Pustaka
Bahasa Indonesia

Kehamilan Sistem

22.0K · Ongoing
Leva Lorich
19
Bab
148
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kenda Rein dan orangtuanya mengalami kecelakaan fatal yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Kaki Kenda juga akhirnya lumpuh total. Tak hanya itu, kekayaan keluarganya bangkrut karena sebuah pengkhianat. Namun Kenda diselamatkan oleh sebuah sistem yang mampu melahirkan generasi bisnis Kenda dan merubah keterpurukan Kenda Rein menjadi kerajaan bisnis yang luar biasa.

FantasiBillionaireDewasaWanita CantikKehidupan Misterius

1. Terjebak di Tengah

Nada tinggi yang memekakkan telinga menyembur dari ponsel Kenda Rine, seorang pemuda tampan berusia 21 tahun yang menggenggam erat perangkat itu di ruang tamu rumahnya. Raut wajahnya menegang mendengar suara di seberang sana.

“Aku hanya meminta diantar ke salon, Ken! Apakah itu sesuatu yang sulit untuk dipenuhi?” suara Nilam, kekasihnya, terdengar penuh tuntutan.

Kenda menahan kesal. “Nilam, aku sudah bilang, kan? Hari ini aku memiliki janji mengantar Ayah dan Ibu ke pernikahan teman bisnis Ayah di kota Bogi. Itu penting. Aku tidak bisa meninggalkan mereka.”

“Kamu itu selalu saja menuruti keluargamu! Sekali-sekali menuruti aku, mengapa sulit sekali?” balas Nilam dengan nada meninggi.

Kenda menghela napas berat. “Aku tidak bisa. Ini kewajibanku sebagai anak. Jika kamu tidak dapat mengerti, aku juga tak tahu harus mengatakan apa.”

Tanpa basa-basi, Nilam langsung menutup telepon dengan kasar. Suara beep yang terdengar membuat dada Kenda terasa sesak. Ia menatap layar ponsel beberapa detik, lalu meletakkannya di meja dengan wajah menegang.

Dengan langkah gontai, Kenda berjalan menuju garasi rumahnya. Di sana, terparkir sebuah mobil BMW 5-series berwarna putih yang merupakan milik keluarganya. Tanpa ragu, ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Jantungnya berdegup kencang, bercampur antara rasa kesal dan perasaan bersalah. Mesin mobil segera meraung halus ketika ia memutar kunci kontak, membangkitkan tenaga yang siap membawa mereka menuju tujuan.

Tidak lama kemudian, sepasang paruh baya keluar dari pintu rumah besar mereka yang berdiri megah di kawasan elit kota Jeketi. Kennedy, ayah Kenda, seorang pengusaha sukses yang dikenal luas, melangkah dengan mantap sambil merapikan jas yang dikenakannya. Di sampingnya, Dasya, ibunya, tampak anggun dan mempesona dalam balutan kebaya modern berwarna pastel yang semakin menonjolkan kecantikannya.

Kennedy mendekati mobil yang dikendarai Kenda, lalu berkata dengan nada perhatian, “Kenda, apakah kamu sudah siap untuk berangkat ke kota Bogi? Kalau kamu merasa masih mengantuk atau kurang enak badan, biar Ayah saja yang menyetir. Kamu bisa istirahat di belakang.”

Kenda segera menoleh ke arah ayahnya sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaan kalut yang sedang melandanya. “Tidak apa-apa, Yah. Aku merasa fit kok. Biar aku saja yang menyetir. Ayah dan Ibu bisa bersantai di belakang.”

Dasya masuk lebih dulu ke kursi belakang mobil, diikuti oleh Kennedy yang duduk di samping istrinya. Kenda memastikan bahwa kedua orang tuanya telah mengenakan sabuk pengaman dengan benar, lalu menarik tuas persneling dan mulai menjalankan mobil.

Mobil BMW putih itu pun perlahan meninggalkan halaman rumah yang luas dan mewah, memulai perjalanan menuju kota Bogi untuk menghadiri acara pernikahan mitra bisnis Kennedy yang sangat penting.

 —

Awalnya, perjalanan terasa begitu lancar dan nyaman. Kenda memegang kemudi dengan tenang dan mantap, sementara Kennedy dan Dasya duduk di kursi belakang sambil berbincang ringan tentang berbagai hal, mulai dari bisnis hingga masalah keluarga. Jalan tol yang baru saja mereka masuki sekitar lima belas menit lalu terasa lengang, memungkinkan mereka untuk melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Namun, tiba-tiba saja firasat buruk merayapi dada Kenda, membuatnya merasa tidak nyaman dan was-was. Dari kaca spion mobil, ia melihat dua buah truk tronton berukuran besar yang berjalan beriringan di belakang mereka. Cara mereka melaju tampak mencurigakan, seolah bukan sebuah kebetulan semata. Pandangan Kenda menajam, berusaha menganalisis situasi dan mencurigai adanya niat buruk di balik pergerakan kendaraan-kendaraan besar itu.

Tidak lama kemudian, salah satu truk tronton menyalip mobil mereka dengan kecepatan tinggi. Roda-roda besarnya menghentak aspal, meninggalkan suara menderu yang memekakkan telinga dan membuat jantung Kenda berdebar semakin kencang. Setelah berhasil menyalip, truk itu justru tidak menjauh, melainkan melambat dan berjalan tepat di depan mobil yang dikendarai Kenda, menghalangi laju mereka.

Kini, posisi mobil mereka terjebak di antara dua truk tronton yang sangat besar, satu di depan dan satu lagi di belakang. Jarak antara mobil mereka dengan kedua truk itu terlalu dekat, membuatnya sulit untuk bermanuver atau menghindar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Perasaan Kenda semakin tidak nyaman dan gelisah. Kedua tangannya menggenggam kemudi lebih erat, berusaha mengendalikan mobil dengan sebaik mungkin. Ia baru saja berniat untuk menginjak pedal gas lebih dalam guna menyalip truk yang berada di depannya, namun mendadak, tanpa peringatan apa pun, truk itu mengerem dengan keras.

“Ya Tuhan!” seru Kenda dengan kaget, refleks menginjak pedal rem sekuat tenaga.

Namun, karena ia sudah terlanjur menekan pedal gas sebelumnya, mobilnya tidak dapat berhenti tepat waktu.

Brakkk!.

Mobil mereka membentur bagian belakang truk dengan hentakan yang sangat keras. Suara logam beradu memekakkan telinga, menggema di sepanjang jalan tol.

Belum sempat Kenda merespons atau melakukan tindakan pencegahan, truk tronton yang berada di belakang mereka justru menabrakkan mobilnya dengan sengaja.

Duarrr!.

Benturan hebat itu membuat tubuh Kennedy dan Dasya terhentak ke depan dengan keras, sementara Kenda berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan stir mobil agar tidak kehilangan kendali.

Mobil BMW putih itu tergencet hebat dari dua sisi, bagaikan sebuah kaleng yang diremuk oleh tangan raksasa. Getarannya mengguncang seluruh tubuh penumpang, membuat mereka merasakan sakit yang luar biasa.

Kecelakaan fatal pun tak terhindarkan. Mobil Kenda terlempar keluar jalur tol, menabrak pembatas jalan dengan keras hingga akhirnya terhenti dalam keadaan ringsek dan tak berbentuk. Dua truk tronton yang menjadi biang keladi kecelakaan itu langsung tancap gas, melarikan diri tanpa meninggalkan jejak, seolah tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka.

Di dalam mobil, darah berceceran di mana-mana, membasahi jok dan karpet mobil. Tubuh Kenda, Kennedy, dan Dasya terkulai tak berdaya, tak sadarkan diri di tengah puing-puing kaca dan besi yang hancur, menunggu pertolongan datang.

 —

Rumah Sakit Medika, sebuah bangunan megah yang berdiri di tepian kota Jeketi. Di ruang UGD yang serba steril, Kenda tergeletak seorang diri di atas sebuah kasur dengan selang infus terpasang di tangannya. Tubuhnya masih terasa sangat lemah, napasnya tersengal pelan, menandakan bahwa ia masih berjuang untuk bertahan hidup. Ia baru saja menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk foto Rontgen untuk memeriksa kondisi tulangnya setelah mengalami kecelakaan yang mengerikan itu.

Ruangan itu begitu hening, hanya terdengar suara mesin medis yang berulang secara monoton, menciptakan suasana yang mencekam dan menakutkan.

Perlahan, kelopak mata Kenda bergerak-gerak, mencoba membuka diri dari kegelapan yang menyelimutinya. Saat ia mulai sadar, rasa pening yang amat sangat menghantam kepalanya, membuatnya mual dan ingin muntah. Pandangannya masih kabur, dunia seolah berputar di sekelilingnya. Ia meringis kesakitan, berusaha menggerakkan sedikit tubuhnya, namun rasa sakit yang luar biasa segera menyergapnya, membuatnya tidak berdaya.

Seorang perawat wanita yang sejak tadi berjaga di dekatnya segera menghampiri Kenda dengan wajah khawatir. “Tenang, Nak. Jangan banyak bergerak dulu. Kamu masih dalam masa pemulihan. Istirahat saja,” ucapnya lembut sambil berusaha menenangkan Kenda.

Dengan suara serak dan terbata-bata, Kenda bertanya lirih, “Saya... di mana ini? Apa yang terjadi?”

“Ini ruang UGD, Rumah Sakit Medika,” jawab perawat itu dengan lembut sambil terus berusaha menenangkan Kenda yang tampak kebingungan.

Kenda menelan ludah dengan susah payah, matanya bergetar menahan air mata yang mulai membasahi pipinya. “Ayah... Ibu... bagaimana dengan mereka? Di mana mereka sekarang?”

Perawat itu terdiam sejenak, tampak ragu untuk memberikan jawaban yang sebenarnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menjawab dengan singkat, “Sekarang, lebih baik kamu fokus dulu untuk memulihkan kondisi kamu sendiri, ya. Jangan pikirkan hal lain dulu.”

Tanpa menunggu lebih lama, perawat itu segera memanggil dokter jaga untuk memeriksa kondisi Kenda. Tidak lama kemudian, seorang pria berjas putih masuk ke dalam ruangan. Dialah Dokter Frans, dokter penanggung jawab UGD yang dikenal ramah dan profesional. Ia mendekati kasur Kenda, menyalakan senter kecil untuk memeriksa respon mata pasiennya.

“Bagus, kamu sudah sadar,” ucap Dokter Frans dengan nada menenangkan. “Kamu mengalami gegar otak ringan dan patah tulang pada kaki. Jangan banyak bergerak dulu, tenangkan dirimu dan ikuti instruksi kami.”

Dengan wajah panik dan penuh harap, Kenda kembali bertanya, “Ayah... Ibu saya... bagaimana keadaan mereka, Dok? Apakah mereka baik-baik saja?”

Dokter Frans meletakkan stetoskop di lehernya, lalu menatap Kenda dengan tatapan serius dan penuh simpati. “Kamu jangan memikirkan hal lain dulu. Kondisimu juga cukup parah. Fokuslah untuk pulih dan memulihkan diri. Yang lain biar kami yang urus. Percayakan semuanya pada kami.”

Kenda menggelengkan kepalanya dengan cepat, meski rasa pening di kepalanya semakin terasa saat ia menggeleng. “Tidak, Dok. Saya harus tahu kondisi mereka dulu agar saya bisa tenang. Saya mohon dengan sangat…”

LEVA LORICH. (Bersambung ke bab selanjutnya).