Pustaka
Bahasa Indonesia

Karma: Saling Berlawanan

50.0K · Ongoing
Djisamsoe
45
Bab
61
View
9.0
Rating

Ringkasan

Semuanya dimulai dengan satu kata: “Karma.” Kebaikan dan keburukan—dua sisi yang tak pernah bisa berdampingan. Apa yang kau beri, itulah yang akan kembali padamu. Ketika dunia tenggelam dalam kekacauan dan kehancuran, Aron hanya menginginkan satu hal—menyelamatkan orang yang paling ia cintai. Namun setiap langkah yang ia ambil hanya membawanya pada lebih banyak penderitaan. Pengkhianatan. Darah. Kehilangan. Hingga hari ketika dunia menandainya sebagai iblis yang lahir dari dosa. Dan ketika harapan terakhir padam dan kegelapan memanggil, satu pertanyaan pun menggema di hatinya: "Jika takdir telah mengutukmu, bisakah kau menghancurkannya… meski harus menenggelamkan dunia dalam darah?" Ini adalah kisah seorang pria biasa yang berubah menjadi bayangan paling kelam. Sebuah perjalanan yang diukir oleh luka, amarah, dan rahasia begitu dalam hingga takdir sendiri mencoba menyembunyikannya. "Setiap takdir punya harga. Maukah kau membayarnya dengan jiwamu?"

RomansaFantasiMenyedihkanactionKiamatPetualangan

Tanggung jawab

Di puncak tertinggi dunia, dan di atas lautan awan yang bergelombang.

Dua sosok kecil, berusia sekitar lima tahun, satu laki-laki dan satu perempuan, saling bentrok menggunakan pedang dan tombak. Di atas gunung yang menjulang, kedua anak itu tampak kecil, tetapi ketika pedang dan tombak berbenturan, suara angin membuat tanah bergetar dan awan bergulir layaknya ombak di lautan.

"Lilith, aku lelah ..." Bocah laki-laki itu tiba -tiba mengeluh dan duduk terengah-engah, "Kami telah berdebat ratusan atau bahkan ribuan kali, mengapa aku tidak bisa mengalahkanmu?"

"Karena ditakdirkan untuk menjadi seperti itu." Jawaban dingin dan acuh tak acuh, yang entah telah berapa kali anak laki-laki dengar itu membuatnya terdiam. Tapi dia juga sudah sangat lelah dan mulai berbaring di tanah.

"Aduh, aku benar-benar lelah. Aku tidak ingin bertarung lagi. Aku ingin istirahat!"

Lilith meliriknya, tetapi tidak berbicara dan berbalik membelakanginya.

Gadis kecil berusia lima tahun, yang tidak lebih tinggi dari satu meter, mulai menatap lautan awan di kakinya dalam diam. Kedua matanya yang tampak polos dan kekanak-kanakan tampak tidak pada tempatnya. Menatap dunia dalam keheningan, keningnya yang berkerut seolah-olah telah melihat pasang surut kehidupan dan kematian.

Entah telah berapa lama waktu berlalu, alisnya yang berkerut sedikit mengendur dan tiba-tiba dia bertanya, "Aron, apakah kamu membenciku?"

"Membencimu?" Aron tertegun dan bertanya dengan aneh, "Mengapa aku harus membencimu?"

"Jawab saja aku, jika aku melakukan sesuatu yang buruk padamu, apakah kamu akan membenciku?"

Tanpa ragu, Aron segera menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak. Lagipula aku tidak bisa membencimu, kamu adalah satu-satunya teman dan manusia yang aku kenal di dunia ini."

"Kalau begitu...." Lilith tiba-tiba berbalik, dan sebelum Aron siap, mata tombak berwarna biru muda sudah mencapai wajahnya.

---

"Hah ..."

Aron tiba-tiba bangun, dan menemukan seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun berbaring dengan tenang di depannya.

Sedikit terpana, dia melihat sekeliling dan ketika dia menemukan bahwa itu adalah bangsal rumah sakit, dia menenangkan wajahnya dan menghela nafas panjang.

"Mimpi itu lagi."

Entah telah berapa lama, dia selalu memimpikan hal-hal aneh yang tidak masuk akal selama sepuluh tahun terakhir ini. Entah berapa kali, mimpi itu tampak terasa nyata. Kadang-kadang, dirinya menjadi pria dewasa, kadang-kadang menjadi remaja, tak jarang juga menjadi anak-anak dan bahkan seorang bayi, bertarung dengan seorang wanita yang seumuran dengannya berkali-kali, seolah-olah tak pernah berhenti.

Entah bertarung di atas gunung, di awan, di angkasa, di lautan atau dimanapun itu, Aron, yang dalam sudut pandangnya sebagai seorang anak laki-laki selalu dalam keadaan di rugikan.

Pada awalnya, Aron yang sedikit bingung dan takut mencoba untuk mencari tahu, apakah mimpi itu sebuah pertanda atau sebagainya. Tapi, bagaimanapun caranya dia berpikir, dia tidak bisa menemukan jawabannya, dan pada akhirnya hanya bisa menganggapnya sebagai kebiasaan atau mimpi buruk belaka.

Selain itu...

Aron Chen, pria berusia dua puluh tahun itu mulai menggelengkan kepalanya. Membuang semua pikiran yang ada di kepalanya, dan mulai melihat gadis kecil di ranjang rumah sakit di depannya.

Jia Chen, gadis berusia lima belas tahun, dan sedang terbaring di ranjang rumah sakit, seolah-olah sedang tidur adalah adik perempuan Aron.

Dikatakan sakit, sebenarnya gadis itu tidak terlihat sakit sama sekali. Pada kenyataannya, tidak ada tanda-tanda kelainan apapun pada tubuhnya. Entah wajah, kulit, nafas, detak jantung dan sebagainya, gadis berusia lima belas tahun itu tampak sehat dan bugar. Selain tidur dan tidak pernah bangun untuk merespon hal-hal di sekitarnya, dia sama sekali tidak sakit.

Namun, itulah penyakit aneh yang tidak pernah diketahui dan tidak pernah ada di dunia.

Penyakit putri tidur?

Aron tidak yakin, yang jelas, dia tahu dalam hatinya bahwa waktunya tidak banyak lagi.

Mengambil tangan gadis kecil yang sama sekali tidak seperti orang sakit itu, Aron dengan berat berkata, "Jiajia, apapun..."

"Kraak"

Suara pintu rumah sakit yang dibuka dari luar mengganggunya. Saat dia berbalik, dia menyaksikan seorang wanita menggunakan stelan putih, tampak dewasa, anggun dan cantik berjalan ke arahnya.

"Dokter An, melihatmu datang kemari, apakah ada sesuatu yang terjadi?" Saat bertanya, Aron tiba-tiba merasa gugup dan bahkan sedikit menahan nafasnya. Mencoba bersiap untuk hal yang terburuk.

Melihat tampilan Aron yang gugup, dokter An sedikit tersenyum lembut dan menjawab, "Tidak ada. Memangnya apa yang akan terjadi?"

"Untungnya...."

Aron menghela nafas lega dan mengendurkan kewaspadaan. "Lagipula Jiajia hanya tidur dan akan bangun, bagimana mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya?"

Dokter An terdiam saat mendengar kata-kata Aron, mulutnya terbuka, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia tidak mengatakan apapun.

Melihat tampilan Aron yang tampak lusuh, dan tidak seperti pemuda umumnya, dokter An tidak tahu harus mengatakan apa. Apalagi saat melirik gadis yang tampak sedang tertidur lelap di ranjang rumah sakit. Sebagai seorang dokter, dan telah bertahun-tahun mengenal Aron, dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dia juga tidak tahu bagaimana cara menghiburnya.

Pada akhirnya, wanita berusia tiga puluh tahun itu hanya bisa menghela nafas lemah sambil mengeluarkan selembaran kertas dan memberikannya kepada Aron.

Mengambil kertas itu, Aron tahu apa maksudnya, tapi saat membacanya, wajahnya kembali tertekan dan bahkan berkerut.

"1.500 Mark?" Nada suara Aron tampak berat ketika melihat jumlah uang yang harus dia bayarkan bulan ini.

Dokter An juga tampak bersimpati tapi harus terus menjawab, "Aku tidak bisa lagi menyembunyikannya darimu. Meskipun aku sendiri rela tidak mendapatkan apapun saat merawat adikmu, kamu juga harus tahu. Rumah sakit ini harus terus beroperasi, dan uang harus dibayarkan setiap bulan. Kamu juga tahu, berapa biaya perawatan adikmu setiap bulan."

Aron mengangguk lemah, dan benar-benar memahami apa yang dikatakan dokter An. Bagaimanapun, dia sudah bolak-balik rumah sakit ini lebih dari setengah hidupnya.

Meskipun biaya perawatan biasanya kurang dari 500 Mark untuk rawat inap setiap bulan, itu hanyalah untuk kasus biasa, sedangkan kasus yang dialami adik perempuan Aron sekarang jauh dari kata biasa. Untuk ruangan, perawatan, obat-obatan dan nutrisi untuk membiarkan Jiajia tetap sehat setiap saat, diperkirakan biayanya lebih dari 1000 Mark perbulan.

Sedangkan untuk 1500 Mark saat ini, dia juga tahu bahwa itu karena ada beberapa keringanan dan bantuan dari dokter An. Jika tidak, biaya tunggakan yang sudah tidak dia bayarkan selama dua bulan ini adalah sesuatu yang akan membuatnya benar-benar frustasi.

"Aron, aku sebenarnya tidak benar-benar ingin mengatakan ini. Tapi ini adalah keputusan bersama. Kamu tahu, sudah hampir empat setengah tahun adikmu di rawat di rumah sakit, dan kami sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Kali ini, jika kamu tidak bisa melunasi semua biaya bulan lalu dan bulan ini..." Dokter An tidak lagi melanjutkan kata-katanya, karena di antara para pendengar, siapapun tau maksudnya.

Pada saat yang sama, dokter An sudah sangat mengenal Aron. Keadaannya di masa sekarang atau bahkan masa lalunya, dokter An mungkin adalah orang yang paling mengenalnya dalam hidup ini. Di saat yang sama, dia juga benar-benar tidak bisa lagi menghibur atau sekedar menyemangatinya.

"Aku tahu," Aron memasukkan kertas pembayaran kedalam bajunya dengan sedikit gemetar dan berjanji, "Beri aku waktu beberapa hari. Paling lama seminggu, aku berjanji akan melunasinya."

"Aron, jika tidak, sebaiknya kamu--"

"Terimakasih." Aron melambaikan tangannya dan menghentikan dokter An untuk terus berbicara.

Melihatnya seperti itu, dokter An hanya bisa menghela nafas lagi dan lagi saat menyaksikan punggung pemuda yang tampak rapuh dan goyah itu mulai berjalan keluar.

"Sungguh beban dan tanggung jawab yang sangat berat. Jika itu orang lain, apakah mereka masih tetap akan bertahan?" Dokter An kembali bergumam dengan sedikit pujian dan ketidakberdayaan di wajahnya. Yang jelas, dia sangat memahami bahwa jika apa yang Aron lakukan selama sepuluh tahun ini dialami orang lain, dia yakin, siapapun itu pasti sudah menyerah.

"Dunia ini sungguh kejam!"