Pustaka
Bahasa Indonesia

Jerat Gairah Mafia Kejam

11.0K · Ongoing
Soesan
41
Bab
256
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bagaimana rasanya menikah dengan seorang pria tampan, tapi ternyata ketua geng mafia yang sangat ditakuti? Parahnya lagi, pria itu ternyata salah satu target utamanya, target operasi kepolisian negara.

PengkhianatanTuan MudaMetropolitanRomansaBillionaireSweetPernikahanLove after MarriageMemanjakanBaper

Bab 1. Hutan Pinus

"Kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di sini?"

Mata elangnya menyorot tajam ke arah ruang gelap. Bola mata hitam kecokelatan beredar ke seluruh lapang, di mana banyak pohon pinus menjulang tinggi. Telinga dan matanya bak burung hantu yang sedang mengidentifikasi mangsa. Meski gelap, namun semua terasa jelas. Tajam bak pedang yang siap menghunus, membabat habis musuhnya.

"Menurut informasi yang aku dapat, mereka akan mengadakan transaksi di sini."

"Di hutan pinus ini?"

"Ya."

Deru napas mereka terdengar sangat halus, mungkin karena sudah terbiasa dan mahir dalam menyelinap hingga keduanya pandai memperhalus suara napas mereka hingga tak mampu terdeteksi oleh musuh. Bahkan suara obrolan mereka pun sangat lirih, semut saja hampir tidak bisa mendengar.

"Tuan." Sembari mencekal lengan Astin.

Astin mengarahkan mata elangnya pada tangan Marlin di lengannya, lalu beralih pada wajah khawatir Marlin. Dari sorot mata mengisyaratkan agar Marlin tidak perlu khawatir.

"Hati-hati!" lirih Marlin berpesan sembari melepaskan cekalan tangannya.

Berlahan Astin melangkah dengan tubuh sedikit membungkuk untuk lebih bisa melacak keberadaan musuh. Pakaian serba hitam dengan sepatu kulit yang senada layaknya seorang mafia terhebat. Sikap waspada selalu menjadi nomor satu untuk menyelesaikan misi.

Sesekali Astin menoleh pada Marlin. Meski begitu, dia tetap fokus menguasai ruang dan waktu. Astin sama sekali tidak mau lengah sedikit pun karena nyawa sebagai taruhan. Dengan tangan siap menggenggam benda yang selalu menjadi andalannya, Astin siap melumpuhkan target.

"Tuan!" Marlin kembali mencekal pergelangan tangan Astin saat melihat seseorang berjalan dengan sikap waspada.

Astin segera mengarahkan kedua bola mata elangnya menghujam sosok pria bertubuh kekar yang ditunjuk oleh mata Marlin. Keduanya bersembunyi di balik pohon pinus dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pria itu.

Meski gelap, mereka bisa melihat garis wajah tegas dan menyeramkan pria itu. Terlebih saat pria itu menyalakan layar ponsel. Wajahnya terlihat lebih jelas lagi. Gerak-geriknya cukup mencurigakan dengan sikap waspada.

"Kita serang sekarang?" ucap Marlin siap menerima perintah.

"Jangan sekarang! Kita tunggu yang lain! Percuma hanya menangkap satu tikus saja."

Kening Marlin mengernyit.

"Tuan, kita hanya berdua. Bagaimana kalau anggota mereka lebih banyak dari kita?" ucapnya khawatir.

"Hey! Apa kamu sudah bodoh? Bukankah aku memintamu untuk menyiapkan 'Giustizia' bersama kita?" Nada marah membuat matanya yang hitam menyalakan bara api.

"Mereka masih dalam perjalanan."

"Kalau begitu, kenapa harus khawatir?" Voltase kemarahan Astin menurun.

"Tapi-" Marlin tampak ragu.

"Why?" Mata Astin kembali tajam menuntut jawaban dan penjelasan.

"Seharusnya mereka tidak terlambat."

Astin mendengus kesal disertai helaan napas panjang. Marah pun rasanya percuma karena mereka sudah berada dalam lingkaran panas dan bahaya. Sudah masuk ke dalam sarang harimau, maka apa pun yang terjadi harus mereka hadapi.

"Semoga saja anggota mereka tidak banyak," desis Astin mencoba menenangkan diri dan Marlin.

Bukan takut, hanya saja tidak mau mengorbankan orang lain dalam misinya. Bukan nyawanya sendiri yang harus dia lindungi, ada Marlin bersamanya. Dia juga tidak ingin mati sebelum misi dan tujuannya tercapai.

Belum juga bibir tertutup rapat setelah berbicara, tampak beberapa pria kekar berjalan mendekati pria yang pertama dengan senjata lengkap di tangan mereka. Hal itu jelas saja membuat mata Astin dan Marlin terbuka dengan sangat lebar.

"Tuan." Marlin merasa sangsi akan keberhasilan mereka.

Ini adalah kebodohannya. Benar yang dikatakan Astin, mereka hanya akan mengantarkan nyawa dengan suka rela saja bila nekad melawan tanpa ada bala bantuan. Marlin tidak meragukan kehebatan dan kekuatan Astin, hanya saja saat ini tubuh Astin sedang tidak baik-baik saja. Beberapa hari lalu saat menangkap penyelundup senjata, dia terluka.

Astin tidak menghiraukan kegalauan dan kekhawatiran Marlin. Matanya masih saja fokus pada rombongan pria bertubuh kekar yang sedang melakukan perundingan.

"Kita akan menyerang mereka setelah ketua mereka tiba," ucap Astin lirih tanpa mengalihkan tatapan elangnya.

Tangannya begitu erat mencengkeram benda yang ada di tangan, sedangkan tangan lainnya mencengkeram pohon pinus yang mereka jadikan penghalang. Hawa tubuhnya mulai panas dan gelora jiwanya mulai meronta. Bau anyir telah tercium dan melekat pada indera penciumannya. Baginya bau itu adalah aroma yang sedap dan telah menjadi candu baginya.

Sesungguhnya, tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menjadi pemburu dan pembunuh yang bengis. Keadaan dan situasi yang memaksanya seperti ini.

"Hati-hati!" lirih Astin sembari melangkah mencoba lebih mendekat untuk mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan setelah mengenakan topeng.

Tanpa menjawab, Marlin mengekor dan melakukan hal yang sama. Setiap pergerakan, mereka akan selalu menggunakan topeng wajah.

Astin kembali menahan penyerangan dan memilih memperhatikan apa yang mereka lakukan sembari menunggu bala bantuan datang saat melihat beberapa pria lagi datang.

Meski samar, namun mereka dapat mendengar apa yang dibicarakan para pria itu.

"Di mana barangnya?" tanya salah seorang dari pria kekar yang datang terlebih dulu.

"Anda jangan khawatir! Kami tidak pernah menipu klien kami."

"Perlihatkan pada kami!"

"Tidak semudah itu, Tuan. Tunjukkan dulu uangnya pada kami!"

"Ini." Seseorang mengangkat koper. "Uangnya ada di dalam koper ini sesuai dengan jumlah yang Anda minta."

"Buka!"

Terdengar tawa mencibir.

"Mari saling menunjukkan!"

"Apa Anda tidak percaya padaku, Tuan?"

Pria pertama kembali menurunkan koper yang tadi dia angkat.

"Aku bukan tidak percaya, tapi aku hanya ingin memastikan bahwa di dalam itu isinya asli."

"Ho ... ho ... kamu pikir aku akan menipu dengan uang palsu? Aku bukan orang licik sepertimu."

Marah karena rekan bisnisnya tidak mempercayai, pria itu memberi kode pada anak buahnya, lalu meletakkan koper itu di atas punggung salah satu anak buahnya. Dengan cekatan pula jemarinya membuka kunci koper. Pria pertama itu memutar posisi pintu koper ke arah pria berjas menunjukkan isi di dalamnya.

"Apa Anda masih belum percaya?" ucapnya sembari memperlihatkan isi koper yang dia buka.

Senyum bahagia dan puas terlihat dari wajah pria berjas hitam di hadapannya.

"Eits! Aku tidak suka barangku disentuh tanpa ada barternya!" ucapnya kembali menutup koper saat tangan pria berjas hendak menyentuhnya. "Tunjukkan padaku mana barang yang akan Anda berikan pada kami sebagai barternya!"

Pria itu kembali mengunci koper miliknya dan memberikan pada anak buahnya.

Pria berjas itu memberi kode juga pada anak buahnya yang membawa koper hitam yang sama. Pria bercodet itu maju dan memberikan koper itu pada pria berjas.

Keduanya saling bertukar koper. Dengan tatapan tajam saling menerkam, dua pria itu bersiap untuk melakukan barter. Sayangnya, transaksi mereka terhambat dan terancam gagal setelah mendengar suara pergerakan dari sisi lain. Kedua kelompok saling mengamankan barang masing-masing

"Siapa itu?" teriak salah satu dari mereka.

Semua orang bersikap siaga dan waspada, bahkan siap menyerang bila ada serangan dadakan. Tangan-tangan mereka telah siap dengan senjata masing-masing. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari sumber suara. Bahkan beberapa pria mulai memeriksa sekitar.

Bukan hanya mereka yang kaget, Astin dan Marlin yang sedang menyimak dan mengawasi mereka pun turut kaget karena suara itu.

"Apa kamu siap?" tanya Astin saat derap langkah kaki terdengar mendekati tempat persembunyian mereka.

"Siap."

Astin dan Marlin telah siap dengan kuda-kuda yang kuat. Kedua tangan mereka semakin mencengkeram erat senjata masing-masing. Tidak bisa mengelak atau menghindar lagi. Tidak juga bisa menunggu bala bantuan karena para pria itu semakin dekat.

"Tuan, awas!!!" teriak Marlin menarik tubuh Astin ketika kilau pedang panjang mengayun ke arah mereka.