Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kebingungan Rumi

Arjuna merasa di atas awan, Arya yang sebal dengan ucapan kakaknya segera berlalu dari apartemen Arjuna, dia tidak mau emosinya makin tersulut dengan sikap Arjuna. Dengan kesal dia keluar dari apartemen Arjuna dan membanting pintu dengan kasar.

Brak!

Arjuna yang tahu adiknya sedang kesal padanya, tak mau ambil pusing, dia hanya menggeleng dan tersenyum melihat kelakuan adiknya. Arjuna mendadak mengingat Rumi. Mengingat perlakuannya pada Rumi, membuat wajahnya menghangat.

"Argh, apa aku sudah gila!"

"Rumi..Rumi..Rumi, kamu membuatku gila!" Arjuna benar-benar sudah terjebak dengan pesona Rumi Anggraini sang sekretarisnya.

**

Sementara di apartemen Rumi, Rumi berusaha menghilangkan tanda-tanda kepemilikan yang ditinggalkan Arjuna.

"Arjuna sialan, bagaimana besok aku ke kantor, kalau aku tidak bisa menutupinya."

Meskipun dia tidak pernah pacaran, Rumi tahu tanda itu tidak mudah dihilangkan begitu saja, butuh beberapa hari agar kulit mulusnya itu kembali seperti semula lagi. Dia yang tak memiliki kosmetik lengkap pun mulai frustrasi.

"Masa iya, aku akan pergi ke kantor dengan memakai hansaplast di sana sini, yang ada mereka akan mencurigaiku."

"Sepertinya aku harus pergi ke drug store membeli sesuatu," gumamnya pada diri sendiri. Mengambil tas dan ponselnya, segera turun ke apartemennya, untung saja hari ini dia tidak perlu kantor. Belum sempat dia keluar dari apartemennya, ponsel Rumi berdering kembali. Arya meneleponnya.

"Halo, Rumi," sapa Arya dari seberang sana.

"Halo, Ya, apa urusan kamu sudah selesai?"

"Sudah, aku menelepon ingin mengajak kamu makan malam nanti, bagaimana? Apa kamu bisa?" tanya Arya pada Rumi, dia ingin mengorek informasi dari Rumi, meskipun sepertinya itu suatu hal yang mustahil.

"Tentu saja, kita ketemu di mana? Atau kamu datang menjemputku?"

"Aku yang akan menjemput kamu, Rumi. Sekarang kamu sedang apa? Apa aku mengganggu kamu?"

"Nanti aku telepon lagi, ya. Aku harus pergi ke drug store membeli sesuatu."

"Apa kamu sakit?" tanya Arya khawatir.

"Enggak, biasalah perempuan," jawab Rumi mengelak dengan halus. Dia tidak mau pertanyaan Arya akan semakin panjang dan lama, dia takut keceplosan.

Rumi mengakhiri panggilan teleponnya, kemudian dia turun dari apartemen dan menuju drug store, membeli semua yang dia butuh kan.

Rumi mendadak ingat pada papanya yang datang ke apartemennya tadi pagi, segera Rumi menuju basemen dan mengambil mobilnya. Mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah orang tuanya.

Jalanan yang lumayan macet membuatnya sedikit bosan, dia menghidupkan audio mobilnya, mengalun lagu kesayangannya, don't falling love.

Rumi mengusir kebosanannya dengan bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti irama. Hampir dua puluh menit dia berada di atas kendaraannya, dan akhirnya dia sampai di rumah kediaman papanya. Seorang penjaga yang sudah lama bekerja di sana membuka pintu gerbang untuknya dan menyambut Rumi dengan ucapan selamat siang. Tak lupa Rumi membalasnya dan mengucapkan terima kasih.

Rumi, meskipun dia anak satu-satunya dan dibesarkan seorang diri oleh papanya, dia selalu bisa menjaga sikapnya, sopan santun yang diajarkan papanya melekat hingga sekarang. Rumi memang sosok wanita yang hampir mendekati sempurna, berwajah cantik, berakhlak baik dan juga rendah hati. Sosok idaman banyak pria. Sayangnya hingga dia sebesar ini, dia belum pernah menerima satu orang pun yang serius dengannya.

Meski baru-baru ini di merasa nyaman dengan Arya, dia tak berani memastikan, apa rasa nyaman yang dia rasakan itu memang karena dia mencintai Arya atau hanya sekedar rasa nyaman sebagai teman saja.

