Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Badai Jiwa

Dokter Frans terdiam sejenak, sorot matanya mencerminkan beban yang berat. Ia menyadari bahwa Kenda tidak akan berhenti bertanya dan merengek jika kebenaran pahit ini terus disembunyikan. Dengan suara yang rendah dan penuh kehati-hatian, ia akhirnya mengungkapkan kenyataan yang menghancurkan, “Kenda… saya mohon kamu tetap tenang. Kedua orang tuamu… mereka telah meninggal dunia.”

Dalam sekejap, dunia yang selama ini Kenda kenal seolah runtuh berkeping-keping. Matanya membelalak lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Air mata mulai mengalir deras tanpa bisa ditahan, membasahi pipinya yang pucat. “Tidak…! Ini tidak mungkin…!” Ia meraung dengan suara yang memilukan, memenuhi seluruh ruangan dengan kesedihan yang mendalam.

Hatinya hancur berkeping-keping, seakan ada badai dahsyat yang meluluhlantakkan seluruh jiwa dan raganya.

Dengan histeris, Kenda berusaha bangkit dari ranjang rumah sakit, meskipun tubuhnya masih terasa sangat lemah dan penuh dengan luka.

Tangannya meraih apa saja yang bisa dijangkau, berusaha mencari pegangan agar bisa berdiri tegak. Dokter Frans dan perawat yang sudah memperkirakan reaksi histeris ini segera menahan tubuh Kenda, berusaha mencegahnya agar tidak semakin terluka.

Perawat bergerak cepat dan sigap, mengambil suntikan berisi cairan penenang dari meja di dekatnya. Dengan cekatan, jarum suntik itu menembus lengan Kenda.

Tangisnya yang mengguncang perlahan melemah seiring dengan efek obat yang mulai bekerja. Tubuhnya kembali terkulai lemas di atas ranjang, dan akhirnya ia jatuh pingsan dalam keadaan yang memprihatinkan.

Dokter Frans menatap pasien muda itu dengan raut wajah yang penuh iba dan kasihan. Suaranya lirih dan nyaris tak terdengar ketika ia berbisik, “Maafkan saya, Kenda. Saya terpaksa melakukan ini… demi keselamatanmu. Lebih baik satu anggota keluarga selamat daripada semuanya tiada.”

Beberapa jam kemudian, Kenda kembali membuka matanya. Pandangannya kosong dan hampa, tubuhnya terasa sangat lemah dan tidak berdaya. Dengan suara parau yang nyaris tidak terdengar, ia bertanya kepada perawat yang setia mendampinginya, “Bolehkah saya… melihat jasad Ayah dan Ibu untuk terakhir kalinya?”

Perawat menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca emosi yang terpancar dari wajah Kenda. “Boleh, Nak. Tapi saya mohon kamu berjanji untuk tidak histeris lagi seperti tadi. Ingat, kamu adalah satu-satunya keluarga yang selamat dari kecelakaan ini. Kamu harus bisa tegar dan kuat.”

Air mata Kenda kembali mengalir deras, namun ia mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan. “Baik… saya akan berusaha untuk tegar.”

Kasur dorong yang membawa Kenda meluncur perlahan di sepanjang koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi menuju kamar mayat. Bukan karena ia telah meninggal dunia, melainkan karena ia ingin melihat kedua jasad orang tuanya untuk terakhir kalinya, memberikan penghormatan terakhir kepada mereka.

Dokter Frans berjalan di sampingnya, ditemani oleh beberapa perawat yang berjaga-jaga untuk memastikan agar kondisi Kenda tidak memburuk selama proses ini.

Sesampainya di kamar mayat, udara dingin langsung menyambut mereka, menusuk kulit dan membuat bulu kuduk berdiri. Di hadapan mereka, dua tubuh yang telah dibungkus khusus dengan kantung tahan air terbaring diam di atas meja. Itulah jasad Kennedy dan Dasya, kedua orang tua Kenda yang sangat dicintainya.

Dengan suara bergetar dan penuh kesedihan, Kenda berkata, “Tolong… bukakan sebentar kantungnya. Saya ingin melihat wajah mereka untuk terakhir kalinya.”

Dokter Frans menggelengkan kepalanya perlahan, nada suaranya penuh kehati-hatian dan pertimbangan. “Kenda… maafkan saya. Kondisi jasad kedua orang tuamu sudah hancur parah akibat kecelakaan yang mengerikan itu. Tidak baik bagi kamu jika melihatnya.”

Air mata Kenda kembali mengalir deras membasahi pipinya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak kembali histeris dan kehilangan kendali. Dengan suara lirih dan penuh penyesalan, ia bergumam, “Maafkan aku, Ayah… Ibu… ini semua salahku… aku yang menyetir mobil itu…”

Suasana di dalam kamar mayat begitu sunyi dan mencekam, hanya isak tangis Kenda yang terdengar memecah keheningan.

Setelah beberapa lama terdiam dalam kesedihan, Dokter Frans memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Kenda, apakah ada anggota keluarga lain atau kerabat dekat yang bisa kami hubungi untuk membantu mengurus pemakaman kedua orang tuamu?”

Kenda menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Tidak ada, Dokter. Ayah dan Ibu adalah perantau dari daerah lain. Dulu, mereka adalah korban tsunami… yang berhasil selamat dari bencana dahsyat itu. Semua keluarga besar mereka sudah musnah dihantam tsunami… jauh sebelum aku lahir.”

 

Dokter Frans menatap Kenda dengan raut wajah yang penuh empati dan simpati. “Kenda, izinkan saya dan pihak rumah sakit untuk mengurus pemakaman kedua orang tuamu dengan layak. Itu adalah yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk saat ini.”

Dengan suara serak dan terbata-bata, Kenda bertanya, “Apakah saya… tidak diperbolehkan untuk mengurus pemakaman mereka sendiri?”

Dokter Frans menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya. “Kenda, selain gegar otak ringan yang kamu alami, kondisi kedua kakimu juga sangat parah. Setelah kami melakukan foto Rontgen, ternyata tulang kakimu remuk total. Tidak mungkin dilakukan operasi penyambungan. Saya harus jujur mengatakan ini… mulai dari paha ke bawah, kamu divonis lumpuh.”

Duar!

Kata-kata itu menghantam hati Kenda lebih keras daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Belum lama ia mendengar kabar kematian kedua orang tuanya, kini ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ia telah kehilangan fungsi kakinya untuk selamanya. Air matanya kembali mengalir deras, dadanya terasa sesak, dan suaranya tercekat di tenggorokan.

Saat suasana semakin pilu dan menyayat hati, pintu kamar mayat tiba-tiba terbuka. Seorang pria paruh baya masuk dengan wajah cemas dan khawatir. Ia adalah Pak Beran, mitra kerja Kennedy yang tinggal di kota Bogi. Keluarga Kenda Rein mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju acara pernikahan anak sulung Pak Beran.

Pak Beran segera menghampiri kasur tempat Kenda terbaring. Dengan suara tenang dan menenangkan, ia berkata, “Kenda, yang sabar ya, Nak. Biarlah saya yang mengurus pemakaman Ayah dan Ibumu. Kamu fokuslah dulu pada kesembuhanmu. Itu yang paling penting sekarang.”

Kenda hanya bisa terdiam membisu, matanya kosong dan hampa, menatap lurus ke depan tanpa arah yang jelas. Kasur dorongnya kemudian digerakkan keluar dari kamar mayat. Seluruh semangat hidupnya seakan lenyap bersama kepergian kedua orang tuanya.

Pak Beran berdiri sejenak, menatap tubuh Kenda yang semakin menjauh. Setelah itu, ia segera berkoordinasi dengan Dokter Frans untuk mengurus dua jenazah Kennedy dan Dasya dengan layak dan terhormat.

 —

Kenda sudah tidak peduli lagi ia dirawat di kamar mana. Semangat hidupnya seolah telah sirna, menguap begitu saja tanpa bekas. Hari-harinya hanya diisi dengan lamunan panjang, menatap kosong ke langit-langit kamar. Makanan dari rumah sakit hanya disentuh sedikit, sekadar untuk menjaga tubuhnya agar tidak semakin lemah dan memburuk.

Pada hari kedua setelah kecelakaan, dua orang polisi masuk ke kamar rawat inapnya. Mereka meminta keterangan tentang kronologi kecelakaan yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dengan suara lemah dan lesu, Kenda menceritakan semua yang ia ingat: tentang dua truk tronton yang seolah sengaja menjebak mobilnya, tentang rem mendadak yang dilakukan oleh salah satu truk, hingga tabrakan dahsyat yang membuat mobil mereka tergencet dan hancur. Polisi mencatat semua keterangannya dengan teliti, lalu berjanji akan mengusut tuntas kasus ini dan menangkap para pelaku yang bertanggung jawab.

Begitu polisi pergi, Kenda kembali tenggelam dalam kesunyian dan kesedihan yang mendalam. Ia bahkan tidak terpikir untuk menghubungi Nilam, kekasihnya. Lagi pula, ponselnya telah hilang, kemungkinan besar hancur berkeping-keping bersama mobil yang ringsek.

Pada hari ketiga, tiba-tiba pintu kamar rawat inap terbuka. Nilam muncul dengan wajah panik dan khawatir. Ia berlari kecil mendekati kasur tempat Kenda terbaring, lalu menggenggam tangannya erat. “Kenda… maafkan aku… aku sangat khawatir padamu,” ucapnya sambil menangis tersedu-sedu. Air matanya jatuh membasahi selimut rumah sakit. Ia juga menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya kedua orang tua Kenda.

Belum sempat Kenda merespons atau mengatakan apa pun, pintu kamar kembali terbuka. Sosok Pak Beran muncul di ambang pintu.

LEVA LORICH

(Bersambung ke bab selanjutnya)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel