BAB 8: ALAM MINANGKABAU
Tiga puluh menit kemudian, pesawat bersiap mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Terlihat gedung dengan atap bergonjong semakin mendekat.
“Selamat datang di Ranah Minang,” sambut Samiya dalam bahasa Indonesia kepada Tae Ho.
Kim Tae Ho mengernyitkan dahi karena tidak mengerti dengan apa yang baru dikatakan Samiya.
“Minangkabau-e eoseo Oseyo.” Samiya mengulangi kalimat yang sama dengan menggunakan bahasa Korea.
Terlihat sebuah senyuman mengambang di bibirnya. Kim Tae Ho merasa lega ketika melihat wanita itu tersenyum kembali padanya. Senyuman itu terlihat begitu manis di matanya. Dia bahkan kini menyadari, Samiya telah bersemayam di sebuah tempat terindah di hati.
Seorang wanita sederhana yang berhasil memberikannya ketenangan, mengajarkan kepada fitrah sebagai seorang manusia. Sosok yang mampu menghadirkan kehidupan yang berarti dan penuh makna. Samiya kini telah mengambil alih dunianya.
Setelah turun dari pesawat, mereka lalu mengambil barang bawaan. Tidak banyak yang mereka bawa, hanya dua koper berukuran besar.
Kim Tae Ho terlihat sedikit canggung ketika melihat keadaan sekitar. Sekarang keadaan menjadi terbalik, kini ia yang terlihat berbeda di keramaian. Mata sipit, kulit putih dan tubuh tingginya menjadi pusat perhatian orang-orang di bandara.
Setelah menemukan taksi, mereka segera berangkat ke kota di mana Samiya dilahirkan dan dibesarkan. Perjalanan dari BIM ke Bukittinggi memakan waktu dua jam. Jalanan yang berliku menjadi tidak terasa dengan keindahan alam yang terpampang luas di sepanjang perjalanan. Lembah dan bukit hijau menghiasi perjalanan mereka.
Salah satu objek wisata yang sangat disukai oleh wisatawan dalam perjalanan Padang-Bukittinggi adalah Air Terjun Lembah Anai. Bunyi air yang mengalir deras dari puncak bukit, ditambah dengan pepohonan yang tumbuh mengitarinya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Air jernih yang berada di bawah air terjun, seolah memanggil untuk menceburkan diri ke dalamnya. Sesekali terdengar bunyi monyet-monyet saling bersahutan.
Samiya meminta sopir taksi untuk berhenti sejenak di Lembah Anai. Dia ingin mengajak Tae Ho menikmati keindahan alam Ranah Minang yang tak kalah menarik dengan keindahan alam Korea.
Ketika turun dari taksi, Kim Tae Ho terkagum melihat keindahan alam yang masih terjaga itu. Dia merasakan sejuknya udara di sana.
“Kamu mau turun ke sana?” tanya Samiya pada Kim Tae Ho.
Pria itu menggelengkan kepala dan menatap lekat wajah cantik yang ada di hadapannya.
“Kita tidak bisa berlama-lama. Apa kamu mau sampai di rumahmu larut malam?”
Samiya menggelengkan kepala dan tersenyum
“Kamu benar.”
Puas menikmati keindahan alam Lembah Anai, taksi kembali melaju dengan cepat. Kim Tae Ho benar-benar takjub di sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang terlihat bukit yang dipenuhi dengan pohon-pohon hijau.
“Pak, nanti berhenti di Sate Mak Syukur ya?” pinta Samiya kepada sopir taksi.
Setelah melanjutkan perjalanan beberapa menit, mereka tiba di tempat penjual sate terkenal di Sumatera Barat yang berlokasi di kota Padang Panjang.
Samiya sudah tidak sabar ingin memperkenalkan makanan khas Indonesia ini kepada Tae Ho. Dia pun mengajak sopir taksi untuk ikut makan sate bersama mereka. Tidak lupa Samiya meminta agar argonya dibiarkan menyala. Mereka lalu masuk ke dalam restoran untuk menikmati sate.
“Ini namanya sate, makanan khas Indonesia,” ucap Samiya bangga.
“Hm, wangi sekali. Rasanya pasti enak,” seru Tae Ho.
Dia melihat ke arah satu porsi sate yang ada di depannya, berisi satu ketupat dan sepuluh tusuk daging. Kim Tae Ho kemudian memasukkan satu tusuk daging ke mulutnya. Pria itu terlihat sangat menikmatinya.
Kim Tae Ho mengalihkan pandangan ke arah kaleng besar yang berisi kerupuk kulit berukuran besar.
“Ini apa?” tanya Tae Ho.
“Itu namanya karupuak jangek. Coba dimakan, rasanya enak.”
Samiya mengambil satu kerupuk kulit, mencocolkan ke kuah sate, kemudian memakannya.
Tae Ho meniru apa yang dilakukan Samiya, lalu memakannya.
“Enak sekali,” ujarnya setelah mencicipi kerupuk kulit, “apakah semua sate rasanya sama?”
