Bab 9 Menggoda
Bab 9 Menggoda
HUH.
Ternyata pertengkaran itu hanyalah sebuah khayalan. Namun itu hanya bayangan Aruna saja, dia sangat takut kalau sampai Satria mengetahui ini. Dengan cepat Aruna langsung melepaskan pelukan dan Damian pun harus mencari seorang bosnya di sini.
Di sisi lain, Satria cemas menunggu kedatangan istrinya. Sebab biasanya dia sudah datang jam segini. Sebenarnya Satria sudah makan tapi tetap saja dia merasa takut kalau ada apa-apa dengan istrinya.
Namun, Nara tetiba datang meminta pertolongan. Alasan Nara ke sini untuk meminta pertolongan terhadap Satria karena ia tidak bisa. Sekaligus inilah kesempatan Nara agar bisa mendekati Satria, dendamnya akan terbalaskan meski sering kali ia ragu dan merasa bahwa ini bukan dirinya. Tapi hati Nara yang sudah sakit seakan bersikeras untuk membalas apa yang sudah ia rasakan selama ini. Baginya pembalasan dendam harus tetap ia lakukan meski tidak sepenuhnya dapat membuat hatinya membaik. Setidaknya dia pernah membuat orang yang menyakitinya merasakan apa yang dia rasakan.
“Permisi, Pak.” Nara memasuki ruangan Satria, ia tidak tahu kalau Satria sedang merasa gelisah. Satria pun mempersilakan, dia masih marah dengan Nara tapi hatinya ragu kalau memang Nara murni melakukan kejahatan. Entahlah, ia juga merasa bahwa ini tipu muslihat Nara dengan memakai kecantikannya. Oleh karena itu, Satria sebisa mungkin harus bisa tetap menyayangi Aruna seperti dulu dan sampai kapan pun.
“Silakan duduk!” Satria mempersilakan tanpa ekspresi, tidak jelas sedang marah atau gelisah. Dengan senang hati Nara duduk.
“Jadi begini, Pak. Saya belum mengerti dengan yang ini,” tunjuk Nara pada lembaran-lembaran kertas. Selagi Satria melihat kertas tersebut, Nara memanfaatkan waktu untuk bangun dari duduknya dan mendekat ke arah Satria. Tanpa Satria sadari Nara memegang bahu Satria dengan lembut.
Satria mencoba menepisnya. Dia terpaksa bangun.
"Tolong duduk di sana, saya masih melihat laporan ini," tegas Satria tetap berbicara dengan halus.
Bukannya duduk, Nara malah dengan gampangnya langsung mencium Satria, tanpa izin. Satria yang cemas seperti ditenangkan juga merasa ini semua tidak pantas. Namun, ciuman yang diberikan Nara begitu menuntut dan lihai membuat birahinya juga memuncak. Seperti sesuatu yang sangat menggairahkan telah menariknya hingga paling dalam.
Nara yang tahu itu semakin memperdalam hisapannya. Bahkan ia membuat Satria kewalahan. Semuanya menjadi berbeda, Satria hingga tak sadar telah sepenuhnya diliputi nafsu. Kecemasannya hilang, sekarang tergantikan dengan godaan yang memabukkan.
Tak kuasa menahan hasrat, Satria langsung mendorong Nara hingga membentur tembok. Ada rasa khawatir Nara tidak dapat menguasai diri tetapi dia tetap bertahan. Dia tidak akan membiarkan dirinya lebih dalam.
Kini Satria menimpali ciuman itu, bahkan tangannya meraba dada Nara. Keduanya begitu menikmati hingga lupa dengan status mereka, Nara dan Satria menikmati semuanya.
Nara kini senyum-senyum sendiri mengingat kejadian siang tadi. Tak bisa ia bayangkan kalau Aruna akan merasa cemburu setelah apa yang dia lakukan dengan Satria.
Tanpa disadari Nara yang melamun mengingat apa yang sudah ia lakukan. Dan hari ternyata mulai malam tanpa Nara sadari.
Dalam diam, Nara hanya mampu memandang lampu kos yang temaram. Apa yang telah ia lakukan?
Selalu saja ada rasa aneh; gusar, ketika Nara ingin membalaskan rasa sakitnya. Dia merasa kalau tidak pantas, bahkan kerap kali merasa bahwa yang tadi bukan dirinya. Tapi, Nara sering juga melawan rasa itu, dia yakin dia bisa menjadi wanita yang kuat dan tidak lemah seperti sebelumnya.
"Mungkin aku harus terus melakukan ini agar terbiasa," gumamnya.
Nara paham bahwa ini adalah hal kotor, terlarang. Bukankah ia tahu bagaimana rasanya kalau orang yang disayanginya diambil orang? Tidak, tapi itu harus dibalaskan. Mungkin dia harus siap kalau suatu saat nanti ada yang membalasnya juga. Siapa yang mengawali dialah yang harus mengakhiri semua ini.
Harusnya semua orang tahu diri, kalau sudah ada yang memiliki, kalau sudah ada yang menyayangi--jangan sampai menyakiti apalagi ke lain hati. Sebab sakitnya bukan sakit hati biasa melainkan sakit yang memang luar biasa dan sulit untuk pulih. Jiwa dan raganya trauma akan apa itu cinta. Yang ia pertahankan, perjuangkan rasanya sia-sia.
"Aku rindu masa yang dulu. Rindu ketika Rafael kecil, kami begitu bahagia," gumamnya dengan air mata yang entah sejak kapan menetes menyusuri pipinya. Setiap kali Nara merasa gusar, ia pasti akan melihat foto dirinya bersama Rafael kecil dan mantan suaminya. Meski benci, cinta dan kerinduan bercampur aduk menjadi satu, ia tetap berusaha keras mengikhlaskan. Apalagi setelah menyadari kalau dia hanyalah perempuan jahat yang hidup menyendiri.
Malam adalah di mana rasa sepi itu semakin menguatkan suasana hatinya yang sedih. Malam menyadarkan kalau dia benar-benar sendiri saat ini. Tidak ada yang peduli lagi dengan dirinya. Dia bak berpura-pura kuat dengan semua ini.
Setiap malam juga ia harus berusaha menghibur diri, full musik melalui headset adalah caranya. Karena ia yakin esok tidak akan lebih mudah, semua begitu sulit. Dia sudah cukup beruntung bisa bekerja.
Tak terasa ia tidur dalam lelap. Air matanya mengering dan akan menyisakan mata merah keesokannya.
***
"Wanita itu memang benar-benar berbahaya, aku tidak dapat menguasai diri. Dia berhasil menguasai diriku," gumam Satria. Ia gugup takut kalau istrinya tahu apa yang sudah ia lakukan.
Sedangkan di sisi lain, Aruna sangat takut kalau sampai Nara memberitahu. Jelas-jelas wanita itu mengancamnya. Aruna juga takut kalau sampai ia ketahuan tadi di kantornya. Beruntung sepi, tapi Damian sangat dekat sekarang dengan suaminya.
"Besok aku harus bisa meyakinkan Damian agar dia tidak jadi bekerja sama dengan Satria," ucapnya sendiri di kamar sambil memegang handphone. Sedang memikirkan alasan yang tepat kenapa ia tidak datang ke kantor dan bagaimana caranya agar Damian bisa membatalkan kerja sama mereka. Jika tidak ia bisa-bisa ketahuan menjadi istrinya Satria.
"Aku mencintai Damian, tapi aku sangat menyayangi Satria," bingungnya.
CEKLEK
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampakkan sosok suaminya. Aruna langsung tersenyum dengan manisnya seakan tidak terjadi apa-apa.
"Hai, sudah pulang, Sayang?" tanya Aruna.
"I-iya," gugup Satria. Entah kenapa dia gugup sejak kejadian tadi itu. Sungguh menyebalkan, tubuhnya memang tidak bisa diajak kompromi.
"Ada apa?" tanya Aruna yang melihat raut wajah Satria tidak seperti biasa.
"Ti-tidak, tumben hari ini aku sangat merasa lelah," alasan Satria. "Aku mandi dulu ya!" Izinnya bergegas pergi ke kamar mandi.
Aruna tenang kalau Satria tidak menanyakan kenapa ia tidak datang.
