Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

“Bagus! Bagus sekali, Arsyad Bramasta, cepat atau lambat kamu akan menyesalinya!” Steve sangatlah marah, jika bukan karena dari kecil sampai besar dia berkehidupan mewah, tidak pernah berkelahi dengan orang, dia sangat ingin memukul Arsyad Bramasta sampai mati.

“Pergilah, jika tidak pergi, aku akan membuatmu menyesal sekarang.” Arsyad Bramasta tersenyum datar lalu berkata.

Steve melihat sekilas Arsyad Bramasta dengan kejam, lalu menyeret PShania Twain pertama yang sudah pingsan masuk kedalam mobil, dan beberapa orang itu pergi dengan suram.

“Kak, orang itu sudah tiba.” Seorang pembantu Keluarga Twain berkata dengan hati-hati kepada seorang gadis anggun yang berdiri disamping jendela.

Gadis anggun ini adalah Shania, wanita cantik pertama di Kota Cadia. Dia lumayan mirip dengan Zahra Twain yang dijumpai Arsyad Bramasta ketika dibandara sebelumnya. Badannya tinggi, kaki panjang yang indah, wajah kecil, kulit putih, dan rambut hitam panjang yang terurai di pundaknya.

Dibandingkan dengan Zahra Twain, tubuhnya terdapat sedikit penampilan guitar spanyol, membuat orang tidak bisa menahan untuk menyayangi dan mencintainya.

Mendengar perkataan pembantunya, Shania mengerutkan kening, membuka mulut dengan pelan, berkata, “Biarkan dia masuk.”

Arsyad Bramasta berjumpa dengan Shania Twain diruang tamu Keluarga Twain. Harus dikatakan, kecantikan Shania Twain melebihi harapan Arsyad Bramasta, dia merasakan sebuah pesona yang berbeda dari wanita ini. Penampilan luarnya lemah, tetapi dalam hatinya sangatlah kuat.

Ini adalah aura yang Shania Twain berikan kepada Arsyad Bramasta. Kedua orang duduk berhadapan selama setengah jam, tetapi tidak ada yang berbicara terlebih dahulu. Sepasang mata indah Shania Twain terus menatap Arsyad Bramasta, seolah-olah ada sesuatu di wajah Arsyad Bramasta.

Sementara, Arsyad Bramasta menyilangkan kakinya, duduk di sofa dengan santai, mencicipi teh, ekspresinya yang tidak peduli, bahkan tidak melihat Shania Twain sama sekali. Seolah-olah daya tarik Shania Twain yang di depannya tidak sebesar teh di dalam cangkir. Meskipun kesabaran Shania Twain sangat bagus, tapi tetap saja dibuat marah oleh Arsyad Bramasta.

"Apakah dia menggunakan taktik ketika menangkap seseorang, membiarkannya pergi terlebih dahulu lalu menangkapnya ketika dia tidak waspada?" Shania Twain berpikir sambil mengerutkan kening.

“Aku tidak menyukaimu.” Akhirnya, Shania Twain memecahkan suasana hening ini.

Arsyad Bramasta mengangkat kepalanya, melihat sekilas Shania Twain, lalu berkata dengan datar, “Aku juga.”

“Kalau begitu kamu jangan menikah denganku.” Shania Twain sedikit marah, pria dihadapannya begitu menjengkelkan, sok berpura-pura mulia.

“Tidak mau” Arsyad Bramasta menggelengkan kepala.

“Mengapa!” Mata indah Shania Twain menatap Arsyad Bramasta, karena tidak saling menyukai, mengapa masih harus menikah.

“Karena mereka mengatakan aku tidak layak untukmu, tetapi aku merasa kamulah yang tidak layak untukku, jadi aku ingin membuktikan diriku.” Nada bicara Arsyad Bramasta tenang, seolah-olah hal ini tidak ada hubungan dengannya.

“Hah, apakah kamu sedang bercanda?” Shania Twain menatap Arsyad Bramasta dengan dingin, dia sangat penasaran, apakah wajah pria ini bisa memerah ketika sedang membual.

Sangat disayangkan, wajah Arsyad Bramasta tidak memerah. Tepat pada saat ini, Zahra Twain sudah pulang. Raut wajahnya begitu kesal, sangat jelas bahwa dia tahu hal yang terjadi digerbang rumahnya sebelumnya.

"Benar-benar tidak berguna! Beberapa orang bersama bahkan tidak bisa menghalangi Arsyad Bramasta yang seorang diri," Zahra Twain memikirkannya dengan marah.

“Silahkan pergi, Keluarga Twain tidak menyambutmu.” Kedua tangan Zahra Twain diletakkan dipinggang, berdiri dihadapan Arsyad Bramasta, lalu berkata dengan dingin.