Samiya menggeleng dan menjelaskan, “Sate itu jenisnya banyak. Ada sate daging sapi seperti ini dan ada juga yang terbuat dari daging ayam. Di kota Padang, ada sate yang enak dan terkenal terbuat dari siput, namanya Sate Lokan. Kuahnya juga berbeda, ada kuah kuning seperti ini dan ada yang pakai kuah kacang. Biasanya kuah kacang itu khas sate Madura. Indonesia mempunyai ragam kuliner, karena terdiri dari beragam daerah dan budaya.”
Setelah menikmati salah satu kuliner terkenal di Ranah Minang, mereka melanjutkan perjalanan menuju kota kelahiran Samiya. Sepanjang perjalanan Samiya dengan antusias menjawab semua pertanyaan Tae Ho seputar budaya Minangkabau.
***
Suasana Kota Bukittinggi terasa begitu dingin di malam hari. Taksi yang membawa Samiya dan Tae Ho terlihat memasuki pekarangan rumah orang tua Samiya. Sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang indah dihiasi tanaman. Terdapat bebagai jenis bunga dan tanaman lainnya, karena ibu Samiya seorang pecinta tanaman.
Setelah turun dari taksi, Samiya mengetuk pintu rumah. Dia memang tidak memberi tahu orang tuanya bahwa hari ini akan pulang. Wanita itu ingin memberikan sebuah kejutan kepada mereka dengan kehadirannya.
“Assalamualaikum,” panggil Samiya.
“Wa’alaikumussalam.” Terdengar jawaban dari dalam rumah.
Tak lama terlihat bayangan seseorang dari balik kain pintu transparan sedang bergerak ke arah pintu.
“Siapo tu (siapa itu)?” Terdengar lagi suara wanita yang sangat dirindukan Samiya.
Wanita paruh baya itu mengintip dari balik jendela.
“Ama ... iko Miya (Mama ... ini Miya),” jawab Samiya dari luar.
“Miya, Miya, anak ama?”
Ceklek!
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya yang menggunakan kerudung sedang membukakan pintu. Wajahnya mirip dengan Samiya. Tangis Samiya pecah ketika melihat Ibu yang sangat dirindukan.
Ibunya kemudian mengelus pipi Samiya. Dia lalu memeluk dan mencium putri semata wayangnya itu.
Di belakang ibu Samiya, terlihat sosok pria paruh baya yang rambutnya sudah memutih, tapi masih terlihat gagah.
“Siapo tu Ma (siapa itu, Ma)?” tanya laki-laki tua itu melangkah ke arah pintu.
“Apa, iko Miya, Pa! (Papa, ini Miya),” ucap Samiya berjalan ke arah ayahnya.
Suasana haru menyelimuti rumah di malam hari. Kerinduan yang telah lama dipendamnya, kini terbayarkan sudah. Samiya merasa senang setelah melihat kedua orang tuanya dalam keadaan sehat.
“Oh ya Ma, Pa. Perkenalkan ini bos Miya, Kim Tae Ho.” Samiya memperkenalkan Tae Ho kepada orang tuanya.
“Annyeonghaseyo Eomeoni, Abeoji. Kim Tae Ho Im-nida.” Kim Tae Ho memperkenalkan diri.
Orang tuanya terkejut melihat anak perempuan mereka pulang membawa pria asing. Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh orang tuanya, Samiya segera menjelaskan untuk menenangkan perasaan orangtuanya.
“Ma, Pa. Bos Miya datang ke sini untuk berlibur. Dia akan tidur di hotel dekat sini. Setelah ini, Miya akan mengantarkannya ke hotel,” jelas Samiya.
Wanita itu tidak lupa dengan adatnya. Masyarakat tidak membenarkan pria yang bukan anggota keluarga, tidur di rumah seorang wanita yang belum menikah.
Mendengar itu terlihat kelegaan di raut wajah orang tuanya. Mereka menyuruh Kim Tae Ho dan Samiya masuk untuk makan malam.
Ayah Samiya adalah mantan pegawai di perusahaan internasional di kota Pekanbaru. Dia telah lama mengajukan pensiun, saat masih berusia 45 tahun, karena ada beberapa hal yang membuatnya sudah tidak nyaman lagi bekerja di sana.
Pria paruh baya itu mengajak Kim Tae Ho berbincang dengan menggunakan bahasa Inggris. Mereka berbicara tentang pekerjaan Samiya di Korea. Ayah Samiya terkejut ketika mengetahui putrinya bekerja sebagai asisten artis dan Kim Tae Ho-lah artisnya.
“Anda sangat beruntung mempunyai putri seperti Samiya, karena selalu menjaga kehormatan dan akidahnya selama berada di sana,” puji Tae Ho tersenyum.
“Karena itulah saya percaya kepadanya untuk bekerja di negeri yang asing. Saya tahu, dia bisa menjaga akidah dan dirinya ketika berada jauh dari kami,” kata ayah Samiya melihat ke arah putrinya.
Ketika sedang asyik berbincang, terdengar suara azan Isya berkumandang. Ayah Samiya lalu berpamitan untuk salat berjemaah ke masjid.
Kim Tae Ho yang baru pertama kali mendengar suara azan merasakan hatinya tentram dan nyaman. Suara azan seolah memanggilnya untuk ikut dengan ayah Samiya ke masjid. Tapi pemuda itu memutuskan untuk tetap berada di rumah.
Bersambung....
