagaskara.

"Apa harus sekarang, Mas?" tanya Sarita.

Bagaskara termangu mendengar Sarita memanggilnya dengan sebutan Mas. Sungguh tidak dia kira, suara gadis tersebut sangat merdu begitu menyuarakan kata mas. Hingga dia inginkan lagi dan lagi. Sarita menunduk malu.

"Segera kamu pakai!"

"Di sini, Mas?" tanya Sarita polos.

"Iya, mau di mana lagi. Cepat, sebelum bundaku teriak!"

Sarita pun mulai melepas pakaian miliknya yang tersisa. Pandangan Bagaskara tidak bisa berpaling. Tubuh wanitanya lebih indah dari malam kemarin. Dia tidak menyangka akan keindahan ini, apalagi setelah gaun itu lengkap dipakai oleh Sarita.

"Cantik! Ayo segera kita ke depan!" ajak Bagaskara.

Keduanya pun berjalan ke ruang kerja Madam Anne, di sana sudah berkumpul semua penghuni mansion tanpa kecuali bahkan ada seorang ustad yang akan menjadi naib nya. Tampak Simbok berdiri dengan map yang dia dekap erat, seakan tidak mau sesuatu terjadi dengan map tersebut.

"Maaf, apakah semua sudah siap? Benar inginkan nikah siri saja?" tanya Pak Ustad.

"Nikah siri ini secara hukum agama sah, tetapi rentan dan merugikan pihak wanita. Apakah tidak lebih baik langsung secara dua hukum yaitu agama dan negara?" tanya Pak Ustad lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel