Pustaka
Bahasa Indonesia

Kubawa Benihmu, Mas!

21.0K · Ongoing
shaveera
23
Bab
75
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Apa maksud kamu, Sarita?" tanya Madam Anne. "Maafkan saya, Madam. Saya hamil!" kata Sarita. "Kau jebak putraku agar menikahimu untuk menaikkan derajatmu. Benar 'Kan?" tekan Madam Anne. "Tidak Bunda, kami saling Cinta!" jawab Bagas. Pertikaian terus berlangsung, Sarita yang hanya anak pembantu hanya menunduk. Sedangkan ibunya menangis tersedu melihat nasib putrinya. Apa daya tangan seorang pembantu tidak mampu menyelamatkan derita putrinya kala hukuman 100 cambuk mendera Sarita. Bagaimana kisah selanjutnya, mampukan Sarita berdiri tegak dan menatap masa depan? Apa yang terjadi setelah hukuman cambuk itu dilaksanakan?

PerceraianPengkhianatanMetropolitanBillionairePernikahanIstriDewasa

1. Malam Laknat

Kendaraan melaju dengan kecepatan sedang. Hujan semakin deras dengan angin bertiup kencang. Sarita terlihat mulai kedinginan, sedangkan Bagaskara terus melajukan kendaraannya. Di tengah lebat hujan, pria itu tidak memedulikan teriakan Sarita untuk menepi, hingga akhirnya di sebuah pos kampling Bagaskara menepikan kendaraannya.

"Turun!"

Tanpa menjawab, Sarita segera turun dari kendaraannya tersebut. Lalu dia pun masuk ke dalam pos yang kebetulan sedang kosong. Bagaskara memarkirkan kendaraan terlebih dahulu, merasa sudah benar barulah dia masuk. Sebuah pemandangan yang indah terpampang di depan mata.

Keindahan yang selama ini dia abaikan saat pulang ke rumah. Wajah yang begitu sempurna dengan lekuk tubuh menggoda membuat hasratnya bangkit. Apalagi sudah beberapa bulan kejantanan Bagaskara tidak tersentuh. Pikiran pria itu melayang tidak karuan. Bagaskara mendekat pada Sarita membuat gadis itu beringsut mundur hingga tubuhnya menempel pada dinding.

"Ini semua gara-gara kamu membawa kendaraan roda dua. Bukankah di rumah masih ada mobil, mengapa tidak bawa itu?" tanya Bagaskara dengan penuh penekanan.

"Maafkan saya, Tuan. Tanpa ijin madam saya tidak berani, apalagi saya hanya anak pembantu yang tentunya tidak bisa mengemudi kendaraan mewah tersebut," papar Sarita dengan nada gemetaran akibat kedinginan.

Bagaskara melepas jaket kulitnya, lalu menyerahkan jaket tersebut pada Sarita dengan berkata, "Pakai ini, kau kelihatan makin menyedihkan!"

Dengan tangan bergetar, Sarita menerima jaket tersebut lalu mengenakannya. Bagaskara pun akhirnya duduk di samping kanan wanita muda itu. Aroma shampo dan harum tubuh Sarita menguar, Bagaskara menghidu perlahan. Tangan kekar itu terulur meraih bahu perempuan yang berada di sampingnya.

"Tuan!" lirih Sarita.

Suara yang merdu di antara suara hujan membuat bulu tangan Bagaskara meremang. Pria yang sudah lama tidak menyentuh dan berhasrat, kini dia merasakan sesuatu mulai bangkit dan mendesak ingin keluar. Sarita yang melihat adanya kabut di manik mata anak majikannya berusaha melepas rengkuhan tangan sang pria. Namun, jemari kekar itu mencengkeram bahunya hingga gadis itu meringis.

"Tuan!" kata yang keluar dengan bibir mungil itu tampak menggoda.

Bagaskara mulai mendekatkan kepalanya dan perlahan melumat bibir yang sudah memanggilnya. Sarita melakukan pemberontakkan, tetapi tenaganya kalah akan hasrat sang lelaki. Tubuh gadis itu mengelinjang tidak menentu berusaha menghindar setiap sentuhan Bagaskara. Namun, tidak untuk pria itu. Pergerakan gadis yang merekah itu membuat dia semakin bergelora. Akhirnya peristiwa itu terjadi.

Bagaskara mendongak merasakan sensasi yang begitu indah, untaian selaksa yang menggugah hasrat. Lelaki itu terdiam, dia merasakan seakan telah merobek sesuatu yang nikmat. Lenguhan panjang keluar di antara isak tangis gadis yang masih dalam kuasanya. Sarita menangis lirih, isak tangisnya seakan belum bisa menyadarkan kegilaan Bagaskara dalam meraih nikmat surgawi.

"Tuan, sa-sakitt!" desis Sarita di cuping Bagaskara.

"Apakah aku yang pertama untukmu?"

Sarita seketika menutup mulutnya, gadis itu seakan kecewa akan satu kata --bodoh--. Begitu mudahnya terperangkap dalam pergumulan yang nantinya akan merugikan dirinya. Dengan sekuat tenaga Sarita berusaha keluar dari keadaan yang merugi itu. Di dorongnya tubuh Bagaskara agar bisa menjauh dari tubuhnya.

"Tuan, bisakah turun dari tubuhku sekarang!" pinta Sarita dengan nada rendah nyaris tidak terdengar.

Sarita meringis, merasakan ketidaknyamanan karena Tuan-putra dari sang majikan terus menggerakkan tubuhnya demi mencapai kepuasan. Semua ini berawal dari perintah Madam Anne--majikannya yang meminta ia menjemput Bagaskara di bandara. Bermodalkan motor, ia memenuhi perintah tersebut. Namun, cuaca yang semula cerah berubah menjadi hujan lebat. Sarita dan Bagas pun meneduh di sebuah gubuk pinggir jalan. Entah setan apa kemudian yang merasuki putra sang majikan, hingga kini mereka berakhir berhubungan badan.

Bagaskara masih terdiam, terlihat pria itu begitu menikmati penyatuan yang baru saja dia lakukan. Setelah merasa puas, dilepasnya penyatuan tersebut dengan lenguhan lirih. Sedangkan Sarita segera meraih pakaian dalamnya yang teronggok begitu saja di lantai. Mata gadis itu masih mengeluarkan bulir bening air mata sambil sesekali terdengar isak tangisnya.

"Sudah, hentikan tangismu dan basuh wajahmu itu dengan air hujan! Aku tidak mau kau terlihat kucel," gumam Bagaskara sambil membenarkan celana panjangnya.

Sarita perlahan bangkit, sakit yang dia rasakan pada pangkal pahanya ditahan sebisa mungkin. Gadis itu kini sudah ternoda, berjalan sedikit menyeret akibat rasa nyeri. Bagaskara memicingkan matanya, dia merasa aneh dengan cara berjalan wanita muda itu.

"Perbaiki cara jalanmu, jangan manja!" desis Bagaskara.

Pria itu pun segera berjalan menuju ke kendaraan yang masih terparkir diluar. Sebuah helm dipasangkan pada kepala Sarita ketika gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Kemudian membantu Sarita naik ke boncengan, merasa sudah nyaman barulah Bagaskara menyalakan mesin dan melaju ke rumah sang mommy. Tidak butuh waktu lama, kendaraan roda dua tersebut pun memasuki wilayah rumah mewah bergaya Pakistan.

Bagaskara langsung turun dan meninggalkan Sarita tanpa suara. Perempuan itu mendengus lirih. Sakit yang masih dia rasakan diabaikan begitu saja. Dengan langkah panjang, Sarita menuju ke rumah belakang dimana dia biasa berteduh.

"Assalamualaikum, Mbok!" sapa Sarita kala pandangannya bertemu dengan mata teduh wanita tua.

"Waalaikumsalam, baju kamu basah. Apa tidak berteduh, Nduk?" tanya Simbok.

"Berteduh, Mbok. Tapi terlambat, si Aden Bagas tidak memedulikan keadaan yang ada dan kebetulan jalanan lagi ramai." Sarita menjelaskan dengan nada kesal.

"Iya sudah, segera mandi air hangat. Tunggu sebentar biar simbok rebuskan air hangat!"

Sarita pun masuk ke dalam kamarnya, dia berniat untuk mengambil pakaian ganti. Setelah semua siap, akhirnya gadis itu pun keluar lagi. Langkahnya terlihat sedikit susah akibat rasa nyeri pada pangkal pahanya. Simbok yang sempat melihat cara jalan putrinya hanya membekap mulutnya. Wanita tua itu bisa meraba apa yang sudah terjadi pada Sarita. Namun, wanita itu belum berani bertanya.

"Mandi-lah Sarita! Simbok tunggu di luar pintu untuk menerima pakaian kotor kamu," kata Simbok dengan nada rendah.

Sarita pun segera menutup pintu setelah tersenyum pada simboknya walau terpaksa. Terdengar dengus napas lirih dari wanita tua itu. Lalu saat pintu terbuka, dia pun menerima uluran tangan Sarita yang mencengkeram pakaian kotor dan basah.

Dibawanya pakaian tersebut lalu duduk di balai bambu, perlahan dibuka lembar demi lembar pakaian putri yang sedari kecil diasuh dan bimbing. Air mata keluar perlahan kala didapati noda merah pada celana dalam Sarita. Diusap, lalu dicium noda tersebut. Simbok tergugu.

"Mbok, ... maafkan Sarita!" ucap Sarita dengan nada rendah nyaris tidak terdengar sambil berjalan mendekat, lalu duduk di samping kanan simbok.

Simbok menatap wajah putrinya dengan gelengan kepala, lalu direngkuh bahu Sarita. Wanita tua itu tidak berkata sedikit pun, hanya jemari keriputnya yang mengusap lembut ujung kepala basah Sarita hingga ke punggung. Berulang begitu terus. Lelehan air mata pun juga masih terlihat meski hanya sesekali.

"Bagaimana pun keadaan kamu, simbok tetap simbok, Nduk. Tetapi jangan kau umbar aib ini, simpan dulu hingga kau temukan pria sejati yang bisa menerimamu apa adanya!" pesan wanita tua itu.

"Baik, Mbok. Doa kan saja semua ini baik-baik saja hingga aku wisuda nanti!" pinta Serena