Bab 6
Pagi itu rumah keluarga Aryayamto Surbakti tampak lebih hidup dari biasanya.
Deretan mobil dan motor memenuhi halaman dan sisi jalan kecil kompleks perumahan. Suara-suara tawa dan obrolan ibu-ibu berbaur dengan denting sendok di gelas teh manis yang baru saja disuguhkan oleh para ibu-ibu anggota arisan lainnya.
Ruangan tamu dipenuhi aroma parfum mahal dan kue-kue kering yang disusun rapi di atas piring saji. Beberapa ibu duduk membentuk lingkaran, dengan wajah cerah dan mata yang menyapu ke sana kemari, mencari topik hangat untuk dibahas.
"Bunda, rumahnya makin cantik aja nih, setiap arisan kayak masuk rumah baru!"
"Iya lho, ini vas bunga ganti lagi ya, Bun? Pasti impor nih!"
Bu Erna tersenyum anggun, mengenakan daster satin berwarna krem dan perhiasan sederhana tapi berkelas. Ia berdiri di dekat buffet, sesekali menyalami tamu yang baru datang. Yang pasti Pak Arya tidak ada di rumah.
Tapi di tengah keriuhan itu, ada yang berbeda di matanya. Pandangannya sempat terpaku pada satu ibu yang datang terlambat, menantunya sendiri, yang baru saja duduk dengan wajah sedikit menunduk.
Bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara ibu-ibu.
"Itu Zahra menantunya Bunda Erna, ya? Masih belum isi juga?"
"Iya, katanya udah lima tahun, ya? Padahal Mas Fadlan, suaminya ganteng banget, mapan, istrinya juga kelihatan sehat-sehat aja..."
Bu Erna menegakkan tubuhnya, menarik napas panjang. Ia kembali menyambut tamu lain, tapi ada rasa yang mengganjal di dadanya.
Tertawa bersama ibu-ibu itu tak lagi senyaman dulu.
Kini, setiap candaan dan pujian terasa seperti pisau bermata dua. Memuji dirinya, tapi menyudutkan keluarganya sendiri.
Tak lama kemudian, suara deru mobil elegan berhenti di depan rumah. Seolah otomatis, beberapa kepala menoleh ke arah jendela. Seorang wanita muda dengan blouse modis dan wajah segar keluar dari mobil, diikuti oleh seorang pria tinggi berwajah oriental, dengan gaya santai tapi memikat. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan pipi bulat menggemaskan terlihat tertidur nyenyak.
“Ferlin!” seru beberapa ibu bersamaan, disambut gelombang kekaguman.
“Itu pasti suaminya, Mas Kenzi yang katanya blastern Jepang itu ya? Aduh, pantes aja anaknya bening banget!”
“Gila, Ferlin makin glowing aja sejak punya anak.”
Bu Erna langsung berdiri, ekspresinya berubah sumringah, seperti baru saja mendapat gelar kehormatan.
“Nah, ini dia putri Bunda, Ferlin! Dan ini cucu kesayangan Bunda, Keenan. Baru enam bulan, tapi udah banyak yang mau ngajak playdate, lho!” katanya bangga sambil menggendong Keenan dari tangan Ferlin dan memamerkannya ke tamu-tamu yang sudah mulai berkerumun.
Tawa dan decak kagum memenuhi ruang tamu. Kenzi tersenyum sopan, sesekali menyapa dengan hangat. Ferlin duduk anggun di samping ibunya, menikmati sorotan perhatian yang tertuju pada dirinya dan keluarganya.
Sementara itu, dari balik ruang makan yang terhubung dengan dapur, Zahra menyaksikan pemandangan itu dengan senyum tipis. Tangannya sibuk menyusun kue-kue ke dalam wadah saji, tapi hatinya jauh dari tenang. Tatapan matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Setiap pujian yang terlempar untuk Ferlin dan bayinya, terasa seperti silet yang menggores lembut tapi dalam.
Ia tahu, bukan salah siapa-siapa. Ferlin, adik iparnya memang layak dibanggakan. Tapi tetap saja, ia merasa seperti bayangan yang tak diinginkan. Apalagi saat menyadari bahwa sorot mata ibu-ibu itu kadang tak hanya kagum, namun juga membandingkan.
“Mas Fadlan malah keduluan sama Mbak Ferlin ya? Padahal mereka nikah duluan…” suara salah seorang ibu nyinyir.
Dengan cepat, Zahra menyeka ujung matanya yang mulai memanas. Ia tak ingin terlihat rapuh. Ia memilih diam, sibuk di dapur bersama ibu-ibu yang lebih tenang, menjauh dari gemerlap di ruang tamu.
Tapi di dalam hatinya, luka itu terus menganga. Ia tidak butuh banyak kata, karena diam dan tatapan saja sudah cukup membuatnya merasa paling asing di rumah yang harusnya ia anggap rumah sendiri. ‘Andai aku nikah sama Mas Gilang, mungkin…’ pikiran itu kembali muncul.
Di sudut ruangan yang sedikit tersembunyi oleh tirai renda dan rak buku kecil penuh bingkai foto keluarga, sekumpulan ibu-ibu duduk melingkar di sofa empuk, dengan piring kecil berisi risol dan pastel di pangkuan.
Suara mereka ditahan pelan, tapi cukup hidup, khas bisik-bisik yang justru sengaja dibuat terdengar samar-samar, agar siapa pun yang lewat bisa menangkap sedikit bumbunya.
“Perasaan baru beberapa bulan kita kondangan ke resepsinya Ferlin, ya,” bisik Bu Mira sambil memutar matanya pelan, memperhatikan Kenzi yang sedang berdiri gagah di dekat ruang tamu.
“Tahu-tahu bayinya udah segede gitu aja. Cepet banget ya... zaman sekarang semua serba instan,” sambung Bu Indah, lalu tertawa pelan, tawa yang mengambang antara guyonan dan sindiran.
Bu Wenny mencondongkan badan sedikit, mendekat, seolah hendak membisikkan rahasia yang sebenarnya semua orang juga sudah tahu.
“Wajar sih, liat suaminya Ferlin. Duh, siapa juga yang bisa nolak, Sez. Jepang-nya dapet, tajirnya dapet, cakepnya pun dapet. Liat aja tuh, kayak aktor drama Korea edisi Bali,” katanya setengah geli.
“Eh, tapi... ini jangan bilang-bilang ya,” sela Bu Dira sambil menatap kanan-kiri.
“Setahu aku, waktu kuliah Ferlin itu pacarnya beda. Bukan yang ini.”
Ia mengangkat alis, memberi jeda dramatis.
“Gak tahu kenapa, pas nikah kok malah sama Kenzi. Katanya sih, yang dulu ditikung... atau ketikung.”
Tawa kecil kembali pecah, tertahan sopan, seolah sedang membicarakan cuaca. Tapi di mata mereka, percik keingintahuan memercik seperti api kecil yang dinyalakan dari kabar burung.
“Udah ah, jangan gosip,” ucap Bu Zahra tiba-tiba, pura-pura menegur sambil tetap mencuri dengar.
“Kek gak tahu Bu Erna aja, kupingnya tajem. Kalau sampai kedengeran, bisa pecah perang dunia ketiga.”
Mereka tertawa lagi, kali ini lebih hati-hati. Lalu kembali menyeruput teh manis mereka sambil mengarahkan pandangan ke tengah ruangan, ke arah Ferlin yang sedang tersenyum manis pada tamu-tamu, dan Zahra yang baru keluar dari dapur sambil membawa nampan penuh gelas es buah.
Tak banyak dari mereka menyapa Zahra. Tapi lirikan mata mereka sudah cukup bicara, lebih tajam dari ucapan mana pun.
Namun rupanya, gosip itu belum selesai. Seperti teh hangat yang baru seteguk, masih ada kelanjutannya.
“Eh, eh, tapi…” Bu Indah menyandarkan tubuhnya lebih dekat ke lingkaran, nadanya makin pelan tapi justru makin menegangkan, “coba deh kalian perhatiin baik-baik. Bayi Ferlin itu… masa nggak ada mirip-miripnya sama Kenzi, sih?”
Mata-mata langsung saling berpandangan.
“Iya, iya! Aku juga mikir gitu!” Bu Wenny setengah berbisik, setengah menjerit kecil. “Aku sampe zoom-in tadi waktu Ferlin posting di status WA... Nggak ada garis-garis Jepang-nya sama sekali, loh. Hidungnya yaa… gitu-gitu aja.”
“Waduh, jangan gitu. Kadang tuh anak baru keliatan mirip pas udah gede,” timpal Bu Dira, berusaha terdengar netral, tapi bibirnya menahan senyum.
“Tapi… ya memang aneh juga. Padahal Mas Kenzi itu kan dominan banget mukanya, ya?”
“Atau jangan-jangan…” Bu Mira menggantungkan kalimatnya sambil mengangkat bahu, ekspresinya penuh arti.
“Yaaa, kita sih nggak nuduh ya. Tapi kadang, kejadian kayak gitu bisa aja. Apalagi kalau sebelumnya… ya, kalian tahu lah.”
“Hush, jangan ngadi-ngadi!” bisik Bu Jani pelan, matanya mengawasi sekeliling, meski wajahnya jelas menunjukkan rasa penasaran.
“Tapi… iya sih. Kalau emang itu anak Mas Kenzi, harusnya ada satu-dua yang nempel dari mukanya.”
Beberapa dari mereka pura-pura kembali menyeruput teh, tapi senyum-senyum kecil dan lirikan mata tak bisa disembunyikan. Dunia bisa runtuh di luar sana, tapi kalau sudah urusan anak artis, mantu orang kaya, dan "mirip atau nggaknya anak", ibu-ibu kompleks ini punya mata layaknya detektif forensik.
Sementara di sudut dapur, Zahra masih menyusun piring saji. Ia tidak ikut dalam lingkaran itu, namun entah mengapa, batinnya merasa nyeri. Padahal bukan tentang dirinya. Tapi entah kenapa, ia merasa ikut ditampar oleh kalimat-kalimat tak terdengar itu. Mungkin karena ia tahu, bukan hanya Ferlin yang mereka sorot. Ia pun, sudah terlalu sering jadi bahan dalam obrolan diam-diam macam itu.
Dan dunia kecil di rumah Bu Erna hari itu, tetap sibuk dengan canda, tawa, dan luka yang tersembunyi di antara aroma pastel dan teh melati.
Lantai dua rumah Bu Erna yang megah terasa lebih tenang. Suara riuh ibu-ibu arisan di bawah hanya terdengar samar, seperti gema dari dunia lain. Bu Erna baru saja menuangkan teh untuk Bu Hilma ketika wanita itu mulai membuka percakapan dengan nada pelan tapi tajam.
^*^
