Bab 14
Aku tidak tau harus bagaimana sekarang, hatiku hancur dan hidupku terasa hampa. Aku tak memiliki semangat untuk melakukan apapun. Rasanya terlalu sakit, dan hari ini tepatnya mereka menikah.
Hari ini dia mengingkari janjinya dan melangkah pergi dariku. Hari ini dia sudah membuktikan kalau semua ucapannya hanyalah omong kosong belakang. Dia masuk ke dalam hidupku, menebar dan memberi sebuah kisah juga harapan yang membuatku melambung tinggi hingga aku tak sadar sejak kapan sudah terbuai dan terus mengharapkannya. Dan sekarang dia menghempaskanku begitu saja. Apa salahku?
Aku semakin menelusupkan wajahku ke sela lututku dan menangis sejadi-jadinya. Dadaku terasa di remas-remas, dan di tekan oleh sesuatu yang berat. Bayangan wajahnya selalu saja terbayang di wajahku. Aku harus apa ya Allah? Kenapa harus sesakit ini.
Apa hanya karena aku orang yang tak mampu, tak memiliki harta juga pangkat dan derajat yang tinggi maka aku di pandang sebelah mata? Apa wanita sepertiku tidak pantas bersanding dengannya?
Bahkan dia pergi tanpa pesan dan kata apapun, dia memintaku waktu, tetapi dia meninggalkanku begitu saja? Apa itu cara dia mencintaiku? Memberiku harapan dan akhirnya pergi meninggalkanku? Apa aku harus menerima semua ini di saat aku begitu mengharapkannya. Di saat aku sudah membayangkan dia menjadi calon imamku.
***
Sudah satu minggu aku tidak masuk kuliah juga tak pergi kemanapun, aku tak memiliki lagi semangat apapun. Dan baru hari ini aku keluar dari kost, aku butuh udara segar. Mungkin ke taman adalah solusi yang baik.
Ini adalah hari Jumat dan taman cukup lenglang di siang hari berbeda saat hari minggu. Aku memilih duduk di salah satu kursi taman dekat pohon, angin berhembus menerpaku dan rasanya sangat sejuk. Aku memejamkan mataku dan mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya, tetapi rasanya tetap sesak hingga air mata tak mampu ku bendung lagi. Aku kembali mengingatnya dan rasanya masih tetap sama, sakit. Aku menangis terisak mengeluarkan segala sesak di dada hingga sentuhan lembut di pundakku membuatku menoleh.
“Amier,”
Amierra hanya tersenyum dan duduk di sampingku, dia menarik pundakku dan memeluk tubuhku dengan erat. “Gue khawatir sama loe,” gumamnya membuatku tak kuasa lagi menahan tangisanku yang sama sekali tak mereda.
“Sakit Mier, rasanya masih sangat sakit.”
“Gue tidak pernah merasakan rasa sesakit ini, dia menipu gue. Gue terlanjur jatuh ke dalam cinta dan ucapannya. Bahkan gue bodoh karena selama ini mungkin hanya di jadikan pelariannya saja di saat dia berjauhan dengan tunangannya. Gue hanya di anggap sebagai mainannya. Dia tetap memilih wanita itu, wanita yang memang sudah bertunangan dengannya. Dan gue, gue hanya jadi simpanannya untuk memuaskan dia di sini yang kesepian.”
“Ssttt jangan berbicara seperti itu,” bisik Amierra.
“Gue udah berikan segalanya Mier. Cinta, hati, kepercayaan gue padanya. Gue terlalu mengharapkan dan mempercayainya hingga sekarang rasanya sangat sakit.”
“Gue terkadang berharap dia benar-benar memilih gue sesuai dengan ucapannya. Tetapi kenyataannya dia tetap memilih tunangannya.”
“Jodoh itu misteri, Milla.” Aku mendengar suara bariton yang begitu tegas, aku yakin mas Djavier juga ada di sini.
Aku melepaskan pelukanku pada Amierra dan benar saja, mas Djavier berdiri di depan kami dengan tatapan yang teduh penuh kasih sayang. Sungguh beruntung Amierra memiliki pria sesempurna mas Djavier.
“Cinta, ya cinta itu sangat indah dan jujur saja aku merasakannya karena mampu membuat hidup kita lebih berwarna. Tetapi tetap ingat Mil, cinta tak harus sepenuhnya kita berikan pada satu orang atau satu sosok. Karena cinta itu dari Allah, dan sudah seharusnya kita lebih mencintainya yang gak akan pernah mengecewakan kita.” Aku terdiam mendengarkan ucapan mas Djavier. “Aku tau Iqbal sudah keterlaluan, dia tak banyak berbicara dan aku tau dia mungkin menyesal karena sudah mencampakkanmu begitu saja tanpa kata. Tetapi di balik semua itu, pantaskah kita meratapinya terus menerus? Hidup itu masih berjalan, suratan takdir sudah di tuliskan begitu juga dengan jodoh.”
“Allah memang tak melarang kita untuk bersedih, menangis dan merasakan kegalauan. Tetapi semuanya ada batasnya tak boleh berlebihan. Karena yang berlebihan itu tidak baik, Mil.”
“Tapi Mas, aku masih merasa sakit.”
“Dan rasa sakit itu akan tetap ada kalau kamu terus mengingat dan meratapinya.” Aku terdiam menatap mas Djavier yang masih dengan tenang menatap kami. “Bangkit Milla, berhijrahlah.”
Aku mengernyitkan dahiku mendengar ucapan mas Djavier. “Hijrah?”
“Yah Mil, hijrah. Hijrah bukanlah sesuatu dimana kita berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Tetapi juga kita berusaha merubah hidupku ke jalan yang jauh lebih baik. Memperbaiki diri, lebih mendekatkan diri pada Allah dan banyak berdzikir, insa Allah segala kegundahanmu, rasa sakitmu, dan lukamu akan Allah angkat dalam sekejap.”
“Benarkah itu Mas? Bagaimana aku bisa hijrah?”
“Sebentar, aku ada rekomendasi buku untukmu.” Ucap Djavier mengeluarkan handphonenya. “Nah ini, sudah aku pesankan untukmu.” Dia menyodorkan handphone nya padaku dan aku melihatnya.
Hijrah dalam pandangan Al-Qur’an dari Dr. Ahzami Samiun Jazuli.
“Untuk sekarang perbanyaklah berdzikir, pasrahkan segalanya dan solat sepertiga malam. Insa Allah lukamu akan sembuh, Milla.”
“Benar kata mas Djavier,” ucap Amierra.
“Milla, kamu boleh saja berharap. Tetapi letakkan harapan kamu itu seerat-eratnya hanya pada Allah SWT. Jangan pernah kamu letakkan harapan itu lebih erat pada manusia. Kamu tau kenapa?” tanya mas Djavier membuatku menggeleng.
“Karena menyimpan harapan pada manusia dengan begitu besar bukan kebahagiaan yang di dapat melainkan kekecewaan. Berbeda kalau kita meletakkan harapan itu hanya padaNya, Allat SWT. Insa Allah hanya kebahagiaan yang akan kamu dapatkan kelak. Jadikan kejadian ini pengalaman untukmu di masa depan.”
Aku merenung memikirkan ucapan mas Djavier yang benar adanya. Pantas saja Amierra begitu mencintainya, mas Djavier bukan hanya suami idaman, tetapi juga seorang guru yang tepat. Aku menoleh pada Amierra saat dia menggenggam tanganku.
“Jika dia memang bukan milik loe, perayalah Allah akan menghapuskan rasa itu dari hati loe secara perlahan dan memberikan rasa yang lebih indah dan dengan orang yang tepat. Percayalah itu Mill, karena gue juga mengalaminya.” Amierra tersenyum merekah seraya melirik ke arah mas Djavier yang juga tampak menatap ke arahnya. Aku tau dia juga merasakan hal yang sama, dia lepas dari Fauzan dan mendapatkan pria yang sempurna seperti mas Djavier.
Dan bisakah aku seperti dia? Bertemu dengan seseorang yang jauh lebih baik dari mas Iqbal?
***