Arsyad Bramasta mengangkat alisnya, lalu bertanya, “Kamu berbicara seperti ini kepada Kakak iparmu?”

Mendengar kata Kakak ipar, wajah cantik kedua anak perempuan Keluarga Twain langsung menjadi gelap. Mereka pernah berjumpa dengan orang yang tak tahu malu, tetapi belum pernah berjumpa dengan orang yang tak tahu malu seperti itu.

Shania Twain mengambil nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Tuan Arsyad Bramasta, pernikahanmu dan aku karena disepakati oleh kedua orang tua dari kedua keluarga, tetapi tanpa persetujuanku. Jadi bagaimanapun, aku tidak akan menikah denganmu, kamu silahkan kembali ke kota Kastiya saja.”

Waktu itu, kakek Shania Twain dan Kakek Arsyad Bramasta berteman baik, jadi ketika Shania Twain dan Arsyad Bramasta masih anak-anak, mereka sudah menyepakati pernikahan ini.

“Aku setuju.” Kata Arsyad Bramasta.

“Kamu sudah setuju?” Wajah cantik Shania Twain terlihat ekspresi bahagia.

Jika Arsyad Bramasta setuju untuk kembali ke Kastiya, maka dia akan memiliki cara untuk membiarkan Kakeknya berhenti memikirkan ide ini.

“Ya, aku setuju dengan pernikahan kita.” Arsyad Bramasta menyesap teh, lalu berkata dengan datar.

Zahra Twain dibuat sangat marah oleh perkataan ini, "Apa? Dasar bajingan!"

Shania Twain juga berusaha mengendalikan amarahnya, dia sudah tidak pernah marah selama beberapa tahun. Tetapi sejak bertemu Arsyad Bramasta hari ini, amarahnya terbangkit beberapa kali.

“Hei Arsyad Bramasta, kamu jangan tak tahu malu, kamu tidak memiliki latar belakang bagus, kamu juga tidak memiliki penampilan yang bagus. Kamu hanyalah seekor reptil yang rendahan, kamu bahkan tidak memiliki kualifikasi untuk melihat Kakakku, demi apa kamu bisa menikahinya! Apakah kamu percaya, jika kakakku benar-benar menikah denganmu, kamu bahkan tidak tahu bagaimana kamu akan mati.” Zahra Twain membentak dengan menggertakkan gigi.

Terhadap ini, tanggapan Arsyad Bramasta sangat sederhana, dia mengucapkan 2 kata sambil mengangkat kedua jarinya, “Tidak percaya!”

“Kamu!” Zahra Twain menujuk hidung Arsyad Bramasta, dia sangat marah sampai tidak bisa berkata-kata, benar-benar sangat keterlaluan!

“Zahra Twain, sudahilah.” Shania Twain menjadi tenang, dia langsung menatap mata Arsyad Bramasta, lalu berkata, “Ingin aku menikah denganmu? Boleh, tetapi kamu harus membantuku melakukan satu hal.”

Arsyad Bramasta memikirkannya dengan cermat, lalu dia tertawa, berkata, “Mengapa aku harus membantumu melakukan satu hal? Tidak peduli apakah aku menyetujuimu atau tidak, kamu tetap adalah tunanganku. Dan pada akhirnya tetap akan menikah denganku, mengapa aku harus membuang tenagaku?"

Shania Twain menggertakkan giginya, dia benar-benar ingin melemparkan cangkir teh ke wajah Arsyad Bramasta yang menjengkelkan itu.

“Hei Arsyad Bramasta, apakah kamu masih seorang pria?” Zahra Twain bertanya dengan suara marah.

Biasanya, pria yang di hadapan Shania Twain, semuanya sangat lemah lembut terhadapnya. Mereka selalu menyetujui perkataannya, tetapi Arsyad Bramasta sama sekali menghancurkan prinsip ini.

Arsyad Bramasta mengangkat alis, lalu melihat sekilas bagian dada Zahra Twain yang sudah sepenuhnya tumbuh, dan berkata,“Apakah kamu ingin mencobanya?”

Adik ipar bahkan berani meragukan apakah dirinya seorang pria atau bukan, bagaimana Arsyad Bramasta bisa menahannya.

“Tak tahu malu!” Kedua kakak adik berkata dengan serempak, mereka berharap bisa menelan Arsyad Bramasta hidup-hidup.

Arsyad Bramasta bangkit, lalu berkata tanpa rasa ragu, “Baiklah, aku tidak bercanda dengan kalian lagi, aku dapat membantumu melakukan satu hal. Tetapi setelah hal itu selesai, kamu harus menjadi istriku dengan patuh, mematuhi perkataanku, apakah kamu mengerti?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel