Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1 MILIAR.

Nilam menjadi geram dengan pertanyaan Amelia. Bisa-bisanya ia mengatakan seperti itu. Ia terdiam sejenak untuk mencari jawabannya.

"Memang kamu anak durhaka! Kamu selalu membuat masalah dalam rumah ini! Kamu selalu membuat aku kecewa!" Nilam berteriak menyalahkan Amelia.

"Jika aku durhaka, apa buktinya? Semua uang gajiku sudah aku berikan kepadamu. Sehingga aku tidak bisa memegang uang sedikit pun," Amelia berkata jujur.

"Kamu hanya memberikan kami uang berapa? Hanya sekian juta! Lalu mengapa kami mengungkit semuanya?" Nilam tidak terima kejujuran Amelia.

Semakin jujur, Amelia terpojok. Ia tidak mengerti apa yang diperdebatkan. Bingung, iya dirinya menjadi bingung. Mengapa ini bisa terjadi di dalam hidupnya?

"Kamu tidak pernah memberikan Mama kebahagiaan! Kamu selalu menyakiti Mama! Kamu selalu membantah apa kata Mama!" Nilam sangat marah dan menaruh tasnya di meja.

Amelia malas sekali berdebat. Ia sengaja membalikkan badannya dan memutuskan untuk pergi. Amelia akhirnya pergi ke belakang rumah.

"Dasar anak durhaka! Dibuka apa saja kesalahannya malah pergi!" Nilam berteriak sekali lagi.

Amelia berhenti dan tersenyum kecut. Ia seakan-akan menertawakan hidupnya. Ia tahu kalau masalah seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Ia hanya ingin hidup damai di rumah.

Amelia sengaja pergi meninggalkan Nilam. Ia tidak ingin membesarkan masalah ini. Ia tahu hidupnya tertekan. Jadi, Amelia memutuskan untuk tidak membesarkan masalahnya.

Amelia tidak sengaja melihat Santi yang sedang berbaring. Gayanya seperti anak yang tidak memiliki beban. Ia tertawa sambil video call-an sama orang luar. Amelia hanya menghela napasnya.

"Mau sejak kapan kamu begini? Ditindas lalu kamu direndahkan sama mereka. Belum lagi Dina yang sampai sekarang menghilang." Amelia mendengar bisikan di dalam hatinya.

Amelia pergi meninggalkan rumah utama. Ia berhenti sejenak lalu menyalakan lampu taman. Ia melihat beberapa bunga mawarnya merekah.

"Apakah bunga mawar ini memiliki hidup bahagia?" Amelia sengaja memetik satu tangkai bunga mawar itu.

Amelia menuju ke sebuah pondok. Pondok itu sengaja dibangun oleh Nilam. Tujuannya dibangun karena untuk memisahkan kamar Amelia dengan mereka. Kalau dipikir-pikir memang ini kesenjangan sosial.

Amelia yang menopang hidup mereka seakan-akan tidak dihargai. Ia harus hidup terpisah dari mereka. Ia tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup sesungguhnya di dalam keluarganya.

Amelia membuka pintu kamarnya. Sebenarnya kamar ini ditujukan untuk ART. Jujur, selama ini Nilam tidak ingin orang luar masuk ke dalam rumah. Nilam hanya menghitung jam kerjanya saja seperti orang kantoran.

"Hidup kayak gini amat ya? Padahal Amat aja hidupnya bebas tanpa beban. Lha aku, malah banyak beban!" Amelia tertawa dalam hati.

Amelia memutuskan untuk membersihkan tubuhnya. Ia menyiram tubuhnya dengan air sambil memejamkan matanya. Entah kenapa dirinya seakan mendapatkan petunjuk konyol.

"Sepertinya mereka bukan keluargamu sebenarnya?" Amelia mendengar bisikan itu.

Selesai mandi, Amelia langsung mengambil ponselnya. Ia melihat pesan dari Bima. Amelia hanya menggelengkan kepalanya. Malam-malam Bima menyuruhnya untuk membelikan satu setelan baju tidur. Matanya membulat, namun ia tersenyum. Amelia mendapatkan kebebasan nyata.

Amelia memilih pakaian santai. Ia hanya memakai kemeja dan celana panjang. Amelia segera meninggalkan kamarnya. Ia melihat sana-sini untuk mencari keberadaan Nilam.

Amelia beruntung kalau Nilam tidak ada. Ia berjalan pelan seakan tidak ada masalah. Ia berhasil keluar rumah dan menuju ke halte. Tapi ia bingung, bagaimana caranya ia pulang nantinya? Apakah dirinya akan menginap di kantor?

"Apakah aku harus menginap di kantor?" Amelia menggeleng pelan.

Amelia memutuskan untuk tetap pulang. Ia akan menghadapi masalah ini dengan tenang. Sebelum membeli pakaian, Amelia mampir dulu ke kantor. Perjalanan menuju ke kantor tidak menjadi hambatannya. Ia melihat lampu-lampu yang menyinari kota Jakarta.

Amelia sengaja turun di depan kantor. Ia segera menuju ke dalam. Amelia melihat beberapa pria yang memakai baju serba hitam. Tubuhnya kekar dan tegap. Amelia mencium ada yang tidak beres.

Amelia menuju ke lift. Ia melihat koridor yang sepi. Jam segini tidak ada orang yang benar-benar di kantor. Jujur, bagi Amelia tempat ini sangat nyaman. Meski kelihatan seram, Amelia tidak memperdulikannya sama sekali.

"Apakah aku harus menginap di sini?" Amelia bertanya sekali lagi.

Jawabannya menjadi bingung. Ingin menghadapi mereka, nanti ujung-ujungnya drama besar. Seakan-akan dirinya masih ketakutan.

Amelia akhirnya sampai di depan ruangan Bima. Ia ragu untuk mengetuk pintu. Tapi Bima yang sedang santai sudah mengetahui keberadaan Amelia.

"Masuklah!" Bima berteriak sambil meminum bir.

Amelia membuka pintu. Ia melihat Bima yang sedang bersantai di sofa. Ia bingung dengan keadaan Bima.

"Pak, tidak apa-apa kan?" Amelia masih memperdulikan orang lain. Tapi kenyataan sesungguhnya, ia juga babak belur.

"Enggak." Bima mengambil dompetnya untuk mengambil kartu platinum.

"Serius!" Amelia menatap wajah Bima yang tidak baik-baik saja.

"Serius! Kamu kenapa, Mel?" Bima menatap wajah Amelia. Ia seakan-akan merasakan ada sesuatu yang membuatnya aneh. Ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya.

Bima menyerahkan kartu platinum itu ke Amelia. Amelia mengambil kartu itu dan menaruhnya di dalam tas. Sebelum berangkat, Bima mengirimkan pesan yang berisi barang yang akan dibeli Amelia.

"Cari sampai dapat!" Bima menatap tajam.

"Sebentar, Pak. Mengapa di luar sana ada beberapa pria yang memakai baju serba hitam?" Amelia bertanya serius.

"Mereka adalah pengawalku. Biarkan mereka berjaga di depan. Security yang menjaga kantor sengaja aku suruh pulang," jelas Bima.

"Baiklah," balas Amelia.

Tiba-tiba saja Bima berubah pikiran. Ia berdiri dan mengambil jaketnya. Ia memakai jaket itu sambil mendekati Amelia.

"Lebih baik kita belanja berdua," ajak Bima.

Di sinilah Amelia sedang diuji mentalnya oleh Bima. Sebenarnya ia tidak takut berjalan bersama atasannya. Tapi ia sadar betul kalau Bima adalah pria beristri. Seharusnya ia mengajak istrinya, bukan dirinya.

"Bukankah Bapak bersama Ibu Martha malam ini?" Amelia bertanya dengan jujur.

"Kenapa kamu menanyakan Martha? Memangnya kamu tidak suka berjalan denganku malam ini?" Bima menantang Amelia.

Watak Bima memang sangat keras. Bima adalah tipe atasan yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Jadinya apa pun yang dilakukannya harus sesuai keinginannya.

Amelia sengaja mengalah dan tidak ingin menimbulkan perdebatan. Ia mengangguk saja dan menuruti keinginan Bima. Ia memilih menjaga jarak agar tidak terjadi masalah besar.

Malam itu juga mereka keluar dari kantor. Bima menatap para pengawalnya dan memberikan sebuah kode. Mereka mengangguk paham. Amelia hanya melihat dan tidak memperhatikannya.

"Apakah kamu bisa menghabiskan uang satu miliar malam ini?" Bima bertanya sambil membuka pintu mobil.

"Yang benar saja. Bagaimana bisa aku menghabiskan uang sebanyak itu?" Amelia hanya menggelengkan kepalanya.

"Masuk dan duduk di sampingku!" Bima memberikan perintah.

Amelia masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Bima. Ia hanya bingung dengan permintaan Bima. Lalu ia tidak memperdulikannya lagi.

"Apakah kamu bisa menghabiskan uang satu miliar?" Bima mengulangi pertanyaannya yang sama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel