Bab 18 Makan Malam
Bab 18 Makan Malam
"Salah satu hal yang menyedihkan ketika kamu terlalu baik pada seseorang, dia akan berpikir kamu cukup bodoh untuk dimamfaatkan."-Uncontrollably Fond
"Tidak terima kasih, saya sudah makan," tolak Kelana langsung saat Reno menyuruhnya untuk ikut makan malam.
Seumur hidup, selama dia tinggal bersama keluarga sang Papa, belum pernah sekali pun Reno mengajaknya makan di rumah atau diluar rumah. Kelana sering diabaikan yang membuat dia sadar meski Reno adalah ayahnya, namun Reno terasa seperti orang asing di mata Kelana.
Dan, kebaikan Reno tidak pernah tulus. Kelana sangat sadar, pasti ada sesuatu yang diinginkan Reno sehingga Papanya itu membawa semua barang-barang miliknya, menyuruhnya tinggal di rumah bahkan mengajaknya makan malam.
Tanpa mempedulikan tatapan Reno dan orang-orang di ruang keluarga, Kelana bangkit berdiri lantas mengambil kopernya hendak berjalan keluar rumah tapi ditahan Putih.
"Papa benar, meski kamu sudah makan, kamu harus tetap makan lagi. Apalagi kamu sudah mendonorkan darah kamu." Putih tersenyum, wajahnya masih pucat. Perempuan itu memaksa ingin pulang hari ini juga. "Kita makan malam dulu, ya? Sudah lama juga kita tidak makan malem bersama."
Lagi, Kelana bersikap tidak peduli. Dia melengos dan melanjutkan langkah. Tapi baru juga beberapa langkah, Putih kembali menahannya, kali ini sambil memegang tangannya.
"Kenapa kamu memaksa dia? Biarkan saja dia pergi," kata Vera tampak kesal karena Putih bersikap manis pada Kelana.
"Jangan dengarin Mama. Ayo, kita makan malam bareng. Papa sudah nunggu, tuh. Kalau sudah makan malam kamu bisa pulang ke apartemen itu, kan?" Putih terus bicara seraya menarik tangan Kelana menuju meja makan.
Tahu tidak bisa lari dari Putih, dengan sangat terpaksa Kelana berjalan mengikuti Putih meski dia sangat enggan makan malam dengan keluarganya. Melihat tatapan mereka--terutama Vera--membuat Kelana ingin muntah.
"Nah, kamu mau apa? Bi Lina buatin makanan kesukaan kamu, lho."
Sebelah alis Kelana naik, menatap satu persatu makanan yang tertata di meja makan. Bahkan di meja itu tidak ada makanan kesukaan Kelana seperti yang dimaksud Putih. Dia tersenyum miring lantas duduk di samping Vera, satu-satunya kursi yang tersisa. Dia mengabaikan tatapan Vera yang masih saja menatapnya dengan penuh kebencian.
"Kamu harus bersyukur bisa makan malam di sini."
Kelana melirik Vera malas. "Terserah."
"Kelana, bagaimana pun juga Vera adalah Mama kamu. Yang sopan."
Kelana yang saat itu sedang menyuap sesendok nasi dan sayur langsung menatap sang Papa datar. "Saya hanya mengikuti gaya Mama saja. Dia selalu kasar sama saya, saya hanya melakukan apa yang saya lihat."
Wajah Vera memerah, sangat malu sekaligus geram karena Kelana untuk kedua kali mempermalukannya di depan Raga. Tadi Vera sedikit malu mengetahui bahwa kartu kredit yang dia temukan di meja rias Kelana rupanya milik Raga yang katanya jatuh setelah menghadiri rapat.
"Saya tidak sengaja menjatuhkannya saat mengambil kartu nama. Untungnya Lana yang kebetulan ada rapat juga di sana melihat kartu kredit saya yang jatuh. Saya menyuruhnya untuk menyimpan kartunya dulu baru dikasih kalau kita bertemu."
Tidak terima dikasari oleh anak tirinya, Vera hendak bicara tapi dipotong oleh Reno. Makan malam ini tidak boleh kacau, lebih baik Vera dan Kelana menutup mulut masing-masing.
"Kamu masih sakit, jangan makan yang berat-berat dulu. Sup ayam saja, ya?" Dengan telaten Raga menuangkan sedikit sup ayam ke piring Putih. "Makan yang banyak, kamu butuh tenaga yang banyak untuk memulihkan energimu."
Putih tersenyum lebar. "Iyaa, makasih."
Raga balas tersenyum, tapi tidak selebar senyum Putih.
"Raga benar, kamu harus makan yang banyak. Besok jangan bekerja dulu, nanti Papa bicara sama Hamzah. Kamu harus memulihkan kekuatanmu."
"Tapi, Pa ... aku masih ada banyak kerjaan. Kalau aku libur, nanti kerjaan aku numpuk." Putih protes.
Kelana fokus makan, tidak peduli dengan obrolan sekitar. Tidak peduli pada Reno dan Raga yang asik membicarakan bisnis, pada Putih yang terus-terusan protes karena sang Papa melarang perempuan itu bekerja, pada perhatian Reno pada Putih.
Kelana menghela napas, inilah yang membuat dia enggan makan malam bersama keluarganya. Dahulu, ketika dia masih polos. Kelana selalu iri pada Putih yang selalu mendapat perhatian penuh dari Reno, sedangkan dirinya dianggap seperti orang asing yang perlu dibuang. Tentu saja Kelana merasa sangat sedih pada awalnya hingga membuat dia berpikir bahwa dia memang tidak punya keluarga.
Kelana menjadi seseorang yang tidak pernah peduli pada keluarga kecuali jika Reno mengancam akan menghancurkan rumah singgah.
"Lana sudah bertunangan, mungkin bentar lagi juga akan menikah," kata Putih, tatapannya tertuju pada Raga. "Kapan kamu mau melamar aku? Aku juga ingin bertunangan dengan kamu lalu menikah ..."
Raga tersenyum manis. "Tentu saja aku akan melamarmu nanti."
"Pokoknya harus cepat-cepat."
"Benar kata Putih," timpal Vera sembari terkekeh pelan, dia melirik Kelana sekilas. "Kamu harus segera melamar Putih, Raga, sebelum ada seseorang yang akan menghancurkan hubungan kalian."
Kelana balas melirik Vera datar, dia tidak berkata apa-apa. Sibuk mengaduk nasi dan lauk di piring. Dia hanya mendesah kecil saat Putih memegang tangan Raga dengan gaya manis sambil berbisik sesuatu.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Putih melihat Kelana.
Kelana mengangkat kepala memandang Putih. "Saya tidak tertarik bicara."
Vera membanting sendok kemudian menatap Kelana penuh amarah. Lagi, Kelana hanya mengabaikannya, dia melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar. Sambil menghela napas panjang, dia bangkit berdiri dan permisi untuk mengangkat telepon.
"Ya, Bang?" jawab Kelana setelah agak jauh dari meja makan, meski sebenarnya suaranya masih akan terdengar oleh mereka.
"Di mana sekarang? Kok, pas Abang nanya ke Kenan katanya kamu lagi sama Kevin, Abang nanya lagi ke Kevin, katanya kamu sudah pulang. Pas Abang tanya ke orang rumah, mereka bilang kamu belum pulang. Abang ke apartemen kamu. Kosong."
Kelana tersenyum, membayangkan Azra kebingungan mencari dirinya. "Aku di rumah Pak Reno."
"APA?!" seru Azra kencang.
Kelana segera menjauhkan ponsel dari telinganya. "Jangan keras-keras, deh. Kalau aku budeg gimana?"
"Berarti kamu tuli."
Kelana memutar bola mata, tapi tetap tersenyum juga. Setidaknya Azra sudah menyelamatkannya secara tidak langsung.
"Abang ke sana sekarang. Kamu jangan keluar sampai Abang datang. Bertahanlah." Suara Azra terdengar cemas dan ketakutan.
Kelana hanya bisa tersenyum, dia menutup telepon. Ada pesan dari Adel, Dara juga Calvin bahkan Kevin. Pertanyaan mereka sama: di mana sekarang? Perempuan itu menggeleng kecil, dia hanya keluar beberapa jam bukan seharian tetapi mereka bersikap seperti hilang kabar sebulan.
Ketika Kelana hendak kembali ke meja makan, ponselnya kembali bergetar. Dari Kenan. Sesaat kening perempuan itu berkerut sebenarnya enggan mengangkat telepon dari Kenan. Sekilas Kelana memandang ke arah Vera dan yang lain, mereka tengah memperhatikannya.
"Kamu sedang di rumah keluargamu?" tanya Kenan langsung.
Kening Kelana berkerut. "Kok? Tahu dari mana saya lagi ada di rumah?"
"Feeling seorang tunangan." Kenan menyahut santai, Kelana melongo tidak memenyangka Kenan bisa menggombal. "Saya lagi dalam perjalanan ke rumah keluarga kamu."
Kelana menggaruk leher. "Lho, memangnya Bapak sudah menyelesaikan pekerjaan Bapak? Gimana sama RF? Sudah datang ke sana, kan?"
"Saya bosan dengan pekerjaan. Malam ini kamu tidak bisa menemani saya, ya?"
"Ahh, acara lelang itu?!" Kelana menepuk kening, baru ingat kalau dia menambahkan jadwal Kenan tadi siang. "Bapak datang saja sama Calvin, dia lebih bisa diandalkan."
Terdengar helaan napas panjang. "Padahal saya maunya sama kamu. Saya jemput, ya?"
"Jangan!" Kelana langsung membekap mulut saat kelepasan berteriak, dia berdehem. "Tidak usah, Bang Azra yang akan jemput saya. Dia sudah di jalan. Bentar lagi juga sampai."
Hening untuk waktu yang cukup lama, hanya terdengar helaan napas dan suara klakson mobil. "Ya sudah ..." Kenan menyerah. "Baik-baik di sana."
Meski Kenan tidak bisa melihatnya, Kelana tetap mengangguk, terasa begitu aneh sekaligus menyenangkan saat Kenan memperhatikannya. "Hem, Pak Ken juga. Semoga sukses di acaranya."
Kenan berdehem pelan lalu memutus sambungan telepon. Kelana tersenyum sendiri, dia kembali duduk di kursi meja makan. Mengabaikan tatapan semua orang padanya. Keadaan yang semula terasa hangat untuk Putih dan yang lain kini mendadak canggung.
"Aku tidak tahu ternyata kamu sesibuk itu? Kamu pasti tidak ada waktu untuk sekedar pergi keluar." Putih berkata memecah keheningan.
Kelana mengangguk. "Tidak juga." Dia tersenyum kecil, enggan menjawab atau bicara dengan keluarganya sendiri.
"Kenan harus menemui saya jika dia benar-benar serius denganmu," ujar Reno menatap tajam Kelana.
"Kenan berniat melakukannya sejak kemarin, hanya saja saya rasa ini bukan waktu yang tepat. Jadi saya melarangnya," sahut Kelana datar.
Vera tersenyum mengejek. "Apa kamu tidak ingin menunjukan siapa orangtuamu sendiri pada tunanganmu?"
Kelana mendesah panjang, dia benar-benar jengah dengan obrolan ini. "Saya pikir, Anda yang lebih dulu malu saya menjadi bagian dari keluarga ini. Saya hanya tidak ingin membuat kalian malu di depan Kenan, bahwa saya ternyata bagian dari keluarga ini."
"Kelana, jaga ucapanmu!" bentak Reno marah, tidak peduli bahwa di antara mereka ada Raga.
Kelana memejamkan mata sesaat hingga terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Perempuan itu bangkit berdiri. Bersyukur karena Azra datang di saat yang tidak tepat.
"Saya pergi sekarang. Terima kasih atas makan malamnya."
"Makananmu belum habis. Duduk!"
Kelana menoleh pada sang Papa, tatapannya datar. "Sejak awal saya tidak berselera makan, saya juga tidak mau membuat Kakak saya menunggu hanya untuk berdebat dengan kalian." Kemudian tanpa menoleh lagi, dia segera pergi keluar rumah.
Kelana tahu sikapnya sungguh tidak sopan pada Papanya sendiri. Namun dia terlalu marah dan kesal. Setiap kali Kelana melihat mereka--kecuali Raga tentunya--dia selalu melihat penderitaan yang membayang di mata sang Bunda. Penderitaan yang membuatnya kehilangan Bunda untuk selamanya.
"Lana!" panggil Azra segera menghampiri Kelana, dia mengambil koper dan memasukannya ke dalam mobil. Sekilas menatap Kelana yang terlihat lelah. Lelah fisik dan hati. "Kenapa dia membawa kopernya sendiri?"
Tanpa mempedulikan Azra, Kelana membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Menyandar ke kursi mobil, kedua matanya terpejam. Sesekali dia menarik napas lalu mengembuskannya.
Azra melihat hal tersebut dari luar mobil, sesaat pandangannya tertuju pada rumah di depannya.
Kenan: Kamu sudah sampai? Bagaimana keadaan Lana?
Azra: Seperti dugaanmu.
Kenan: Kalau Lana ingin pulang ke apartemen, biarkan saja. Beri dia ruang. Saat ini dia sedang membutuhkannya.
"Dia memang peduli sama Lana." Azra menghela napas panjang.
