05. Dafi Dan Shaka
“Dek, jangan. Tidak boleh ganggu Om-nya!“ seru Nindy yang melihat adiknya berdiri di depan Dafi. Keduanya menoleh ke arah Nindy.
"Adik tidak menggangu kok, Kak,“ jawab Dafi.
Shaka hanya nyengir kuda merasa ada yang membelanya. Nindy mendekati Shaka lalu meraih tangan sang adik.
“Ayo ke dalam. Tidak boleh mengganggu tamu. Itu tidak sopan,“ nasihat Nindy.
“Tunggu dulu,“ kata Dafi sambil mencekal lengan kedua anak itu. “Namanya siapa saja? Om boleh kenalan?“
Rencana mengorek informasi akan dia mulai. Dafi menarik Nindy agar berada di depannya, hingga dua bersaudara itu berdiri berdampingan.
“Aku Shaka, Om. Ini Kak Nindy,“ jawab Shaka sambil menyenggol bahu Anin dengan pundak.
“Aku sudah sekolah PAUD lalu kakak kelas 2 SD,“ lanjut Shaka menunjukkan simbol angka dua dengan jarinya.
Nindy hanya diam saja. Dia tidak begitu nyaman dengan kehadiran orang baru yang sama sekali tidak dia kenal.
“Lalu siapa nama orang tuanya?“ lanjut Dafi.
“Orang tua?“ tanya Shaka bingung. Dia pikir orang tua adalah orang yang benar-benar sudah tua.
“Bunda Dara dan Papa Aidin,“ jawab Nindy dengan tenang.
Si kecil menoleh ke arah sang kakak. Sejenak dia mulai paham dengan kata orang tua yang Dafi lontarkan.
“Iya.... bundanya Shaka, Bunda Dara. Lalu papanya Shaka, Papa Aidin,“ teriaknya bersemangat sambil
meloncat-loncat.
Nyali Dafi menciut mendengar ucapan kedua anak itu. Dia juga kecewa pada diri sendiri, kenapa tidak dari dulu mencari Dara. Dalam benak Dafi, Dara sudah menikah dengan orang yang namanya Aidin, ayah kedua bocah yang berada di depannya.
Haruskah dia mundur untuk mendapatkan Dara. Atau tetap berjuang, tapi wanita itu sudah milik orang lain. Sedangkan di ruang tengah lamunan Dara disadarkan pertanyaan sang ibu.
“Kok masih di sini, Nduk? Lha siapa yang menemui Nak Dafi?“
Dara terkejut mendengar ucapan sang ibu yang baru keluar dari dapur. Beliau membawa nampan dengan minuman dan sepiring pisang goreng. Dara segera berdiri dan mendekati Bu Maisaroh.
“Nunggu ini, Ibu,“ jawab Dara seraya mengambil nampan itu. “Malu menemui tamu tapi tidak membawa suguhan,“ alasannya. Dia melenggang menjauhi ibunya.
“Itu untuk Bapak dan Nak Salman yang ada di depan,“ Bu Maisaroh memberi penjelasan. Dara berbalik sambil mengedipkan sebelah matanya.
Tetap berusaha untuk tenang Dara melangkah keluar. Di dalam ruang tamu, mereka bertiga menyadari keberadaannya.
“Bunda!!!“ teriak Shaka sambil melambaikan tangan.
Dara hanya membalas dengan senyuman. Dia terus
melangkah keluar rumah untuk menyerahkan isi nampan tadi sesuai perintah ibunya. Sekitar lima menit kemudian Dara masuk kembali ke dalam rumah.
“Bunda mau dibantu?“ tanya Nindy melihat Dara masuk lagi ke ruang tengah. Dara berhenti dan menghadap ke Nindy. Dia menyunggingkan senyuman.
“Tidak perlu Sayang,“ balas Dara. “Sebentar ya, sebentar lagi bunda kembali,“ kata Dara sambil masuk kedalam rumah.
Pandangan kedua anak itu kembali menatap Dafi. Sepertinya pria itu melamun. Pandangannya tetap
lurus ke arah pintu masuk ke ruang tengah, tempat Dara berdiri tadi saat menjawab pertanyaan Nindy.
“Om kenapa?“ tanya Shaka sambil menggoyang bahu kokoh Dafi. Tapi Dafi tak bergeming. “Om!!!!“ Shaka pun berteriak.
Dafi terperanjat mendengar teriakkan bocah itu. Nindy langsung melotot pada adiknya. "Dek, gak boleh kayak gitu," tegur Nindy.
“Habisnya Om ini dipanggil diam saja,“ kata Shaka yang sedikit kesal.
“Iya Shaka, Sayang. Ada apa?“ tanya Dafi setelah sadar dari lamunannya.
“Om kenapa lihat bundanya Shaka kayak gitu?" tanya Shaka sambil memalingkan wajahnya. Dia juga melipat kedua tangannya. Persis sikap emak-emak yang sedang merajuk.
“Habisnya bunda Shaka cantik makanya om tidak bosan melihatnya,“ jawab Dafi. Entah apa yang ada dipikiran Dafi sampai mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Wajah Shaka mulai kesal. Dia berkacak pinggang.
“Itu bunda Shaka, Om gak boleh mengambilnya,“ kata pria kecil itu sedikit emosi.
“Ada apa Dek, kok teriak-teriak seperti itu?" Dara muncul dari ruang tengah sambil membawa nampan yang berisi segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.
Shaka menoleh mendengar suara yang sangat dikenalnya. Dia langsung berlari memeluk pinggang Dara. Wanita itu sedikit oleng karena pelukan yang tiba-tiba tadi. Membuat nampan yang dibawanya hampir terjatuh.
Dengan sigap Dara kembali mengeratkan pegangan pada nampan hingga semua yang ada diatasnya
tidak terjatuh. Hanya teh yang sedikit tumpah.
“Kak, tolong,“ kata Dara pada Nindy sambil mengisyaratkan untuk mengambil nampan itu. Nindy bangkit dan mengambil nampan dari bundanya. Setelah itu Dara berjongkok menghadap Shaka.
"Ada apa?“ tanyanya sambil tersenyum.
" Senyumnya tambah mempesona," batin Dafi melihat Dara tersenyum pada Shaka.
Shaka langsung melingkarkan tangannya ke leher Dara. "Shaka tidak suka sama Om itu. Om itu mau mengambil Bunda kayak Om Ridwan."
Ridwan teman kerja Dara. Selama ini dia senang menggoda Shaka. Dia bilang akan mengambil Dara.
Membawa wanita itu pergi agar tidak bisa menemui Shaka.
“Bunda kan selalu bilang kalau Om Ridwan bercanda,“ kata Dara sambil memegang kedua bahu Shaka.
"Selamanya Bunda milik Shaka. Tidak akan ada yang mengambil Bunda dari Shaka,“ Dara kembali tersenyum. Dia mencubit gemas kedua pipi gembul adik Nindy itu.
Dafi terpesona lagi dengan Dara. Sejak bertemu tadi siang, tak henti-hentinya Dara membuat Dafi semakin tertarik. Dia semakin ingin memiliki wanita itu.
Tapi, tunggu dulu.Tadi ada nama Ridwan. Siapa Ridwan itu. Mungkin pacar Dara. Lalu apa hubungan Dara dengan kedua anak ini.
Dara mengajak Shaka mendekati kursi di hadapan Dafi dan Nindy. Shaka tetap melirik sinis Dafi. Lalu Dara duduk tepat di hadapan Bian. Ada meja yang memisahkan mereka.
“Bunda, pangku," rengek Shaka.
“Dek, bunda capek. Duduk sendiri sana,“ larang Nindy.
“Gak apa-apa, Kak,“ kata Dara sambil mengangkat lalu mendudukkan Abi di pangkuannya.
“Bunda mau pisang goreng itu“ pinta Shaka sambil menunjuk pisang goreng yang ada di piring.
“Masih panas sayang,“ jawab Dara.
“Ya....” jawab Shaka kecewa.
“Adek minta garpu Uthi di dapur buat ambil pisang biar tidak panas,“ Nindy memberi ide. Tapi tujuan lain agar Shaka turun. Dia kasihan melihat bundanya.
Shaka melihat Dara kemudian menatap Dafi.
"Kakak bisa tolong Shaka ambil garpu?“ pinta Shaka. Nindy pun menggeleng.
“Kan adek yang mau pisangnya“ kata Nindy.
Shaka menghela napas pasrah. Dia turun dari pangkuan Dara. Dia menatap Dara. “Bunda jangan mau kalau di ajak Om itu, ya,“ kata Shaka kemudian berlari menuju dapur.
Setelah Shaka ke dapur suasana jadi hening. Tidak ada yang berbicara di antara mereka bertiga. Tak berselang lama, pria kecil itu datang memecahkan keheningan. Dia langsung mendekati Dara dan naik dipangkuan lagi.
“Bunda, tolong,“ katanya sambil menyerahkan garpu meminta Dara untuk mengambilkan pisang gorengnya.
“Kok ambil garpu cuma satu, Dek. Kakak sama Om Dafi gak di ambil sekalian?“ kata Cici sambil menusuk sebuah pisang goreng.
"Kakak tadi gak mau, Bun. Terus aku gak suka sama Om itu,“ jawab Abi sambil meniup pisang sebelum di gigitnya.
“Nama Om itu, Dafi. Adek bisa memanggil Om Dafi gak boleh Om itu lagi,“ ucap Dara.
“Iya Bunda,“ jawab Shaka singkat sambil terus mengunyah pisang goreng. Sebenarnya dia tidak memperhatikan nasihat Dara barusan. Dia terlanjur tidak suka sama Dafi.
“Om mau di ambilkan garpu?“ tawar Nindy
“Tidak Kak. Om nanti pinjam garpu Shaka saja,“ jawab Dafi. Dia gemas melihat tingkah Shaka dan ingin menggodanya. Dafi melirik Shaka melihat responnya.
“Aku tidak mau meminjamkan garpu untuk Om Dafi,“ jawabnya sambil terus mengunyah.
Ada perasaan senang saat Shaka memanggil namanya. Dia merasa lebih dekat dengan kedua bocah itu.
“Kalau begitu boleh Om pinjam Bunda Dara?“ goda Dafi. Dara dan Shaka sama-sama melotot.
"Dafi ...” kata Dara menekankan kata-katanya dengan kesal.
Shaka langsung memutar posisi duduknya. Sekarang dia berhadapan dengan Dara dan memeluk erat seperti koala memeluk pohon.
“Tidak boleh. Ini Bunda Shaka,“ jawabnya tanpa menoleh.
“Om Dafi kok tetap suka iseng, ya?" ucap Dara kesal.
Padahal dari tadi dia tidak mau akan bicara apa pada Dafi. Dara masih canggung. Dara mengelus rambut Shaka mencoba menenangkan. Dafi tersenyum puas melihat Dara yang kesal. Itu lebih baik daripada diam seperti tadi.
Dari dalam Bu Maisaroh mendekat sambil membawa benda pipih yang berbunyi.
"Nduk, ada telpon. Dari tadi berbunyi terus,“ ucap sang ibu sambil memberikan benda itu ke putrinya.
Dara meraihnya dan melihat nama yang tertera di ponselnya. "Papa telpon, Dek,“ ucap Dara.
Hati Dafi kembali cemas. Dia galau. Ingin meraih ponsel Dara dan melemparnya.