Rumi masuk ke dalam rumahnya, seorang asisten rumah tangganya yang juga merawatnya sejak kecil menyongsongnya.

"Non Rumi, apa kabar, lama nggak ke sini menengok simbok," ucap mbok Darmi memeluk Rumi hangat. Rumi dengan senang hati membalas pelukan Mbok Darmi.

"Rumi juga kangen sama simbok, sehat, Mbok?"

Mbok Darmi mengangguk.

"Mau cari Bapak, kan? Bapak ada di kamarnya, beberapa hari ini Bapak sering sakit, Non. Sepertinya kesehatannya sedang tidak dalam keadaan yang baik."

"Benarkah? Rumi nggak tahu, Mbok. Kasihan papa. Mbok, Rumi ke atas dulu, Rumi mau makan siang di sini."

"Baik, Non Rumi, akan si mbok siapkan semua masakan kesukaan Non Rumi. Bapak pasti senang sekali Non Rumi makan siang di sini."

Rumi naik ke atas, menuju kamar papanya. Dia berpikir kenapa papanya tidak bilang padanya jika dia sedang sakit. Apa ada yang di sembunyikan papanya darinya. Dia ingin mencari tahu.

Tok..tok..

Rumi mengetuk pintu kamar papanya.

"Masuk," papanya yang sedang menatap laptop dan berkutat dengan pekerjaannya seketika mendongak, melihat siapa yang datang ke kamarnya.

"Rumi?"

Winata segera berdiri dan menyongsong putrinya, "Kenapa tidak bilang pada Papa, kalau mau datang."

"Kenapa, biar Rumi nggak tahu kalau ternyata Papa sedang tidak sehat, kenapa Papa tidak menceritakannya pada Rumi. Bahkan tadi pagi juga Papa tidak mengatakan sesuatu pada Rumi. Sekarang bagaimana keadaan Papa? Apa yang Papa rasakan?"

Winata tersenyum, membimbing putrinya untuk duduk di sofa yang berada di dalam kamarnya.

"Papa hanya tidak ingin kamu khawatir Rumi, apalagi sekarang kamu sedang belajar bekerja tanpa bantuan Papa. Nanti kalau kamu banyak pikiran fokus kamu bekerja jadi terganggu."

Rumi berdecak kesal, papanya masih saja mengkhawatirkannya padahal dia sudah dewasa, seharusnya dialah yang menjaga papanya bukan malah sebaliknya.

"Anak Papa ini sudah besar, jadi jangan mengkhawatirkan Rumi berlebihan, sih, Pa. Harusnya Rumi yang menjaga Papa, bukan lagi, Papa yang menjaga Rumi. Jadi kalau ada apa-apa, sebaiknya Papa menceritakannya pada Rumi."

Winata menatap putrinya, mengelus kepala Rumi dengan sayangnya. Dia bingung antara harus mengatakannya sekarang atau kapan. Tapi dia tidak bisa menundanya, umurnya tidak panjang, dia tahu jika sewaktu-waktu Tuhan berkehendak dia akan meninggalkan Rumi sendirian.

"Pa," panggil Rumi pada papanya yang terlihat melamun.

"Papa sedang memikirkan apa, Rumi jadi penasaran."

Winata tersenyum, "Rum, seandainya Papa ingin kamu menikah, apa kamu mau?"

Rumi terkekeh, "Papa ini, ada-ada saja. Rumi baru saja belajar bekerja, belum menikmati hasilnya. Rumi masih muda, Papa. Masa Papa tega merebut masa muda Rumi dan menginginkan Rumi menikah, apa Papa tega?"

Winata diam, apa yang dikatakan Rumi benar, tapi dia tidak mau jika meninggalkan Rumi sendirian. Takut tidak ada yang menjaga, dan menghiburnya nanti.

"Kalau tunangan dulu, Rumi mau?"

Rumi melongo menatap papanya, "Pa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Papa, Papa sakit apa, kenapa membahas pernikahan dengan tiba-tiba. Pa, katakan yang sejujurnya pada Rumi. Rumi mau, Papa jujur, apa sakit Papa, yang membuat Papa berpikir untuk menikahkan Rumi secepatnya."

Winata diam seribu bahasa, tak tega mengatakan pada putrinya tentang penyakitnya yang sudah berada di stadium akhir. Tak sanggup mengatakan bahwa umurnya sudah tak panjang lagi. Lidahnya kelu, bahkan dia kesusahan menelan salivanya.

"Pa. Papa. Kenapa Papa diam, jawab pertanyaan Rumi!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel