Bab 5
Sabtu pagi udara terasa lebih dingin dari biasanya. Zahra libur kerja, matahari belum sepenuhnya naik saat ia berdiri di dapur, masih dengan celemek melekat di tubuhnya. Wajahnya sembab, semalam ia nyaris tak tidur. Tapi tetap saja, tangannya bekerja. Telur rebus, roti gandum, segelas susu kedelai, semua sesuai anjuran dari dokter.
Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima. Suara pintu kamar terdengar. Fadlan keluar tergesa-gesa, merapikan tas kerja sambil memencet-mencet layar ponsel.
“Mas, sarapannya udah siap,” suara Zahra lirih, seperti embun yang menetes.
“Nggak sempet, Ra. Ini Sabtu, aku harus berangkat sekarang, macet banget takut telat,” jawab Fadlan cepat, tanpa menoleh. Tangannya sudah di gagang pintu.
Zahra menatap piring yang ia tata rapi di meja makan. Makanan yang ia siapkan dengan sisa-sisa tenaga dan semangat yang terus menipis.
“Bekalnya juga nggak usah ya?” tanya Zahra sedikit kesal.
Fadlan sempat ragu, lalu menggeleng. “Maaf ya, Ra. Aku makan di luar aja deh.”
Dia melangkah pergi. Pintu tertutup. Udara pagi itu terasa seperti menampar.
Zahra masih berdiri di tempat yang sama. Ia tidak menangis. Tidak juga mengeluh. Hanya menarik napas panjang dan mengelus dada.
“Ya sudah... kalau memang begitu.”
Tangannya lalu dengan tenang mengemasi makanan. Disimpannya kembali ke dalam kulkas. Wajahnya tidak lagi sedih, tapi hampa. Lelah dengan suaminya yang benar-benar sudah tak punya niat lagi untuk berusaha menjaga pola hidup sehat demi program kehamilan sesuai yang disarankan dokter Firdaus. Zahra kadang mulai berpikir, andai yang harus menjalani program ini Gilang, tentu dia tidak akan kelelahan, karena Gilang sudah pasti akan menurutinya.
Saat membuka tirai ruang tamu, matanya menangkap sosok yang sangat familiar, Bu Erna mertuanya menggendong Keenan, bayi Ferlin. Mereka sudah berdiri di teras. Entah sejak kapan datang, tapi ekspresi mereka jelas penuh “tujuan”.
“Assalamu’alaikum…” sapa Bu Erna.
“Wa’alaikumussalam, Ma.” Zahra membuka pintu dengan sopan, meski dalam hatinya mulai merasa dingin dan waspada.
Bu Erna langsung masuk tanpa basa-basi, duduk di sofa sambil membopong Keenan, sementara Ferlin duduk di sampingnya sambil melipat tangan di dadanya. Zahra melirik ke halaman depan, tampak mobil Ferlin terparkir.
“Fadlan kemana?” tanya Bu Erna dingin.
“Sudah berangkat ke kantor, mungkin ada lembur, Ma,” jawab Zahra.
“Heran, kerja kok gak ada liburnya, sekarang kan weekend.” Ferlin berucap sedikit sinis.
“Iya, katanya ada lembur, beberapa pekerjaannya harus diselesaikan, maklum.” Zahra masih mencoba bersabar, padahal dia sendiri tidak terlalu tahu, mengapa suaminya berangkat kerja di hari libur.
“Wah, Mas Fadlan sebenarnya lembur atau memang udah gak betah di rumah,” sambung Ferlin menohok.
Zahra tersenyum tipis. “Mungkin dia memang lagi banyak kerjaan, Lin.”
Tapi tak berhenti sampai di situ. Seperti biasa, nada-nada pedas mulai menghiasi telinga Zahra setiap mertua dan adik iparnya ada.
“Zahra, kamu tuh harus ngerti perasaan suami. Lelaki itu kalau di rumah mulai nggak nyaman, ya itu bisa saja mencari pelarian.” Bu Erna bicara tanpa tedeng aling-aling. “Apalagi soal anak… lima tahun itu bukan waktu sebentar lho,” sambungnya.
Zahra menunduk. Matanya memandangi karpet ruang tamu yang sudah agak lusuh. Tangannya mengepal di balik gamisnya.
“Saya ngerti, Ma. Tapi… nggak semua hal bisa dipaksa.”
“Kamu sih kerja mulu, kapan fokusnya jadi istri? Mungkin aja itu sebabnya Fadlan jadi begitu. Kurang betah di rumah karena kurang perhatian dari istrinya.”
Hening.
Zahra menatap ibu mertuanya, dengan tatapan yang bukan marah, tapi lelah dan malas merespon. “Kalau memang semua salah saya, saya bisa berhenti kerja. Tapi tolong... jangan minta saya terus menanggung semuanya sendirian.”
Ferlin tertawa pelan, sinis. “Ya Allah, baper banget sih. Biasa aja dong ngomongnya.”
Zahra bangkit, menegakkan tubuhnya, dan berkata dengan suara yang tenang tapi tegas, “Saya memang belum bisa jadi menantu sempurna. Tapi saya juga manusia, Lin. Saya punya batas kesabaran juga.”
Setelah itu, ia masuk ke kamar. Dibiarkannya ruang tamu dipenuhi desas-desus ibu mertua dan adik iparnya. Kali ini, Zahra tak ingin mendengar apapun, percuma dilayani juga hanya akan memperpanjang lukanya.
Setelah melontarkan kalimat-kalimat pedas yang sudah biasa diucapkan sejak lama, akhirnya Bu Erna bangkit dari duduknya. Raut wajahnya tak berubah, tetap tegas dan menyiratkan sikap superior seorang ibu mertua terhadap menantunya. Zahra keluar kamar karena dipanggil lagi.
“Sebenarnya Mama ke sini cuma mau ngasih kabar,” ucapnya sambil merapikan tas tangannya. “Besok, arisan ibu-ibu kompleks di rumah. Mama jadi tuan rumahnya.”
Zahra yang berdiri di ambang pintu kamar, mengangguk pelan.
“Iya, Ma. Insya Allah saya usahakan datang.”
“Ya, usahakan doong. Kan libur. Lagian, kamu harus sering-sering kumpul, biar gaul dan nggak kesepian di rumah. Kecuali sudah punya anak, harus fokus ngurus anak.”
Kalimat itu terdengar biasa, tapi bagi Zahra, ada nada sindiran yang diselipkan sangat rapi namun tajam di dalamnya.
“Iya, Ma...” Zahra menjawab singkat, berusaha menahan nada suaranya agar tetap datar.
Bu Erna pun beranjak keluar, diikuti Ferlin yang kini menggendong bayi lelakinya yang dari tadi hanya tertidur.
Begitu suara mobil Ferlin menjauh, Zahra menutup pintu perlahan, lalu bersandar di balik daun pintu yang dingin. Kepalanya terangkat, menatap langit-langit, seolah ingin meminta kekuatan dari tempat yang lebih tinggi. Namun kali ini Zahra pun tidak ingin menangis, semalam dia sudah menumpahkan air matanya.
Zahra mencoba menenangkan diri. Ia duduk di ruang makan, memandangi kembali makanan yang tak disentuh Fadlan pagi tadi. Dingin, sama seperti sikap dan hubungan mereka beberapa hari belakangan yang semakin sunyi dan hampa.
Tangannya mengambil piring, membuang isinya ke tempat sampah, bukan karena marah, tapi pasrah.
“Mungkin besok aku datang. Tapi bukan buat arisan. Cuma pengen tahu, sampai kapan aku bisa kuat berpura-pura baik-baik saja.”
Zahra baru saja menutup pagar ketika suara panggilan terdengar dari arah samping rumah.
“Mbak Zahra!”
Ia menoleh. Ternyata Vina, tetangganya yang tinggal dua rumah dari situ, sedang berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangan.
Zahra tersenyum sopan. “Iya, Vin. Ada apa?”
Vina melangkah cepat, wajahnya tampak penasaran. “Maaf ya ganggu sebentar. Aku liat tadi Ferlin dari rumah Mbak Zahra, ya?”
“Iya, barusan pulang,” jawab Zahra tenang.
Vina berdiri di depan gerbang dengan alis terangkat. “Itu anaknya ya yang digendong sama Bu Erna? Masya Allah, lucu banget. Tapi… eh, dia kok udah lahiran?”
Zahra mengangguk singkat. “Udahlebih dari lima bulan kalau gak salah.”
“Hah?” Vina terlihat kaget. “Lima bulan? Tapi… serius deh, Mbak Zahra. Aku tuh merasa baru banget kondangan ke resepsi Ferlin sama Kenzi. Kayaknya belum ada setahun deh. Kok sekarang anaknya udah segede itu?” Wajah Vina seperti kebingungan.
Zahra sedikit kaku. Ia tahu arah pertanyaan ini. “Mungkin kamu lupa waktunya, Vin. Kadang kita ngerasa baru, padahal ternyata udah lama.”
Vina tertawa kaku, masih tampak tak yakin. “Mungkin ya. Tapi… aku kan dulu temenan deket sama Ferlin di kampus. Aku sempat ngucapin selamat di WA waktu dia nikah. Rasanya baru aja. Makanya pas tadi liat dia gendong bayi segede gitu, aku sempat mikir… loh, kok cepet amat? Aku aja yang nikah duluan, baru melahirkan.”
Zahra tersenyum datar, mencoba meredam arah pembicaraan. “Saya nggak terlalu ikut urusan Ferlin, Vin. Mertua dan adik iparku kadang main ke sini. Tapi selebihnya aku nggak banyak tanya. Tahu sendiri kan aku jarang di rumah, maklum kuli, hehehe.”
“Hahaha, bukan kuli Mbak, tapi wanita karir,” balas Vina sambil tersenyum.
“Ya, sama aja, secara kita kan kerja masih ditelunjuk orang.”
Vina mengangguk pelan, meski jelas wajahnya masih menyimpan rasa penasaran tentang Ferlin.
“Iya, iya, kembali ke Ferlin, aku ngerti kok. Cuma tadi kaget aja. Kan sekarang orang suka curigaan ya, apalagi tetangga. Tapi Mbak Zahra bener, biarin aja lah, bukan urusan kita.”
Zahra tak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu berpamitan masuk kembali ke dalam rumah. Sementara Vina masih berdiri, sepertinya dia masih ingin bergosip, namun Zahra malas memberikan ruang untuk itu.
Begitu pintu tertutup, senyum Zahra menghilang. Terbayang kembali senyum manis Keenan, bayi lucu, dan keluarga yang kelihatan utuh dari luar... Tapi kadang, yang indah itu justru paling banyak menyembunyikan kebohongan. Dan Zahra sangat tahu kebohongan Ferlin tentang anak bayi itu.
^*^
