Seandainya
Di rumah
Selva menghempaskan tubuhnya di ranjang. Kejadian hari ini selain membuatnya kesal juga sangat malu.
Bagaimana ia akan memunculkan wajahnya di depan pamannya?
selva langsung bangkit untuk mandi, tersentuh oleh Alex baginya sungguh menjijikkan.
Selva tak akan lupa dengan kejadian hari ini, ia sungguh akan membalas perbuatan Dane juga yang telah menjebaknya.
Selang beberapa waktu, Selva keluar dari kamar mandi, terperanjat kaget saat melihat Mark sudah duduk di tepi ranjangnya.
“Paman?” Gumam Selva bingung.
Mark terlihat datar dan menakutkan saat ini.
Selva memegang erat handuknya dengan takut dan was was.
“Kenapa datang k rumah bordir tanpa memberitahu paman? Kenapa tidak mengajak paman untuk pergi ke sana? Kenapa pergi sendirian? Bagaimana jika paman tidak mengikutimu? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?” Omel mark panjang lebar yang mana tak bisa dipungkiri jika Mark dan Arden sangatlah mirip.
Omelan mereka sangatlah panjang. Dan kini Selva sangat yakin jika Mark dan Arden sungguh ditakdirkan sebagai saudara.
Selva mendekat pada Mark, berdiri tak jauh darinya.
“Maaf, kukira tadi Alex benar benar terluka,” kata Selva dengan pelan da sedikit takut dengan raut wajah Mark saat ini.
Mark menghela napas dan berusaha menenangkan dirinya yang mana ia menyadari jika sepertinya selva ketakutan dengannya.
Mark meraih tangan Selva untuk mendekat padanya, “Lain kali jangan pergi sendirian ke rumah bordir, ajak temanmu atau kabari orang tuanya saja, jangan pergi ke sana tanpa memberitahukan siapapun, di sana semua isinya orang bejat semua, bagaimana jika kamu terjebak seperti tadi?” Selva mengangguk paham dan mengerti kenapa mark sangat marah.
Pasalnya orang tuanya menitipkan dirinya pada Mark.
Selva mengamati tangannya yang digenggam erat oleh Mark. Jantungnya sungguh berdebar hebat saat ini sayangnya Selva berusaha untuk tetap stay cool meski ia ingin sekali melompat.
“untuk ucapanku tadi……paman tidak marah kan?” Tanya Selva dengan sedikit terbata.
Mark dengan sengaja menggoda, “Yang mana?” Selva menyipitkan tatapannya kala Mark pura pura tidak tahu.
Selva dengan geram memukuli bahu kekar Mark.
Mark tertawa dan menarik tangan Selva hingga jarak mereka terkikis nyaris tidak ada.
Keduanya saling diam, tatapan mereka saling bertemu satu sama lain dengan lekat, suasana yang hening dan tenang mulai menciptakan hawa berbeda saat ini.
“Jika seandainya bukan paman yang datang, apa kamu juga akan melakukan hal yang sama? Mengakui pria lain sebagai calon suamimu?” Selva menggeleng pelan meski sedikit ragu.
Mark menahan senyumannya masih dengan tatapan yang lekat pada manik mata Selva.
“Lain kali jangan mencium sembarangan pria lain, kamu tidak tahu apa yang mereka pikirkan,” kini giliran Selva yang menggoda.
Ia sedikit menelengkan kepalanya dengan tatapan menggoda pada Mark dan bertanya, “Lalu apa yang paman pikirkan saat aku mencium paman tadi?” Mark diam sesaat.
Sebelum ia menarik tangan Selva ke ranjang dan menindih tubuh ramping tersebut.
Selva tampak terkejut, gugup dan bingung.
“Sangat liar, sampai paman ingin memilikimu seorang diri,” jawab Mark dengan jujur dan gentle membuat Selva terkejut sesaat dengan pernyataan barusan.
Selva takut namun ia merasa tenang, ia gugup namun girang, bagaimana cara mengatakan akan perasaannya saat ini.
Mark yang sudah tidak bisa berpikir jernih selain bibir Selva, sontak langsung melumat bibir pink itu dengan sedikit liar dan buas, dalam dan intens dan sangat kasar.
Selva menahan dada bidang Mark karena sulit bernapas juga tak bisa mengimbangi pangutan Mark yang sungguh ironik, selain liar juga dalam.
Mark dengan napas menderunya menatap mata Selva, berusaha mengontrol dirinya saat ini.
“Seandainya kamu bukan keponakan paman,” Mark menjeda sejenak ucapannya.
“Paman sudah menikahimu saat ini juga,” sambungnya yang langsung bangun dari atas tubuh Selva.
Selva bernapas lega saat Mark pergi dari atas tubuhnya, napasnya kembali berjalan normal dan sedikit leluasa.
Mark lalu melenggang pergi keluar dari kamar Selva.
—-
Malam harinya, Selva benar benar tidak bisa tidur setelah ucapan Mark tadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari namun kedua mata Selva benar benar masih segar dan tidak ada tanda tanda mengantuk sedikitpun.
Selva langsung bangun dari baringnya dengan helaan napas yang gusar.
“Ada apa denganku,” ketusnya dengan kesal kala dirinya tak kunjung bisa memejamkan mata setelah ucapa Mark tadi.
Selva turun dari ranjang dan memutuskan untuk makan, berharap ia bisa segera tidur setelah ini.
Namun begitu keluar, ia mendapati Mark tengah duduk bersandar di sofa dan menonton TV.
“Kamu belum tidur?” Tanya Mark yang mana suasana menjadi sedikit canggung saat ini.
Selva menggeleng sembari mengusap tengkuk belakangnya. Rambut panjangnya menjuntai ke depan berhasil menutupi rona merah di pipinya.
Dengan canggung Selva berjalan menghampiri Mark dan duduk di sampingnya tanpa bersandar pada sofa.
“Paman sendiri kenapa belum tidur?” Tanya Selva kala melihat cangkir kopi.
Mark menghela napas pelan dan menjawab, “Entah. Tiba tiba sulit saja untuk memejamkan mata.” Selva menelan salivanya, kenapa hal itu sama dengan dirinya.
Selva hanya manggut manggut terpaksa harus ikut menonton bola.
Mark menatap punggung Selva lalu bertanya, “Kenapa belum tidur? Kamu lapar?” Selva menoleh lalu menggeleng. Padahal niat awalnya ia ingin makan tadi dengan tujuan bisa segera tidur.
Suasana menjadi canggung lagi sampai Mark mengusap pinggang Selva, memijitnya pelan dan berkata, “Dulu saat paman sulit tidur, ayahmu akan memijit pinggangku. Dan itu ampuh untuk segera tidur.” Selva hanya diam dan menelan salivanya bingung bagaimana ia harus merespon ucapan Mark.
Tapi jujur pijatan itu sungguh nyaman dan menenangkan, sangat rileks sekali.
Mark menarik dirinya dari sandaran sofa dan bertanya, “Bagaimana, apa lebih baik?” Selva menoleh tatapan keduanya saling bertemu satu sama lain.
Selva tenggelam dalam tatapan seksi pamannya.
“Apa paman tahu kenapa aku sulit untuk tidur?” Mark diam, menggeleng pelan.
Selva menelan salivanya, tatapannya sekilas teralihkan ke bibir Mark.
“Itu semua salah paman,” ketus Selva langsung melengos mengalihkan tatapannya ke layar TV.
Mark mengernyitkan keningnya dengan bingung di mana bibirnya samar samar menahan senyum.
“Apa yang paman lakukan? Karena omelan tadi?” Tebak Mark yang benar benar tidak tahu apa salahnya.
Selva langsung menoleh kembali menatap Mark dengan kesal.
Tanpa mengatakan apapun, Selva menarik tengkuk Mark dan melumat bibir seksi itu sekilas.
Mark diam tertegun dan mencoba mencerna dengan baik apa yang barusan terjadi.
Karena itu terjadi dengan begitu cepat sekali.
Mark menatap Selva seolah meminta penjelasan atas apa yang barusan ia lakukan.
“Kenapa paman mengatakan seandainya aku bukan ponakanmu, paman akan menikahiku? Itu sungguh mengganggu pikiranku,” kata Selva memberitahu tentang perasaannya membuat Mark diam dan tenggelam dalam kecantikan Selva malam ini.
