3. Kita Pacaran, 'kan? (2)
Bab 3 :
Kita Pacaran, 'kan? (2)
******
NADYA menggaruk tengkuknya sembari tertawa pelan.
Wajah Aldo itu benar-benar seperti orang barat. Western. Bule ganteng yang tinggal di Indonesia. Wajar, soalnya Aldo adalah keturunan Perancis. Semua orang di sekolah tahu hal itu.
Mereka mulai menaiki tangga ke lantai dua, lantai di mana kelas XI IPA 1 berada. Entah bagaimana Nadya nanti harus bersikap ketika di kelas, soalnya Nadya mulai yakin bahwa berita ini sudah menyebar ke mana-mana. Ini agak mengerikan, padahal mereka baru sampai di sekolah beberapa menit yang lalu. Apa Gita juga sudah diberitahu? Apa Aldo memberitahu Gita soal hubungan mereka saat Aldo meminta alamat Nadya darinya?
Nadya meneguk ludah. Tiba-tiba jantungnya jadi berdegup tak keruan.
Saat mereka berdua masuk ke kelas, seperti biasa kelas itu ribut karena ada PR Matematika yang akan dikumpulkan di jam pertama. Ada yang berteriak meminta tip-ex, ada yang mengoper-oper buku contekan, ada juga yang mengobrol. Akan tetapi, saat mereka semua menyadari bahwa ada yang baru saja masuk ke kelas, mereka semua kontan menoleh. Mereka mulai terdiam dan ada yang bersiul pelan tatkala menyadari bahwa itu adalah Aldo dan Nadya.
Nadya meneguk ludahnya. Wajah Nadya memerah; Nadya terus berjalan di belakang Aldo. Ada siulan kecil dari samping kiri Nadya dan Nadya refleks menoleh ke asal suara.
"Ssst, sstt! Nad, ntar minta pajak jadian yaa!" kata Tari, kemudian cewek yang duduk di kursi paling depan itu cengengesan bersama teman-temannya setelah mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Nadya.
Nadya menganga. "Hah? Maksudnya apaan, Tar?" tanya Nadya gelisah.
"Ohohoo? Cieee, selamat ya, Nad! Diem-diem ternyata lu mengerikan juga ya, Nad," ujar Fara yang duduk di sebelah Tari. Tanpa tedeng aling-aling, Nadya menggelengkan kepala dan wajah cewek itu merah padam. Tak lama kemudian, saat Nadya melihat Gita, cewek itu langsung ngacir untuk duduk di sebelah Gita tanpa berpamitan dengan Aldo. Nadya dan Gita tentu saja duduk sebangku, duduk di kursi urutan ketiga dari barisan paling pojok kiri (dekat pintu masuk kelas). Sementara itu, Aldo duduk di barisan tengah, kursinya ada di urutan ketiga juga.
Aldo duduk sebangku dengan Rian. Aldo ber-high five dengan Rian dan juga dengan Adam—yang duduk di belakang mereka—begitu cowok itu sampai. Nadya memperhatikan itu semua sebelum akhirnya Nadya membuka tasnya dan menatap Gita.
Betapa terkejutnya Nadya saat pipinya tiba-tiba ditarik oleh Gita. Gita senyum-senyum, lalu cewek berkucir kuda itu merangkul Nadya dan berbisik di telinga Nadya, "Ciee... Ternyata kemaren pas gue ninggalin lo buat ngambil tas itu, lo ditembak Aldo, ya? Selamat, ya, Nad!"
"Git!" bisik Nadya jengkel. "Jangan keras-keras, Git! Malu, nih... Aldo, kan, ada di sini..."
Gita mengangguk dan terkekeh. "Dia tadi pagi SMS gue, Nad. Katanya dia mau jemput lo dan dia minta alamat lo dari gue. Terus ya gue kasih... Mungkin dia nggak mau nanya sama lo karena pengin bikin lo agak kaget gitu," ujar Gita. Cewek itu terlihat antusias. "Terus dia bilang juga kalo kalian pacaran. Kasih tau, dong, Nad, gimana ceritanya. Penasaran banget, nih! Udaaah, nggak usah malu. Dia nggak ngeliat ke sini kok."
Gita membisikkan kalimat itu sembari sesekali memanjangkan lehernya hanya untuk memantau Aldo. Cewek itu kemudian menepuk pundak Nadya dengan terburu-buru. "Cepet cepet! Spill!"
Nadya menggaruk kepalanya dan meneguk ludah, lalu cewek itu menarik kepala Gita agar Gita tidak terus memantau Aldo. Takutnya jika terus dipantau seperti itu Aldo akan sadar bahwa dirinya diperhatikan. Sebagai manusia, kita pasti memiliki kemampuan untuk ‘merasakan’ ketika ada yang sedang memperhatikan kita.
Nadya kemudian melipat bibirnya gelisah. "Gue nggak tau, Git. Kemaren sore pas lo ngambil tas itu, Aldo ngehampirin gue. Dia bilang dia ada di sekolah jam segitu karena dia mau ngambil jaketnya yang ketinggalan di kelas. Terus ternyata..."
Gita mengangkat sebelah alisnya, menunggu Nadya melanjutkan kalimatnya.
"...ternyata dia denger gue ngerengek ke lo kemaren. Dia denger, Git...terus dia bilang dia punya satu tiket Muse. Dia mau ngasih tiket itu ke gue dan gue jelas mau, Git! Fans mana yang bakal nolak kalo dapet tiket buat nonton konser idolanya? Huaaa itu impian gue banget! Tapi ternyata dia bilang ada syaratnya..."
Gita tiba-tiba menyatukan alis; cewek itu menatap Nadya dengan curiga. "Jangan bilang kalo syaratnya itu...dia minta lo jadi pacar dia?"
Nadya hanya bisa mengangguk pelan.
Gita melebarkan matanya. Cewek itu terdiam selama beberapa detik dan dia hanya bisa melongo.
"Baru kali ini, Nad," ujar Gita sembari menggelengkan kepalanya; ekspresi wajahnya benar-benar terlihat blank. "Baru kali ini gue tau kalo pacaran bisa ngebayar tiket Muse."
Nadya menganga.
"His!" Nadya memukul pundak Gita dengan kencang. Gita kontan terkikik geli.
"Ya udah, gini aja," ujar Gita, perlahan memosisikan dirinya kembali agar bisa duduk dengan nyaman. "Sebenernya, gue nggak tau apa alasan Aldo ngejadiin lo sebagai pacarnya, soalnya kalian itu jarang teguran di kelas. Gue aja kaget, Nad, gue kira selama ini lo nyembunyiin ini dari gue dan diem-diem sering komunikasi sama Aldo! Tapi ya...kayaknya lo jalanin dulu aja, deh. Bisa jadi ntar lo tau alasannya. Mungkin aja dia beneran suka sama lo, 'kan?"
Nadya menganga. "Hah? Mana mungkin kali, Git!"
Gita mendengkus. Saat Gita baru saja ingin membalas ucapan Nadya dengan nada jengkelnya, tiba-tiba seseorang dari depan memanggil Gita dan ternyata itu adalah Tari.
"Git! Pinjem pena dong! Pena standard ada nggak?" Gita menoleh ke depan dan matanya membulat karena mendengar teriakan Tari.
"Oh, ada, bentar!" teriak Gita. Sembari merogoh tasnya, Gita pun menoleh kepada Nadya yang sedang menatapnya sembari mengernyitkan dahi.
Gita menghela napas. "Nad, PR Matematika yang Trigonometri itu udah lo kerjain belum? Gue sisa satu soal lagi yang nggak ngerti. Minta ajarin aja ke Aldo, Nad. Pasti dia mau tuh kalo pacarnya yang minta."
Mata Nadya terbelalak. Cewek itu berdecak meski kenyataannya pipinya merona. "Ampun, Git, udahan kalii! Ntar didenger Aldooo...! Kok lo jahat, sih?!!"
Gita hanya cekikikan. "Canda Nad, canda."
Nadya mendengkus dan mengerucutkan bibirnya kesal. Ia keki sekali kalau diejek seperti itu ketika Aldo ada di ruangan yang sama. Walaupun sebenarnya Nadya tahu bahwa Gita mengejeknya seperti itu karena peristiwa berpacarannya Nadya dan Aldo ini begitu tak terprediksi. Begitu mengejutkan. Begitu aneh.
Nadya memilih untuk melihat ke depan. Saat tubuhnya telah menghadap lurus ke depan, matanya tanpa sengaja melihat ke arah Syakila: cewek yang memiliki rambut bergelombang dan berkucir dua di bawah—cewek paling cantik di kelas itu—yang ternyata sudah lebih dahulu menatap Nadya. Syakila duduk di depan, di barisan kedua dari arah pintu kelas. Nadya mengedipkan matanya dua kali dan tersenyum kikuk pada Syakila. Hari ini Nadya malu bukan main.
Setelah itu, Syakila tersenyum simpul. Cewek cantik itu lalu berbalik lagi untuk menghadap ke depan dan tanpa sadar Nadya menahan napasnya.
Nadya menggigit bibir bawahnya dengan gelisah dan saat itulah Nadya merasa punggungnya ditepuk. Nadya menoleh kepada Gita dan mengernyitkan dahinya.
"Nad, Aldo lagi liatin lo, tuh," ujar Gita. []
